Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Reog, Pesona Singa Barong dari Tanah Ponorogo

Kompas.com - 10/01/2008, 16:39 WIB

Keriuhan dan kemegahan itu memang nyata adanya. Ini bisa kita saksikan saban ada festival reog. Seperti pada festival September lalu, grup Gembong Gati pimpinan Suharno S Pd yang beralamat di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, itu disambut meriah oleh para pendukungnya yang rata-rata berbadan atletis dan berambut cepak.

Suara terompet terus menjerit-jerit memekakkan gendang telinga, tapi lengkingan terompet itu justru kian membuat para penonton antusias memberikan tepukan yang panjang untuk kelompok Gembong Jati.

Lalu muncul enam warok muda dan dua warok tua. Mereka berdoa sejenak di tengah panggung, dilanjutkan dengan menari ala ksatria yang saling memamerkan kedigdayaan mereka dalam olah kanuragan.

Tak  lama kemudian, muncul para penari jathil yang dibawakan oleh enam penari wanita yang menunggang kuda (lumping). Mereka segera menari di panggung turut memeriahkan suasana, disusul selanjutnya oleh pemunculan Bujangganong dan Klono. Pemunculan terakhir ditutup oleh sepasang dadak merak.

* * *

Secara sederhana, ada lima fragmen tarian disajikan dalam penampilan kelompok reog:
1. Tari warok (prajurit sakti).
2. Tari jathil (penggambaran prajurit berkuda)
3. Bujangganong (patih buruk rupa yang jujur).
4. Tari Klana (Raja Klana Sewandono).
5. Dadak Merak (burung mjerak yang naik di atas harimau).

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15.

Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari rekan raja yang beretnis Cina  dalam pemerintahan dan perilaku raja yang korup. Ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan yang mengajarkan seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan kepada anak-anak muda, dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kembali Kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan di atasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggang kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya.

Kepopuler Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya. Pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dengan ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com