JEO - News





Menuju Debat Perdana
Pilpres 2019: 
HAM-Korupsi-Terorisme

Rabu, 16 Januari 2019 | 13:25 WIB

Penegakan HAM, pemberantasan korupsi, dan terorisme menjadi persoalan bidang hukum yang membutuhkan komitmen tinggi dari pemimpin bangsa. Janji boleh janji, asal jangan lupa direalisasi!


DEBAT pertama calon presiden dan calon wakil presiden yang berkompetisi dalam Pemilihan Presiden 2019, yakni pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akan digelar pada 17 Januari 2019.

Tiga isu besar bidang hukum akan menjadi fokus dalam debat perdana, yaitu persoalan hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, dan terorisme.

Enam panelis dipilih untuk terlibat dalam debat ini, yaitu mantan Ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan; Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik; Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana; Ahli Tata Negara Margarito Kamis, Bivitri Susanti, dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo.

Namun, Agus memilih tidak hadir di arena debat sekalipun tetap menjadi panelis. Alasannya, sebut Agus, supaya tidak ada kesan dia dan institusinya ditarik ke wilayah politik.

Baca juga: Jadi Panelis, Agus Rahardjo Tak Akan Hadiri Debat Pilpres, Apa Alasannya?

Enam Panelis Debat Perdana Pilpres 2019 - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Mekanismenya, debat akan berlangsung selama sekitar 89 menit yang dibagi dalam enam segmen:

Aturan Main Debat Perdana Pilpres 2019 - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Tak bahas kasus

Pada debat ini, tak akan ada pembahasan kasus. Salah satu panelis, ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan, panelis tidak akan mengajukan pertanyaan spesifik terkait kasus hukum, HAM, korupsi, dan terorisme.

Pertanyaan yang diajukan akan bersifat umum, misalnya terkait strategi, kebijakan dan sikap pasangan calon mengenai isu penegakan hukum, HAM, korupsi, dan terorisme.

"Yang tidak ditanya itu maksudnya kasus-kasus individual," ujar Bivitri saat dihubungi, Kamis (10/1/2019).

Contohnya, kasus penyiraman air keras yang dialami oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Ia tak bisa menjawab saat ditanya lebih jauh soal kesepakatan ini karena merupakan kewenangan KPU.

Para panelis akan mengajukan pertanyaan seputar visi misi yang dipaparkan dalam segmen pertama. Pertanyaan yang diajukan akan bersifat umum, misalnya terkait strategi, kebijakan dan sikap pasangan calon mengenai isu penegakan hukum, HAM, korupsi, dan terorisme.

Lalu, bagaimana komitmen kedua calon terkait isu-isu tersebut dan apa yang akan jadi tantangan ke depan? Apa saja yang perlu menjadi sorotan? 

JEO ini akan mengupas ketiga isu tersebut, masing-masing dalam satu bab pembahasan tersendiri, yaitu berturut-turut memakai judul:

SOAL HAM,
JANGAN HANYA “GIMMICK”

 

SEJUMLAH organisasi masyarakat sipil dan pegiat HAM berharap pasangan calon menunjukkan komitmennya melalui pemaparan langkah-langkah konkret dalam penegakan HAM.

Salah satunya, terkait penuntasan kasus pelanggaran berat HAM pada masa lalu. Berdasarkan catatan Komnas HAM, terdapat sembilan kasus pelanggaran HAM pada masa lalu yang belum terselesaikan.

Kesembilan kasus tersebut adalah:

  1. Peristiwa 1965/1966
  2. Peristiwa Talangsari Lampung 1998
  3. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
  4. Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II
  5. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
  6. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
  7. Peristiwa Wasior dan Wamena
  8. Peristiwa Simpang KKA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh
  9. Peristiwa Rumah Geudong, dan Pos Sattis lainnya di Provinsi Aceh.

Kedua pasangan calon juga harus menjawab isu-isu HAM di ranah hak sipil dan politik yang cenderung luput dari perhatian pemerintah

Kedua pasangan calon juga harus menjawab isu-isu HAM di ranah hak sipil dan politik yang cenderung luput dari perhatian pemerintah.

Sejumlah isu HAM tersebut antara lain, perlindungan terhadap kelompok rentan dan minoritas, kebebasan beragama dan berkeyakinan, penerapan hukuman mati, praktik penyiksaan, implementasi pengadilan HAM, pelanggaran HAM di Papua, reformasi peradilan militer, serta rekonsiliasi di Aceh.

Apakah komitmen penuntasan kasus pelanggaran HAM pada masa lalu dan berbagai persoalan terkait HAM itu jadi fokus kedua pasangan calon? 

