JEO - News

Sinyal Pilkada 2018
untuk Jokowi
dan Pemilu 2019

Jumat, 29 Juni 2018 | 10:33 WIB

SEJAK awal, Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 kerap disebut bakal menggambarkan peta baru kontestasi partai politik dan kepemimpinan pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.

Spesifik terkait pilpres, hajatan yang digelar serentak di 171 daerah—kabupaten kota dan provinsi—ini pun mendapat label "pilkada rasa pilpres".

Jumlah daerah dan pemilih di dalamnya yang disebut merepresentasi sekitar 80 persen calon pemilih untuk hajatan nasional pada 2019, jadi salah satu sebabnya.

Infografik fakta-fakta seputar Pilkada Serentak 2018.
KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO
Infografik fakta-fakta seputar Pilkada Serentak 2018.

Lalu, Pilkada Serentak 2018 juga mencakup pemilihan kepala daerah di sejumlah wilayah strategis, salah satunya terkait peta basis tradisional partai politik.

Baca juga: Dari Pilkada yang Tertukar Piala Dunia dan Sebaliknya...

Namun, Pilkada Serentak 2018 dibayang-bayangi beragam kekhawatiran pula, terutama terkait adu kuat gelembung dukungan politik yang membesar sejak Pemilu Presiden 2014.

Kubu pendukung Joko Widodo (Jokowi) bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Prabowo Subianto bersama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), harus diakui tak lekang bersitegang mulai pemilihan presiden yang memenangkan Jokowi tersebut.

Berlanjut, ketegangan makin tinggi selama menjelang dan pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta pada 2017. Kontestasi politik di Ibu Kota usai pun ternyata tak serta-merta ikut mengakhiri dinamika di antara dua gelembung besar yang kadung tercipta.

Hasil resmi Pilkada Serentak 2018 memang masih harus menanti keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data yang saat ini beredar semata masih hasil survei, hitung cepat, dan atau exit poll yang digelar beragam lembaga.

Meski begitu, sejumlah gambaran sudah mulai terbentuk, baik untuk Pilkada Serentak 2018 itu sendiri maupun bagi Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019. Apa sajakah itu?

Pilkada Provinsi
bukan "Milik"
PDI-P pun Gerindra

ADA 17 pilkada di tingkat provinsi untuk memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada Serentak 2018. Tiga di antaranya digelar di Pulau Jawa, yaitu di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Bila kontestasi nasional disebut-sebut sebagai perseteruan antara koalisi pendukung pemerintah yang dimotori Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan oposisi yang bermesin pendorong Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), hasil Pilkada Serentak 2018 ini tak memperlihatkannya kekuatan dapur pacu kedua mesin, setidaknya di tingkat provinsi.

Baca juga: Ini Peta Kemenangan Parpol dalam Pilkada 2018 di 15 Provinsi

Dari jumlah itu, setidaknya berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei sampai Rabu malam,  PDI-P hanya memenangi empat pemilihan di antaranya.

Untuk pemilihan gubernur di Pulau Jawa, PDI-P bahkan hanya berjaya di Jawa Tengah yang dari dulu punya sebutan "Kandang Banteng". Itu pun, perolehan suaranya tak setinggi perkiraan awal.

Data dari Litbang KOMPAS, misalnya, semula mendapati hasil survei seperti berikut ini:

Infografik Survei Litbang Kompas Elektabilitas Pasangan Calon di Pilkada Jawa Tengah

Tak dinyana, suara mengambang memberikan hasil kejutan, setidaknya pada quick count yang salah satunya juga digelar Litbang KOMPAS, seperti terlihat pada data berikut ini:

Rekap Hasil Hitung Cepat Pilkada Jawa Tengah 2018 - KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO

Pukulan bagi PDI-P barangkali bisa dinisbatkan antara lain pada pemilihan di Jawa Timur. Provinsi ini juga merupakan salah satu basis tradisional PDI-P, meski harus berbagi dengan partai politik lain yang pada saat itu sedang akrab dengan kalangan nahdliyin.

