JEO - News

Corrupter Fight Back
dari Teror Mistik hingga Sistemik

Rabu, 11 April 2018 | 16:35 WIB

Perlawanan balik terhadap KPK adalah bukti bahwa koruptor takut terhadap lembaga ini. Apa saja bentuk upaya perlawanan balik yang pernah dialami KPK selama ini?

DIBENTUK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi. Sejak didirikan 16 tahun lalu, sudah banyak kasus korupsi yang ditangani oleh KPK.

Namun, sepak terjang KPK dalam  menangani kasus korupsi bukan tanpa rintangan. Salah satu rintangan datang dari koruptor atau pihak-pihak yang terusik karena kerja pemberantasan korupsi. Mereka yang terusik ini kemudian melakukan berbagai cara agar KPK kehilangan taringnya.

“Bahwa apa yang dilakukan KPK itu pasti akan mengganggu kenyamanan para pelaku kasus korupsi dan pihak-pihak yang menikmati hasil korupsi itu, bahwa kemudian ada perlawanan kembali atau yang disebut dengan corrupter fight back, kita memang sering sebenarnya mendengar itu,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dalam suatu kesempatan.

Bentuk corrupter fight back ada yang berupa serangan secara langsung atau tidak langsung terhadap kelembagaaan, pun menyasar personal KPK.

Bentuk perlawanan balik yang sudah ada sebelumnya (terjadi) terutama kalau KPK sedang menangani kasus-kasus besar.

~Febri Diansyah~

Serangan langsung bisa meliputi teror, kekerasan fisik, bahkan sampai hal yang paling terasa mustahil seperti serangan mistik. Adapun serangan tidak langsung antara lain berupa upaya pelemahan KPK melalui perubahan regulasi.

“Bentuk perlawanan balik yang sudah ada sebelumnya (terjadi) terutama kalau KPK sedang menangani kasus-kasus besar," ujar Febri.

Perlawanan balik koruptor bak sesuatu yang tak bisa dihindari oleh KPK, apalagi jika dikaitkan dengan latar belakang mereka yang berurusan dengan lembaga anti-rasuah tersebut.

Koruptor yang jadi lawan KPK acap kali bukan cuma sekadar “orang biasa”, melainkan kebanyakan mereka yang punya pengaruh karena kedudukan atau jabatan tinggi. Alasan perlawanan mulai dari ketakutan kasus terbongkar sampai dendam dari mereka yang menjadi "pasien" KPK.

Teror terhadap KPK sudah terlihat mencuat sejak lembaga tersebut dipimpin Antasari Azhar. Antasari mengaku telah terbiasa menghadapi ancaman. Ketika menjabat Ketua KPK, tutur dia, setiap hari Antasari ada saja pesan singkat bernada ancaman datang.

"Itu sarapan pagi saya," kata Antasari.










 "(Ancaman) itu sarapan pagi saya."

~Antasari Azhar~

KOMPAS.com/IHSANUDDIN

Penyidik KPK Novel Baswedan mungkin sedikit "lebih beruntung" ketimbang penyidik lain di KPK soal sorotan atas teror yang dia hadapi.

Nama Novel mulai disorot ketika memimpin penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas Polri) pada 2004.

Sejak saat itu, serangan terhadap Novel ramai dibicarakan, belakangan dikenal sebagai konflik "Cicak vs Buaya".

Begitu pun ketika matanya disiram air keras. Aksi tersebut langsung menjadi isu nasional.

Koruptor terbukti begitu takut dengan mereka yang bekerja di bidang pemberantasan korupsi. Tak hanya menyerang lembaga atau personal KPK, mereka juga menyerang pihak di luar KPK yang gencar membongkar kasus rasuah.

Salah satu contoh ialah kasus penyerangan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun. Tama diserang empat orang tak dikenal pada 8 Juli 2010 dan mendapat luka sabetan senjata tajam.

Serangan itu dilakukan pada dini hari saat Tama bersama seorang temannya hendak menuju kantor ICW, dalam perjalanan pulang seusai nonton bareng pertandingan sepak bola di Kemang, Jakarta Selatan.

Hasil investigasi yang dilakukan oleh ICW, Kontras, dan LBH Jakarta menunjukkan bahwa telah terjadi intimidasi oleh pelaku penganiayaan sebelum peristiwa tersebut terjadi.

Investigasi lainnya menunjukkan bahwa Tama memang diduga menjadi incaran penganiayaan. Tama merupakan investigator ICW yang menyelidiki kasus dugaan rekening mencurigakan milik perwira Polri.

Dalam suratnya kepada Tama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat itu menyatakan bahwa ia telah memerintahkan Kepala Polri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri untuk secepatnya mengusut kasus tersebut dan mengungkapnya.

Namun, hampir delapan tahun berlalu, sampai hari ini kasus penyerangan Tama bak hilang ditelan bumi.

Serangan Mistis

Serangan klenik yang diharapkan bisa membuat KPK gemetar

 

SERANGAN terhadap KPK bukan hanya lewat teror fisik. Teror berbau klenik juga berkali-kali dialami. Hal itu diakui Busyro Muqoddas yang mengaku sering mendapat teror klenik selama memimpin KPK.

Logo nama gedung KPK. Gambar diambil pada Kamis (22/2/2018).
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Logo nama gedung KPK. Gambar diambil pada Kamis (22/2/2018).

Benda mistis di Gedung KPK

Pada April 2010, misalnya, sebuah bungkusan kantong plastik hitam berisikan kulit kayu bertorehkan tulisan tak dikenal dengan tinta merah ditemukan petugas keamanan KPK.