Mari, kita lihat visi misi penegakan HAM yang tercantum dalam berkas visi misi Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. 

Joko Widodo-Ma’ruf Amin

Persoalan HAM masuk pada bagian ke-6 dalam visi misi pasangan nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, “Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya”.

Sejumlah hal dijanjikan pasangan ini terkait penegakan HAM, yaitu: 

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani mengatakan, tim kecil mendiskusikan soal penyelesaian kasus HAM pada masa lalu.

“Pilihannya adalah ini melalui jalur yudisial atau kita mengembangkan jalur non-yudisial. Itu contoh-contoh yang kami diskusikan," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/1/2019).

Salah satu poin dalam sembilan agenda prioritas Nawa Cita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.

Pada masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi—yang sekarang adalah petahana—pernah berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM pada masa lalu dan menghapus impunitas.

Komitmen tersebut juga tercantum dalam visi, misi, dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawa Cita. 

Salah satu poin dalam sembilan agenda prioritas Nawa Cita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.

Jokowi juga menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM pada masa lalu. Kedelapan kasus tersebut adalah kasus kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priuk, dan Tragedi 1965.

Arsul mengatakan, penyelesaian HAM pada masa lalu yang mengemuka selama ini selalu dengan jalur hukum. Ia menyebutkan, alternatif penyelesaian lewat jalur non-yudisial belum dieksplorasi lebih jauh.

Prabowo Subianto-Sandiaga Uno

Pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, memasukkan “keadilan HAM” sebagai salah satu bagian dari fokus keempat dalam visi dan misinya.

Turunannya, program aksi yang ditawarkan adalah:

Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Siane Indriani mengatakan, Prabowo-Sandiaga mempersiapkan dengan baik materi debat terkait. Materi terkait HAM, kata dia, akan dipaparkan dalam segmen pertama penyampaian visi-misi.

Prabowo-Sandiaga akan lebih fokus pada isu HAM terkait bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang dinilai tak terlalu diperhatikan saat ini.

Menurut Siane, Prabowo-Sandiaga akan lebih fokus pada isu HAM terkait bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang dinilai tak terlalu diperhatikan saat ini.

“Ke depan itu nanti akan lebih diprioritaskan masyarakat golongan bawah yang selama ini jumlahnya besar, tapi tidak mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh akses atas (sumber daya) ekonomi," kata Siane, Rabu (9/1/2019).

Dalam sektor hak perburuhan, lanjut Siane, Prabowo-Sandiaga menjanjikan adanya perbaikan batas upah minimum buruh. Selain itu, disoroti pula perlindungan lingkungan hidup dengan mendorong pemanfaatan sumber daya energi terbarukan.

Prabowo-Sandiaga juga akan memberikan perhatian atas perlindungan terhadap keberadaan kelompok minoritas.

Siane mengatakan, maraknya kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas terjadi karena lemahnya penegakan hukum.

"Termasuk (perlindungan kelompok minoritas). Intinya penegakan hukum yang tidak diskrimimatif. Itu yang menjadi simpul utama, payung hukumnya harus tidak diskriminatif. Keadilan untuk semua," ujar Siane.

VISI MISI HAM KANDIDAT PILPRES 2019 - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Menanti komitmen penegakan HAM 

Isu HAM diminta jangan dijadikan gimmick. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meminta dua pasangan calon presiden dan wakil presiden memberi tempat bagi isu HAM dalam program mereka.

Kepala Bidang Advokasi Kontras, Putri Kanesia mengatakan, Kontras meragukan dua pasang calon tersebut memiliki strategi matang terkait HAM.

"Saya khawatir HAM hanya menjadi gimmick politik untuk meraih dukungan dari keluarga korban HAM. Kemudian ketika terpilih nanti, lupa dengan apa yang dijanjikan," ujar Putri, Selasa (8/1/2019).

Baca juga: Konflik dan Pelanggaran HAM Catatan Kelam 20 Tahun Reformasi

Baik pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga dinilai punya masalah dalam penegakan HAM.

Keraguan ini bukan tanpa alasan. Putri mengatakan, baik pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga dinilai punya masalah dalam penegakan HAM.

Jokowi, misalnya, pernah berjanji membereskan masalah HAM pada masa lalu dalam program Nawa Cita. Namun, sampai sekarang belum ada pengadilan ad hoc atau upaya untuk membereskan masalah itu.

Sementara itu, Prabowo justru dianggap sebagai pelanggar HAM berat atas dugaan kasus penculikan aktivis.