Kawasan tapal kuda Jawa Timur dari dulu merupakan area yang kemenangannya terletak pada "keputusan" nahdliyin. Sosok Soekarno yang masih lekat sebagai patron partai juga identik dengan provinsi ini.

Sudah begitu, kandidat wakil gubernur yang diusung adalah trah Soekarno, pasangannya juga adalah petahana. Barangkali rasanya semakin sesak, karena penantang pasangan tersebut adalah "veteran" tiga kali berlaga di Pilkada Jawa Timur.

Rekap Hasil Hitung Cepat Pilkada Jawa Timur 2018 - KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO

Meski begitu, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengklaim partainya mengantongi 60 persen kemenangan di pilkada tingkat kabupaten kota. Dari 154 pilkada tingkat ini, sebut dia, PDI-P berpartisipasi di 152 pilkada dan memenangi 91 di antaranya.

Dari jumlah kemenangan di kabupaten kota itu, lanjut Hasto, 33 kader PDI-P menjadi kepala daerah dan 38 kader menjadi wakil kepala daerah.

“Kemenangan PDI Perjuangan berada di tingkat kabupaten kota. Yang menggembirakan jumlah kader partai yang terpilih semakin banyak. Dengan demikian tolok ukur yang paling riil dalam pilkada ditentukan oleh jumlah kader yang berhasil menjabat sebagai kepala dan wakil kepala daerah, sebagai buah dari proses pendidikan politik kader,” papar Hasto, Kamis (28/6/2018).

Adapun di tingkat provinsi, Hasto menyebut partainya menang di enam provinsi, bukan empat. Keenam provinsi itu adalah Bali, Jawa Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi Selatan. Di keenam provinsi itu, lanjut dia, empat kader menjadi gubernur dan tiga kader menjadi wakil gubernur.

“Jumlah kader yang menjadi kepala dan wakil kepala daerah PDI Perjuangan telah meningkat secara signifikan dari 214 pada 5 tahun sebelumnya, menjadi 345 orang. Prestasi dan kinerja para kader ini yang akan menjadi wajah partai dalam memenangkan pileg dan pilpres. Pileg dan Pilpres di depan mata, di situlah konsentrasi utama kami saat ini,” ungkap Hasto.

Menurut Hasto, partainya mengutamakan mengusung kader dalam partisipasi di pilkada. Dia menyebut langkah itu sebagai bukti partainya tidak pragmatis.

"Kalau untuk sekadar menang kalah, tentu PDI Perjuangan akan mengusung figur yang elektabilitasnya paling tinggi, tidak harus memperhatikan apakah itu kader atau bukan, dan bagaimana komitmen ideologinya," ujar Hasto dalam konferensi pers pada Kamis petang.

 

Gerindra dan koalisinya

Setali tiga uang, Partai Gerindra dan koalisinya tak memperlihatkan taji di pemilihan gubernur. Hanya tiga pasangan kandidatnya yang memenangi pemilihan ini, dan tak ada satu pun yang berada di area pemilihan Pulau Jawa.

Baca juga: Pertarungan Ideologis dan Pergerakan Massa Pengaruhi Pilkada Jabar dan Jateng

Khusus di Jawa Timur, rasa hati Partai Gerindra bisa jadi sama persis dengan PDI-P, karena mereka berkoalisi di pengusungan kandidat yang sama. Setidaknya, stigma perseteruan sampai titik darah penghabisan di antara dua partai ini sudah termentahkan dari satu contoh lokasi pemilihan ini.

Meski begitu, catatan tebal tetap harus diberikan bagi perolehan dukungan pasangan yang diusung Partai Gerindra dan koalisinya di tiga pemilihan gubernur di Pulau Jawa.

Apa pasal? Perolehan suara mereka dalam quick count dan exit poll jauh melampaui proyeksi berderet lembaga survei.

Baca juga: Berkaca dari Pilkada 2018, Oposisi Mulai Menyaingi Kekuatan Koalisi Pemerintah

Penantang petahana di Jawa Tengah, misalnya, merupakan salah satu pasangan yang didukung Partai Gerindra di arena Pulau Jawa. Perbandingan proyeksi hasil survei dan angka hitung cepat dari pasangan tersebut jadi contoh kejutan yang dimaksud.

