JAKARTA, KAMIS - Permohonan uji materi yang diajukan Eurico Guterres atas pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dikabulkan sebagian Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Eurico Guterres adalah mantan wakil panglima Pasukan Pejuang Integrasi Timor Timur.
Permohonan yang dikabulkan adalah mengenai Penjelasan Pasal 43 (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata "dugaan" karena dianggap beralasan. Sementara, permohonan terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (2) dinilai tidak beralasan, sehingga ditolak oleh hakim.
Putusan tersebut dibacakan secara bergantian oleh 8 anggota Majelis Hakim MK, yang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie dalam sidang di Ruang Sidang Pleno, Gedung MK, Jakarta, Kamis (21/2).
Dalam pendapatnya, hakim menyatakan untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlikan keterlibatan institusi politik. Institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR. Namun, DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi berwenang.
"Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik," demikian Jimly saat membacakan putusan perkara tersebut.
Dari 8 hakim, ada satu hakim yang memiliki pendapat berbeda (discenting opinion) yaitu I Dewa Gede Gede Palguna. Dalam pendapat yang dibacakannya sendiri, Palguna menilai dalil permohonan Eurico baru dapat diterima /dikabulkan jika ditujukan terhadap Pengadilan HAM. Menurutnya, yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 adalah Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus, bukan terhadap Pengadilan HAM ad hoc.
Permohonan yang diajukan Eurico tersebut berkaitan dengan penjelasan dalam pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM yang menyatakan bahwa Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usulan DPR. Usulan diajukan DPR dengan dugaan adanya pelanggaran HAM berat. Selaku pemohon, Eurico beranggapan dengan adanya ketentuan pasal tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya karena pasal itu telah menyebabkan dirinya diajukan ke Pengadilan HAM ad hoc dan dijatuhi pidana 10 tahun penjara.
Eurico juga menilai adanya unsur usulan DPR atas dasar dugaan terjadi pelanggaran HAM berat sehingga dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc telah membuka peluang intervensii kekuatan politik dalam proses hukum.Dalam persidangan hari ini, Eurico yang masih menjalani hukumannya, hanya diwakili 4 pengacaranya, di antaranya Mahendradatta dan Achmad Michdan. (ING)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.