Putri mengatakan, keduanya harus bisa menjelaskan persoalan-persoalan itu dalam debat. Tidak hanya mengenai penyelesaian kasus HAM pada masa lalu, Kontras juga meminta kedua kandidat memaparkan program penegakan HAM melalui regulasi.

Kekhawatiran yang sama diungkapkan Koordinator Kontras Yati Andriani. Ia mengatakan, seperti pada momen debat Pilpres 2014, hampir dapat dipastikan kedua pasangan capres-cawapres akan menempatkan topik HAM sebatas retorika semata.

"Masuknya isu HAM dalam debat capres-cawapres tidak menjamin sepenuhnya agenda HAM akan jadi agenda prioritas kedua pasangan yang berkontestasi," ujar Yati.

Menurut Yati, masuknya agenda HAM masih sebatas formalitas untuk meramaikan gelaran debat capres semata.

"Mengingat, sejauh ini dari kedua kubu yang berkontetasi, tidak memiliki rekam jejak pemenuhan HAM yang signifikan dan substansif. Terutama untuk agenda HAM pada ranah perlindungan, pemenuhan hak sipil dan politik," lanjut dia. 

Kasus HAM pada masa lalu

Penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM pada masa lalu disoroti menjadi isu yang harus dibahas dalam debat. Presiden dan wakil presiden terpilih memiliki beban untuk menuntaskan kasus yang menjadi utang negara.

Aktivis HAM dan keluarga korban pelanggaran HAM memperingati 10 Tahun Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/1/2017). Kamisan sebagai bentuk perlawanan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia dalam melawan lupa telah berlangsung selama 10 tahun sejak aksi pertama di depan Istana Merdeka pada 18 Januari 2007.
KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG
Aktivis HAM dan keluarga korban pelanggaran HAM memperingati 10 Tahun Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/1/2017). Kamisan sebagai bentuk perlawanan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia dalam melawan lupa telah berlangsung selama 10 tahun sejak aksi pertama di depan Istana Merdeka pada 18 Januari 2007.

Di sisi lain, pengembalian sembilan berkas kasus dugaan pelanggaran berat HAM dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM juga menjadi persoalan yang harus dipecahkan agar tidak berlarut-larut.

"Buat kami penuntasan kasus pelanggaran berat HAM pada masa lalu harus di-highlight secara khusus dalam debat," ujar Yati, Jumat (11/1/2019).

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menuturkan, penyelesaian kasus HAM pada masa lalu melalui pembentukan pengadilan HAM ad hoc dan rekonsiliasi adalah dua opsi yang tidak bisa dipisahkan.

Artinya, kedua mekanisme tersebut harus dijalankan oleh pemerintah dalam penuntasan kasus HAM pada masa lalu sebagaimana mandat reformasi. Oleh sebab itu, kata Usman, pemerintah tidak dapat keluar dari dua mekanisme itu.

"Dua-duanya itu bukan pilihan, tapi kewajiban dan mandat dari reformasi. Jadi, capres mana pun tidak boleh keluar dari mandat reformasi itu, yaitu menyelesaikan pelangaran HAM secara hukum yang berkeadilan lewat pengadilan dan melalui jalan di luar pengadilan. Dua-duanya itu tidak boleh ditawar lagi," kata Usman.

Setiap kandidat harus memiliki strategi dalam mengantisipasi potensi munculnya kasus-kasus baru pelanggaran HAM. 

Sementara itu, Putri berpendapat, setiap kandidat harus memiliki strategi dalam mengantisipasi potensi munculnya kasus-kasus baru pelanggaran HAM. 

Putri memprediksi, ke depannya akan ada peningkatan kasus pelanggaran HAM di sektor ekonomi, sosial, dan budaya, seperti kriminalisasi aktivis lingkungan hidup serta di sektor hak sipil dan politik.

"Penting bagi calon presiden dan wakil presiden terpilih untuk memiliki strategi konkret terhadap penyelesaian atas kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut," kata Putri.

Tim sukses kedua pasangan calon mengklaim bahwa pasangan capres-cawapresnya memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.

Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berkomitmen menuntaskan kasus HAM pada masa lalu.

Menurut Hinca, ada dua opsi mekanisme penyelesaian kasus yang ditawarkan oleh pasangan Prabowo-Sandiaga, yakni mekanisme non-yudisial melalui jalan rekonsiliasi dan yudisial melalui pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

Adapun politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arteria Dahlan mengatakan, Joko Widodo memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus HAM pada masa lalu yang berkeadilan, bermartabat, dan tidak saling melukai.

Meski demikian, Arteria tidak memaparkan langkah konkret apa yang akan diambil oleh Jokowi.  