Kejadian serupa terjadi di Pilkada Jawa Barat 2018. Perolehan suara dari calon yang diusung Partai Gerindra semula diperkirakan hanya akan ada di posisi ketiga dari empat pasangan calon. Persentasenya pun tipis.

Perbandingan Hasil Survei Elektabilitas Pilkada Jawa Barat 2018

Baca juga: Pasca-Pilkada, Gerindra Makin Intensif Bangun Koalisi bersama PKS-PAN

Lagi-lagi tak disangka, perolehan suara pasangan calon yang diusung partai ini menempel ketat posisi pemuncak di hitung cepat, dan angkanya berlipat kali data survei.

Rekap Hasil Hitung Cepat Pilkada Jawa Barat 2018 - KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO

Terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyebut capaian yang diraih di Jawa Tengah dan Jawa Barat cukup signifikan.

Hasil seperti yang dilihat sementara dari hasil hitung cepat itu pun dia sebut makin meyakinkan partainya untuk memprioritaskan koalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) pada pesta-pesta demokrasi mendatang.

Ada Pergeseran
Peta Kekuatan Partai Politik

HASIL Pilkada Serentak 2018 di tingkat provinsi saja sudah memperlihatkan tren gelagat pergeseran peta basis pendukung dan kekuatan partai politik.

Baca juga: Ini Peta Kemenangan Parpol dalam Pilkada 2018 di 15 Provinsi

Partai Nasional Demokrat (Nasdem), misalnya, mengklaim kemenangan pilkada di 11 provinsi. Lalu, Partai Amanat Nasional (PAN) menyebut ikut memenangkan kandidat pilkada di 10 provinsi, sementara Partai Golkar mendaku telah mengantongi sembilan kemenangan di pilkada provinsi.

Betul, tak semua partai politik mengajukan kadernya untuk berlaga sebagai kandidat. Namun, sebaran dukungan partai politik kepada kandidat ternyata cukup merata dan luas spektrumnya.

Hingga Rabu (27/6/2018) malam, Kompas.com merekap data hasil pemilihan gubernur di 15 provinsi, merujuk kepada sejumlah hasil hitung cepat. Dua pemilihan gubernur yang belum didapatkan datanya adalah untuk Pilkada Papua 2018 dan Pilkada Maluku Utara 2018.

Baca juga: Litbang Kompas: Kekuatan Pasangan Sudrajat-Syaikhu dan Sudirman-Ida Mengejutkan

Selain DKI Jakarta dan Banten yang pada tahun ini tak menggelar pilkada tingkat provinsi, demikian pula Daerah Istimewa Yogyakarta yang mekanisme pemilihan gubernurnya adalah penetapan, pergeseran peta dukungan pun dapat ditelisik dari survei setelah pemungutan suara (exit poll) di Pilkada Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, yang digelar Litbang KOMPAS seperti berturut-turut berikut ini:

Hasil Survei Setelah Pilkada Jawa Timur 2018 - LITBANG KOMPAS
Hasil Survei Setelah Pilkada Jawa Tengah 2018 - LITBANG KOMPAS
Hasil Survei Setelah Pilkada Jawa Barat 2018 - LITBANG KOMPAS

Sinyal
bagi Jokowi
dan Pemilu 2019

PENDIRI Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz, melihat ada sejumlah sinyal positif dari Pilkada Serentak 2018 terhadap proses demokratisasi Indonesia, termasuk prospek Pemilu 2019. Namun, sejumlah tantangan juga masih membayangi.

Mellaz menyebut, Pilkada Serentak 2018 telah membuka peta teritorial yang selama ini dinisbahkan sebagai wilayah partai politik tertentu untuk suatu daerah. Menurut dia, kombinasi aktor dan partai politik dari hajatan kali ini tampak melempangkan jalan bagi Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres 2019.

