Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kidu, Si Ulat Enau

Kompas.com - 28/02/2008, 07:36 WIB

Akhirnya, sesuatu yang saya idam-idamkan sejak lama telah menjadi kenyataan. Sebelumnya, saya bahkan telah mulai bosan mengatakannya. Begitu banyak orang bertanya kepada saya, makanan apa lagi yang masih ingin saya cicipi? Selama beberapa tahun terakhir, jawaban saya konsisten: ingin mencicipi ulat atau larva sagu – yaitu belatung yang muncul dari batang sagu yang membusuk.

Keinginan ini pertama kali muncul ketika melihat film dokumenter karya Alain Compost tentang suku Asmat di Papua Barat. Dalam rangkaian upacara mendirikan mbits (totem) ukiran kayu yang tinggi dan menggambarkan berbagai profil itu, orang-orang Asmat selalu mengiringinya dengan pesta makan. Selain babi bakar batu (babi utuh yang dimasak dalam tumpukan batu yang dibakar), harus juga disajikan ulat sagu ini. Warnanya putih bersih, gembil, ginuk-ginuk. Menurut Alain, rasanya enak sekali.

Beberapa tahun kemudian saya juga mengetahui bahwa makanan serupa ternyata juga dikenal di Sulawesi Utara – sekalipun sudah mulai langka. William Wongso bahkan pernah mencicipinya. “Rasanya seperti santan mentah,” kata William. Oi, saya jadi makin penasaran.

Belum lama ini, Irfan Manullang, seorang jurukamera TransTV mengatakan kepada saya bahwa orang Karo di sekitar Kabanjahe juga mengenal makanan sejenis itu. Bedanya, ulatnya bukan dari pohon sagu, melainkan dari pohon enau.

Maka, semakin bulatlah tekad untuk memburu si ulat enau ini. Dua minggu yang lalu, ketika melintas di Kabanjahe, saya singgah ke sebuah lapo, dan memesan makanan itu. Ternyata, saya salah menyebut nama makanan itu. Karena saya menyebutnya sebagai kidu-kidu, maka yang hadir adalah semangkuk sup yang berisi semacam susis dari daging dan jeroan babi.

“Mana ulatnya?” tanya saya.

Wah, pertanyaan itu ternyata membangkitkan kemarahan pemilik lapo. “Zadi, kau pun percaya orang Batak suka makan ulat? Ya, begitu? Dang hadong itu, bah! Inilah yang namanya kidu-kidu. Kau makan saza–lah itu,” gertaknya.

Untungnya, saya tidak kenal kata menyerah. Di lapo “Mariras”, Mamak Lia menjelaskan kepada saya bahwa yang saya maksud itu bernama kidu, bukan kidu-kidu. Menurutnya, sulit sekarang mencari kidu karena sudah sangat jarang orang yang menyajikan masakan yang dulunya merupakan kesukaan para raja. “Begitulah agaknya dulu raja-raja Batak itu semua orang pintar. Tidak seperti sekarang, banyak orang bodoh karena tidak mau makan kidu,” katanya. Mamak Lia memang tipikal perempuan Karo yang asertif dan bicaranya ceplas-ceplos. Salah seorang anak perempuannya kuliah di fakultas kedokteran.

Maka, kami pun langsung membuat perjanjian. Dua minggu lagi Mamak Lia akan masak kidu, dan saya akan datang bersama crew Wisata Kuliner TransTV, sekaligus untuk meliput sajian langka itu.

Tetapi, ternyata ceritanya tidak semudah itu. Seminggu kemudian Mamak Lia menelepon memberitahu bahwa ia tidak berhasil menemukan kidu. “Tak ada lagi yang menjualnya di pasar,” katanya. Akhirnya, kami bagi tugas. Kalau saya berhasil mendapatkan ulat enau, maka Mamak Lia tinggal memasaknya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com