Tantangan penegakan HAM

Komitmen terhadap penegakan HAM tentunya tidak berhenti pada saat debat. Putri mengatakan, terkait penuntasan kasus HAM pada masa lalu, capres-cawapres terpilih diharapkan dapat memastikan terbentuknya pengadilan HAM ad hoc.

Mekanisme penyelesaian melalui jalur yudisial, menurut Putri, bertujuan memenuhi hak atas keadilan bagi korban dan keluarganya.

Capres-cawapres terpilih juga harus memastikan agenda penegakan HAM di sektor hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya tidak dipengaruhi oleh kepentingam politik dan korporasi.

Di sisi lain, capres-cawapres terpilih juga harus memastikan agenda penegakan HAM di sektor hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya tidak dipengaruhi oleh kepentingam politik dan korporasi.

"Bagi isu HAM lain, tantangannya akan terlihat dari pelaksanaannya. Harus dipastikan nantinya tidak akan terkait atau dipengaruhi kepentingan elite politik, pengusaha, atau pihak-pihak yang dapat menghambat upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan penegakan hukum," kata Putri.

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati.

Menurut dia, penuntasan kasus HAM saat ini terhambat dengan adanya orang-orang yang diduga terlibat kasus di lingkaran kekuasaan. Bahkan, orang-orang tersebut memegang jabatan strategis di pemerintahan.

"Tantangannya, masih ada pelanggar HAM yang menjadi pejabat publik bahkan dalam posisi-posisi strategis. Orang-orang ini kerap menggunakan institusi untuk kepentingan pribadi, tapi dengan dalih seolah ini kepentingan lembaga," kata Asfin.

Pilih yang "ramah HAM"

Agenda penegakan HAM tidak akan berjalan tanpa adanya peran dari masyarakat. Para pegiat HAM mengingatkan masyarakat harus benar-benar mengawasi komitmen pasangan calon, apakah benar-benar dijalankan setelah terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.

Calon pemilih harus memastikan konsistensi ucapan dengan tindakan pasangan calon. Hal ini juga merupakan sebuah bentuk sikap politik.

Selain itu, patut diingat bahwa politik warga adalah politik pasca-pemilu. Artinya, masyarakat wajib menuntut sekaligus memantau komitmen yang dijanjikan dalam visi misi, siapa pun capres dan cawapres terpilih.

KOMITMEN PEMBERANTASAN KORUPSI HARUS KUAT

 

ISU korupsi menjadi persoalan hukum yang paling disoroti saat ini. Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT) membuat publik terperangah, kala tak henti-hentinya para pejabat publik terjerat korupsi.

Sejumlah pejabat negara mulai dari menteri, anggota, hingga pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan ketua partai politik pernah ditetapkan sebagai tersangka.

Baca juga: INFOGRAFIK: 29 Kepala Daerah Terjerat Kasus Korupsi Sepanjang 2018

Selain KPK, kinerja Polri, dan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus korupsi juga mendapat sorotan dalam 5 tahun terakhir. Pada akhirnya, berbagai dinamika yang terjadi akan dititikberatkan pada tanggung jawab pemerintah dalam menjamin negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Ilustrasi Membangun Integritas - (KOMPAS/DIDIE SW)

Debat capres yang mengangkat topik pemberantasan korupsi merupakan kesempatan untuk melihat komitmen calon pemimpin untuk memberantas korupsi.

Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, publik ingin mengetahui apa yang ingin dilakukan para capres jika terpilih, baik dari sisi pencegahan korupsi maupun penegakan hukumnya.

Seorang presiden harus menjadi pemimpin dalam pemberantasan korupsi.

Seorang presiden, dalam pandangan Refly, harus menjadi pemimpin dalam pemberantasan korupsi. Yang bisa dilakukan adalah memilih aparat penegak hukum yang tidak memiliki rekam jejak korupsi.

Sosok yang dipilih memimpin lembaga yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian, adalah individu yang memiliki integritas dan antikorupsi.

"Komitmen capres harus kuat saat debat pertama. Kalau Jokowi yang terpilih kan dia enggak punya beban mental, sedangkan jika Prabowo yang terpilih dia harus membuktikan kalau dia lebih baik dari Jokowi," kata Refly, Selasa (8/1/2019).

Ia mengingatkan, pemberantasan korupsi merupakan amanat reformasi yang masih menjadi persoalan bersama bangsa.

Joko Widodo-Ma’ruf Amin

Satu dari sembilan misi yang ditawarkan pasangan nomor urut 01, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, adalah “Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya”.

Negara harus hadir dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak warga negara dan HAM, termasuk rasa aman kepada seluruh warga negara.