Bukannya PDI-P sebagai partai pengusung Jokowi saat ini tidak banyak mendapatkan kemenangan, setidaknya di pilkada tingkat provinsi?

"Ini menariknya. Kebingungan para aktor, elite, dan partai politik menyikapi Pemilu 2019 yang serentak antara legislatif dan presiden, sepertinya mendapatkan jawaban dari hasil Pilkada Serentak 2018 ini," ungkap Mellaz.

Untuk pertama kali lewat Pemilu 2019, pemilihan anggota parlemen dan presiden berlangsung pada satu waktu. Dulu, para pelaku politik dapat fokus pada pemenangan pencalonan legislatif, termasuk memperjuangkan suara partai politik untuk memastikan perolehan kursi parlemen.

Setelah kepastian kursi parlemen digenggam, pemenangan presiden dilakukan dengan harapan mengandalkan mesin partai dan para calon legislatif yang telah terpilih itu.

Perolehan Suara dan Kursi DPR pada Pemilu 2009 dan 2014 - LITBANG KOMPAS

Dengan pemilu serentak, situasi berubah. Konsekuensinya pada satu waktu, para pelaku politik harus memenangkan dirinya sendiri yang maju sebagai calon legislatif, memperjuangkan suara partai politik untuk menjamin perolehan kursi yang itu bisa jadi buat dirinya yang mencalonkan diri, sekaligus melakukan pemenangan untuk pemilu presiden.

"Ketika pemilu serentak, para pelaku kehilangan insentif, termasuk peluang untuk melakukan negosiasi (politik) menggunakan perolehan suara di pemilu legislatif untuk pemilu presiden," kata Mellaz.

Sebaliknya, calon presiden juga berpikir ulang untuk semata mengandalkan para calon anggota legislatif dan partai politik untuk pemenangan Pilpres 2019.

"Ini teritorial terbuka, beberapa daerah yang kepala daerahnya terpilih pada Pilkada 2018 akan menjadi semacam 'tim sukses' presiden, sehingga nanti calon legislatif bisa fokus ke dirinya dan partai politik pada 2019," papar Mellaz.

Baca juga: Jadi Jubir Jokowi di Pilpres 2019, Khofifah Bilang "Siap Kalau Ditunjuk"

Pilkada 2018, lanjut dia, memperlihatkan kombinasi peta teritorial, aktor politik pasangan calon, dan mesin partai yang bekerja. Terlihat, semua partai politik sedang berusaha memecahkan tantangan Pemilu 2019 dengan mengadvokasi peta jalan bagi Jokowi.

"Jokowi nanti tinggal mengajukan program, jalannya sudah ditata oleh banyak orang di Pilkada 2018. Fakta itu berpengaruh ke semua partai politik, termasuk Gerindra yang selama ini dianggap kompetitor," ujar Mellaz.

Satu hal yang harus diantisipasi dari perspektif ini adalah calon tunggal untuk Pilpres 2019. Terlebih lagi, Pilkada 2018 mencuatkan pula fakta baru bahwa publik sudah semakin cerdas berdemokrasi, termasuk memilih kotak kosong pada kontestasi bercalon tunggal.

Baca juga: Quick Count Pilkada Makassar, Kotak Kosong Unggul atas Calon Tunggal

Masalahnya, calon tunggal di pemilu presiden punya risiko besar bila hal serupa terjadi.

"Betul, tidak ada mekanisme yang tersedia untuk pencalonan tunggal yang kalah dari kotak kosong di pilpres. Tidak ada pula mekanisme penjabat presiden bila ada kekosongan kekuasaan akibat pemilu tidak menghasilkan kepemimpinan baru," ujar Mellaz.

Sebagai catatan, hingga saat ini baru Jokowi yang sudah resmi dideklarasikan sebagai calon presiden untuk Pemilu 2019, sekaligus sudah mengantongi kecukupan jumlah dukungan dari partai politik sebagaimana dipersyaratkan UU Pemilu.