Penjelasan dari misi ini menyatakan, sebagai negara hukum, penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di Indonesia harus berdasarkan hukum. Negara harus hadir dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak warga negara dan HAM, termasuk rasa aman kepada seluruh warga negara.

Salah satu yang akan dilakukan adalah melanjutkan reformasi dan penegakan hukum, termasuk memberantas mafia peradilan dan penindakan tegas terhadap korupsi di lingkungan peradilan.

Joko Widodo-Ma’ruf Amin menjanjikan sejumlah hal berikut untuk mencegah dan memberantas korupsi:

Anggota Divisi Penugasan Khusus Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, Inas Nasrullah Zubair, mengklaim, selama hampir 5 tahun memimpin, Jokowi menunjukkan komitmen yang baik dalam pemberantasan korupsi.

Menurut dia, hal itu terlihat dari 5 kebijakan pemerintah, terutama terkait upaya pencegahan korupsi. Pertama, langkah Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Nasrullah mengatakan, inpres ini fokus pada pencegahan tindak pidana korupsi dan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi untuk diimplementasikan dalam tujuh sektor.

Kedua, lanjut Nasrullah, Presiden Jokowi menolak dimudahkannya remisi untuk koruptor. Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sempat merencanakan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 

Dalam draf revisi, ketentuan justice collaborator (JC) sebagai syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, dihilangkan. Draf ini ditolak.

Ketiga, menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Perpres itu mengamanatkan pembentukan Tim Nasional Pencegahan Korupsi dengan tugas mengkoordinasikan pelaksanaan strategis nasional pemberantasan korupsi sekaligus menyampaikan laporan kepada Presiden.

Perpres tersebut mengatur, setiap menteri, pimpinan lembaga, dan kepala daerah, juga wajib melaporkan aksi pencegahan korupsi kepada Tim Nasional Pencegahan Korupsi berkala setiap tiga bulan.

Keempat, kata Nasrullah, langkah Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kelima, meningkatnya jumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Jumlah penyidik yang sebelumnya hanya lima puluhan orang, kata dia, terus ditingkatkan sehingga sekarang mencapai dua ratusan orang.

Prabowo Subianto-Sandiaga Uno

Di bidang hukum, pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengusung tagline “Keadilan di bidang hukum dan demokrasi berkualitas”. Hal ini menjadi fokus ketiga dari lima fokus yang masuk dalam program kerja dalam visi misi yang diusung pasangan ini.

Tujuannya, membangun keadilan dan HAM, memberantas korupsi, serta memperkuat persatuan bangsa melalui penegakan hukum dan jalan demokrasi yang berkualitas.

Beberapa program aksi yang dijanjikan terkait pemberantasan korupsi adalah:

Juru Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ahmad Riza Patria, mengatakan, masalah korupsi yang melibatkan pejabat negara akan disinggung keduanya dalam debat. 

Tim Prabowo-Sandiaga menilai, pada era reformasi, korupsi menjadi hal yang paling disoroti.

"Dulu yang korupsi cuma di level pimpinan pusat di atas. Sekarang sampai ke pemerintah daerah, bahkan sampai ke kepala desa," ujar Riza, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (11/1/2019).

Riza mengacu pada tindak operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah yang marak di pemerintahan Jokowi.

Pada 2018, KPK mencatat sejarah operasi tangkap tangan (OTT) terbanyak sejak lembaga tersebut berdiri pada 2002. Mereka yang ditangkap mulai dari kepala daerah, penegak hukum, anggota Dewan, pejabat pajak, hingga kepala lembaga pemasyarakatan.

Riza mengatakan, pada debat nanti, Prabowo akan menyampaikan semangatnya bahwa korupsi harus diatasi hingga ke akar. Sistem yang ada akan disempurnakan kembali.

Prabowo juga akan menyuarakan jika memerintah, ia ingin bukan hanya KPK yang aktif memberantas korupsi.

VISI MISI PEMBERANTASAN KORUPSI - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)


Visi misi pemberantasan korupsi masih lemah 

Pusat Kajian Aktikorupsi Universitas Gadjah Mada melakukan kajian terhadap visi misi kedua pasangan calon terkait pemberantasan korupsi.

Ketua Pukat UGM Oce Madril mengatakan, dari kajian itu, komitmen pemberantasan korupsi dua pasangan calon itu masih lemah.

“Kami juga membandingkan dengan visi-misi ketika mereka maju di 2014 dan kebetulan capresnya sama, dan kami melihat memang kedua capres ini meminggirkan antikorupsinya," kata Oce kepada Kompas.com, Senin (7/1/2019).

Oce menyebutkan, program antikorupsi terkesan tak menjadi prioritas utama dalam visi-misi kedua pasangan. Menurut dia, tak ada agenda khusus terkait pemberantasan korupsi dari keduanya. Hal itu terlihat dari program yang dijabarkan dari turunan misi.

Baca juga: Rezim Soekarno, Soeharto, dan 20 Tahun Reformasi, dalam Hal Ekonomi

Padahal, salah satu masalah serius dari pembangunan dan tata kelola pemerintahan saat ini adalah korupsi. Oce mengingatkan, pemberantasan korupsi di suatu negara membutuhkan komitmen politik yang sungguh-sungguh dan nyata dari pemimpin negara. 

"Harapannya, kedua capres ini menjadikan isu antikorupsi ini sebagai salah satu prioritas program yaitu tergambar di visi-misi dan program mereka," kata dia.

Menurut Oce, ada banyak program antikorupsi yang sebenarnya bisa dikembangkan lebih jauh berdasarkan masalah-masalah korupsi yang sedang dihadapi Indonesia. Masalah itu mulai dari korupsi kepala daerah, korupsi aparat penegak hukum, korupsi pengadaan barang atau jasa, hingga korupsi di sektor sumber daya alam. 

Catatan pemberantasan korupsi

Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo memberikan catatan atas pemberantasan korupsi selama 5 tahun terakhir. Menurut dia, ada kemajuan, ada pula catatan yang menjadi kelemahan dalam 5 tahun ini.

Beberapa catatan itu, adalah:

Meski ada catatan negatif, Adnan juga memberikan apresiasi atas beberapa capaian positif yang dilakukan pemerintahan Jokowi, yaitu:

 

Delapan Poin Krusial yang Harus Dibahas

ICW merekomendasikan delapan poin krusial yang sebaiknya disinggung dalam debat perdana. Hal ini juga untuk menegaskan komitmen para capres dan cawapres terkait pemberantasan korupsi.

Delapan poin itu adalah:

Tantangan pemberantasan korupsi

Para calon pemimpin yang terpilih dalam Pemilihan Presiden 2019 diingatkan untuk siap menghadapi sejumlah tantangan dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi.

Adnan Topan Husodo menyebutkan, salah satu tantangannya adalah menghadapi intervensi politik.

Ilustrasi Memilih Pejabat Bersih - (KOMPAS/DIDIE SW)

Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia dalam lima tahun terakhir, dinilai tak lepas dari intervensi politik. Menurut Adnan, hal ini adalah salah satu tantangan terbesar bagi setiap calon presiden.

Presiden yang terpilih untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan, diharapkan sejak awal berani menjamin penegakan hukum yang bebas dari tekanan politik mana pun.

Presiden yang terpilih untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan, diharapkan sejak awal berani menjamin penegakan hukum yang bebas dari tekanan politik mana pun. Ia menyebutkan, sering kali ada kepentingan politik dalam penuntasan kasus korupsi.

ICW juga menilai, masih ada kecendrungan tawar-menawar (bargaining) dalam pembuatan legislasi terkait pemberantasan korupsi. Setiap calon presiden sebaiknya membicarakan hal ini secara serius dengan partai politik pendukung. 

"Sering kali ada tawar-menawar, pertimbangan utang budi bagi pihak-pihak yang memiliki pendanaan atau berkontribusi selama pemilihan presiden," kata Adnan.

Bagaimana pun, komitmen tegas calon presiden akan memengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilu mendatang.

Calon presiden sebaiknya lebih mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang golongan dan kepentingan politik sepihak.

PEMBERANTASAN TERORISME TAK BISA PAKAI "MINDSET" PROYEK

 

ISU terorisme disebut paling minim mendapat sorotan dari kedua pasangan capres-cawapres dibanding masalah korupsi dan HAM.

Padahal, terorisme masih menjadi ancaman bagi Indonesia. Jaringan-jaringan teroris yang berafiliasi dengan kelompok Islam Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), misalnya, diduga masih bercokol di sini.

Ilustrasi Mencegah dan Menangkal Radikalisme-Terorisme - (KOMPAS/DIDIE SW)

Polri memprediksi terorisme dan radikalisme tetap berpotensi menjadi gangguan utama keamanan dan ketertiban masyarakat pada 2019.

Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan, jaringan ISIS masih bergerak di level internasional dan bisa memengaruhi jaringan terorisme di Indonesia.

"Selagi mereka (ISIS) belum bisa selesai sepenuhnya, mereka akan berupaya menggerakkan jaringan mereka di luar negeri agar bergerak juga mengalihkan perhatian seperti di Eropa, Amerika, dan Asia Tenggara. Kelompok-kelompok yang ada di kita (Indonesia) bisa saja mereka bergerak," kata Tito di Markas Besar Polri, Jakarta, Kamis (27/12/ 2018).