Baca juga: PDI-P Resmi Usung Jokowi sebagai Capres

Jokowi setidaknya sudah mengantongi dukungan pencalonan dari PDI-P, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Adapun Gerindra, sudah menyerahkan mandat kepada Prabowo Subianto untuk menentukan pencapresan. Namun, belum ada pernyataan resmi soal calon presiden yang akan diusung pada Pemilu 2019. Itu pun, syarat minimal dukungan partai belum pula terpenuhi, karena baru Partai Keadilan Sejahtera yang sudah terlihat akrab dan bersepakat dengan partai ini.

Hingga Pilkada Serentak 2018 berlangsung, sejumlah partai politik yang memenuhi kriteria UU Pemilu untuk mencalonkan presiden belum menentukan sikap. Mereka adalah Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Wacana poros ketiga pun sempat muncul dari konstelasi ini.

Harapan Baik
di Luar Urusan Politik Praktis

SELAIN urusan politik praktis, Pilkada Serentak 2018 memperlihatkan pula sejumlah harapan baik yang semoga berlanjut hingga ke Pemilu 2019 dan seterusnya.

Apa saja?

Pertama, pemilih yang lebih rasional. Hal ini terlihat dari mencairnya pilihan-pilihan berbasis latar belakang partai politik seperti terlihat pada sejumlah infografis exit poll di segmen-segmen sebelumnya.

"Basis rasionalitas lebih direspons publik. Isu SARA dan primordial tak mengemuka, dicoba tapi tak laku. Justru yang muncul kasus (Pilkada Kota) Makassar, publik menunjukkan sikap secara klir, memilih kotak kosong," sebut Mellaz.

Harapan Publik pada Partai Politik - LITBANG KOMPAS

Kedua, Pilkada Serentak 2018 secara umum berlangsung kondusif. Kekhawatiran aparatur negara termasuk penjabat kepala daerah menggunakan otoritasnya untuk mengintervensi pilkada, ternyata juga tidak terbukti sejauh ini.

Ketiga, para pelaku yang mencoba-coba menggunakan teknologi informasi untuk mempengaruhi pilihan pemilih pun sepertinya belajar banyak pasca-Pilkada DKI Jakarta 2017.

"Mereka juga belajar soal risiko hukum yang bisa menjeratnya, sementara dampaknya tidak terlalu signifikan," ujar dia.

Keempat, setidaknya sampai sekarang tidak terlihat sikap-sikap berlebihan kandidat yang disebut kalah dalam hitung cepat dan tidak terima.

Menurut Mellaz, ini terkait pula dengan kesadaran kolektif bahwa sejumlah kekalahan yang terjadi semata memperlihatkan ketidakmampuan partai merawat dan mengelola basis massa. Di dalamnya termasuk ketidakmampuan partai menghadirkan figur kandidat yang memenuhi kebutuhan publik di basis wilayahnya itu.

"Ini akan ada efek menular," kata dia.

Secara umum, sebut Mellaz, ada pergeseran kekuasaan yang besar dari hasil Pilkada Serentak 2018, setidaknya dari hasil hitung cepat yang sekarang ada.

Dari semua partai politik peserta pemilu yang berkompetisi kali ini, dewi fortuna tak sedang berpihak pada PDI-P dan Gerindra, setidaknya di tataran hasil akhir pilkada tingkat provinsi berdasarkan data hitung cepat.

Adapun partai-partai lain, terlepas disebut "pendompleng" karena tak punya kader untuk diusung dalam koalisi, terbukti setidaknya lebih lihai menentukan kerumunan dan figur kandidat yang bakal mendulang kemenangan.

Meski begitu, catatan soal sebaran dan besaran dukungan suara dari kandidat dan partai politik yang tak memenangi kompetisi juga perlu dicermati seperti paparan pada segmen sebelumnya.

"Ada pula bacaan, partai politik tak lagi bisa begitu kuat mencengkeram dan mendikte figur yang terbukti diterima juga oleh partai lain sekaligus diminati publik. Ada equilibrium baru politik Indonesia," imbuh Mellaz.

Akankah Pilkada Serentak 2018 benar-benar menggaungkan sinyal yang tepat bagi perpolitikan dan perdemokrasian di Indonesia?