Tindakan terorisme pada 2018 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Dari 12 kejadian selama 2017, aksi terorisme meningkat menjadi 17 tindakan pada 2018

Tito mengatakan, tindakan terorisme pada 2018 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Dari 12 kejadian selama 2017, aksi terorisme meningkat menjadi 17 tindakan pada 2018.

Namun, kata Tito, dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Polri bisa melakukan aksi pencegahan atau melakukan preemtive strike.

Dalam UU tersebut, siapa saja yang terkait dengan organisasi terorisme bisa langsung ditangkap, tanpa menunggu teror terjadi.

“Kriminalisasi terhadap perbuatan awal ini bagus, sehingga Polri bisa mencegah atau melakukan preemtive strike daripada menunggu ada barang bukti terlebih dahulu,” ujar Tito.

Data Kepolisian pada 2018, ada 396 terduga pelaku tindak pidana terorisme. Sebanyak 141 orang di antaranya diproses hingga persidangan, 204 orang masih dalam penyidikan, serta 25 orang tewas. Ada pula 13 orang tewas akibat bunuh diri, 12 orang divonis hukuman, dan satu tewas lantaran sakit.

Joko Widodo-Ma’ruf Amin

Dalam visi misi pasangan Jokowi-Ma'ruf, isu terorisme disinggung dalam upaya melanjutkan reformasi keamanan dan intelijen yang profesional dan terpercaya.

Disebutkan, upaya yang akan dilakukan adalah “meningkatkan upaya terpadu untuk menanggulangi terorisme, mulai dari peningkatan pemahaman ideologi negara untuk mengurangi radikalisme, pengembangan sistem pendidikan, hingga penguatan sistem penegakan hukum untuk mengatasi tindakan terorisme”.

Prabowo Subianto-Sandiaga Uno

Isu terorisme disinggung dalam fokus keempat Program Kerja Nasional Prabowo-Sandiaga.

Program aksinya, mencegah aksi terorisme dengan mereformasi sektor keamanan, pembenahan regulasi keamanan, reorientasi pendidikan aparat penegak hukum dan melakukan kampanye sosial-kultural secara menyeluruh.

VISI MISI PEMBERANTASAN TERORISME - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Peneliti dari the Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya mengatakan, selama periode 2014-2018 Indonesia masih diganggu riak kelompok teror.

Sejumlah peristiwa yang menonjol antara lain:

Pascaperistiwa itu, kepolisian gencar meringkus orang-orang yang diduga kuat terlibat terkait dan pelaku aksi teror. Catatan Harits, lebih dari 500 orang ditangkap dalam kurun waktu 5 tahun.

Berdasarkan laporan polisi, ada 336 orang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka perkara terorisme sepanjang 2015 hingga Juni 2017.

Berdasarkan laporan polisi, ada 336 orang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka perkara terorisme sepanjang 2015 hingga Juni 2017.

"Dari tahun ke tahun, intensitas aksi teror mengalami pasang surut. Banyak faktor yang mempengaruhinya, baik dari sektor domestik maupun global," ujar Harits.

Pulau Jawa masih menjadi daerah rawan aksi teror. Selain Jawa, ada Sulawesi dan Sumatera yang menempati urutan kedua dan ketiga daerah rawan aksi teror.

Pada aspek regulasi, Harits menilai terjadi penguatan dalam hal pemberantasan terorisme setelah lahirnya UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Baca juga: RUU Antiterorisme: dari Pasal Guantanamo sampai Tantangan HAM

Namun, Harits berpendapat pencegahan, penegakan hukum, dan penguatan regulasi tindak pidana terorisme tersebut memunculkan realita lain, yakni reaksi pro kontra publik.

"Sebab utamanya adalah cara bertindak aparat dalam penindakan dan pencegahan kerap bersentuhan atau dikaitkan dengan simbol agama tertentu. Isu terorisme sebagai upaya stigmatisasi kepada Islam ini pun masih menjadi diskursus publik," ujar Harits.

Selain itu, muncul pula isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme.

Catatan Harits, terdapat sekitar 145 orang tewas di luar proses pengadilan alias extra judicial killing. Mereka tewas di tengah proses penyelidikan atau penyidikan kasus terorisme. Salah satu peristiwa yang paling menonjol dalam hal ini adalah tewasnya Siyono pada 2016.

Perhatian dan tantangan

Harits mengatakan, calon presiden dan wakil presiden harus mempunyai konsep yang bersifat holistik dan komprehensif untuk mereduksi akar terorisme.

Capres-cawapres harus mempunyai program konkret untuk membongkar tuntas ancaman terorisme, mulai dari akar masalah hingga mencari solusi yang bermartabat.

Terorisme adalah fenomena kompleks yang lahir dari beragam faktor yang juga kompleks.

“Karena sejatinya, terorisme adalah fenomena kompleks yang lahir dari beragam faktor yang juga kompleks,” ujar dia.

Pertama, sebut Harits, ada faktor domestik, yakni kesenjangan ekonomi atau kemiskinan, ketidakadilan, marginalisasi, kondisi sosial, politik dan pemerintahan, sikap rezim yang cenderung represif dalam berkuasa, dan faktor lain yang melekat dalam karakter sebuah kelompok masyarakat dan budaya.

Kedua, ada pula faktor internasional, yakni ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan oleh negara-negara barat, serta imperialisme fisik dan nonfisik dari negara adidaya ke negara berbasis Islam.

Ketiga, adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif,” ujar Harits.

Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor situasional yang sering kali tidak dapat dikontrol dan diprediksi. Akhirnya, menjadi titik simultan lahirnya kekerasan atau terorisme.

UU Terorisme yang baru, lanjut Harits, memang sudah mengadopsi definisi terorisme dengan perspektif baru dibandingkan sebelumnya.

Namun, keseluruhan substansi UU tersebut dinilai belum mampu mengakomodasi solusi-solusi untuk mereduksi akar terorisme secara fundamental.

Meski demikian, menurut Harits, paling tidak payung hukum baru ini menjadi tantangan pemerintah untuk mengimplementasikan seluruh proyek kontra-terorisme secara on the track dan konsisten.

“Intinya sebenarnya adalah memastikan semua substansi UU Terorisme dijalankan secara adil bermartabat,  menjunjung tinggi moral dan HAM, serta dipastikan agar berjalan secara transparan dan akuntabel,” ujar Harits.

Butuh komitmen

Harits menegaskan, publik membutuhkan sikap konsisten dan adil sesuai undang-undang yang ada dalam hal pemberantasan terorisme.

Menurut Harits, teroris pada tingkatan implementasi tidak boleh dikonotasikan peyoratif. Artinya, tidak boleh ada stereotipe pada kelompok agama tertentu.

Teroris pada tingkatan implementasi tidak boleh dikonotasikan peyoratif. Artinya, tidak boleh ada stereotipe pada kelompok agama tertentu.

Semestinya, siapa pun yang memenuhi unsur yang tertuang dalam definisi terorisme pada undang-undang maka mereka harus dikenakan hukum yang sesuai dengan UU Terorisme pula.

“Penanggulangan terorisme juga jangan dikelola dengan mindset proyek. Di luar dana hibah, semua program penanggulangan terorisme itu menggunakan uang rakyat. Maka, (penggunaan dana itu) membutuhkan akuntabilitas,” ujar Harits.

Capres-cawapres juga diharapkan mampu menyampaikan narasi yang komprehensif sebagai paradigma dan filosofis dalam menghadapi fenomena terorisme.

Baca juga: Drama Dua Malam di Mako Brimob Kelapa Dua

Harits berpendapat, narasi yang selama ini disampaikan elite justru melahirkan kontraksi perdebatan di ruang publik. Bukannya narasi tersebut mampu mereduksi radikalisme beserta faktor-faktor yang selama ini dituduh sebagai akar terorisme, alih-alih melahirkan penolakan dan pro kontra.

“Sebab, narasi tersebut ternyata menimbulkan tendensi dan stereotipe pada kelompok agama tertentu sebagai sumber terorisme,” ujar dia.

Dalam debat capres cawapres yang berlangsung 17 Januari 2019, menurut Harits, publik harus mencermati beberapa hal dalam setiap pernyataan para kontestan mengenai penanggulangan terorisme.

Pertama, publik harus mencermati pemahaman kontestan Pilpres 2019 terkait fenomena terorisme, mulai dari akar, pencegahan, penindakan, bahkan kalau perlu sampai restitusi bagi korban.

“Termasuk kemampuan manajerial mereka dalam rangka mengorganisasi secara terpadu dan terukur atas semua instrumen yang dimiliki negara, yakni Polri, BNPT, institusi-institusi intelijen, dan kementerian terkait,” ujar Harits.

Minimnya pemahaman seorang kontestan Pilpres mengenai terorisme, lanjut Harits, akan melahirkan blunder format kelembagaan, tata kelola anggaran, dan akuntabilitas. Apabila demikian, tentu cita-cita memberantas terorisme akan semakin jauh panggang dari api.