Menurut Juru Bicara KPK ketika itu, Johan Budi, benda mistis tersebut ditemukan penjaga KPK saat pemeriksaan rutin gedung KPK pada pagi hari.

Ternyata, benda mistis yang ditemukan tidak hanya satu buah. Penjaga KPK juga menemukan satu bungkusan plastik yang berbentuk seperti bungkus balsem dalam plastik putih.

"Awalnya penjaga melihat ada gundukan tanah yang tidak wajar di halaman KPK, ketika digali kami menemukan benda tersebut," terang Johan.

Ternyata, benda-benda aneh seperti itu bukan yang pertama kalinya ditemukan oleh jajaran KPK. Menurut Johan, pernah juga ditemukan serpihan garam bertebaran di satu lokasi tertentu di halaman gedung KPK.

Politisi cantik coba santet pimpinan KPK

Pengalaman ini diceritakan salah satu komisioner KPK periode kedua, 2007-2011. Dari sebuah rekaman penyadapan telepon terungkap, seorang politikus cantik terekam tengah menghubungi dukun yang berada tidak jauh dari Jakarta.

"Santet pimpinan KPK!"

Perintah perempuan politikus ini kepada sang dukun cukup jelas. "Santet pimpinan KPK!"

Syukur kepada Tuhan, tidak ada satu pun hal aneh yang menimpa pimpinan KPK jilid kedua tersebut.

Politikus cantik yang meminta bantuan dukun santet tersebut justru kemudian mendekam di penjara. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa dia terbukti korupsi.

Wanita tepergok letakkan "sesajen"

Pada September 2014, seorang wanita tepergok meletakkan sesuatu mirip sesajen di pintu belakang Gedung KPK. Perempuan itu meletakkan benda aneh tersebut setelah turun dari mobil Toyota Fortuner putih bernomor polisi B 321 SGI.

"Sekitar pukul 15.30 WIB, saat hujan, ada seorang perempuan mengendarai Fortuner putih B 321 SGI, persis di depan pintu keluar belakang kantor KPK. Perempuan itu turun dan meletakkan sebuah pot persis di depan pintu ke luar," ungkap Johan Budi ketika itu.

Aksi perempuan ini sempat dipergoki petugas keamanan KPK. Perempuan itu, kata Johan, bergegas pergi ketika dihampiri petugas KPK.

Petugas keamanan KPK tersebut kemudian mendapati sebuah pot yang sekilas terlihat mirip sesajen. Setelah dilihat lebih teliti, ujar Johan, pot itu berisi anak panah kecil, kartu memori micro SD, secarik kertas, dan semacam batu kecil berwarna-warni dengan bau harum yang menyengat.

Serangan kepada keluarga

Sudah lewat tengah malam ketika seorang jaksa perempuan di KPK bertanya kepada tim krisis di kantornya, siapa yang akan mengantarnya pulang ke rumah. Sementara itu, sebagian pegawai KPK lainnya pada dini hari itu memilih menginap di kantor karena merasa keselamatannya terancam jika pulang ke rumah.

Pertanyaan jaksa perempuan itu bukan tanpa sebab. Sehari sebelumnya ada kejadian yang menjurus pada ancaman fisik terhadap suami seorang pegawai KPK oleh orang tak dikenal.

Awalnya, suami ini hendak menjemput istrinya yang adalah salah satu pejabat struktural bidang hukum di KPK. Sebelum menjemput istrinya, dia menelepon dari samping gedung KPK.

Saat menelepon itulah datang orang tak dikenal menggunakan sepeda motor menghampirinya. Tiba-tiba pengendara sepeda motor ini dengan nada tinggi bertanya mengapa dia memotret menggunakan kamera telepon genggam.

Merasa aneh dengan pertanyaan orang tak dikenal itu, si suami pegawai KPK balas menanyakan maksud pertanyaan tersebut. Namun, si pengendara motor malah langsung hendak merampas telepon genggamnya.

Beruntung, suami pegawai KPK ini bisa menghindar dan segera masuk ke gedung KPK. Saat menghindar dia mengaku sempat melihat ada pistol yang terselip di pinggang si pengendara sepeda motor.

Teror dan ancaman terhadap pegawai KPK juga langsung datang ke rumah. Rumah sejumlah pegawai KPK didatangi orang tak dikenal. Orang-orang ini bahkan menemui anak-anak dan istri para pegawai KPK lalu berpesan sang suami diminta berhenti menjadi pegawai KPK.

Bahkan, yang lebih terang-terangan, salah satu pejabat struktural KPK di bidang penyidikan tiba-tiba didatangi seseorang dari instansi asalnya sebelum bertugas di KPK yang memiliki pangkat lebih tinggi.

Oknum tersebut memaksa si pejabat KPK agar dalam batas waktu tertentu harus segera mengundurkan diri dari lembaga anti-korupsi. Permintaan disertai ancaman bahwa data keluarganya sudah diketahui oleh pihak yang meminta pejabat tersebut mundur.

Novel Baswedan

Sang ikon hadapi "corrupter fight back"

KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG

SELASA, 11 April 2017, menjadi hari yang tak bakal dilupakan penyidik KPK Novel Baswedan. Selesai menunaikan shalat subuh berjamaah di Masjid Al Ikhsan, dekat kediamannya di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Novel diserang orang tak dikenal.

Wajah Novel disiram cairan diduga air keras, dengan luka parah terutama pada kedua matanya. Pagi itu, Novel dilarikan ke Rumah Sakit Mitra Kelapa Gading kemudian dirujuk ke Jakarta Eye Center.

Kini, genap sudah satu tahun penyerangan Novel namun pelakunya belum juga terungkap.

Keesokan harinya, 12 April 2017, dokter menyarankan Novel dirujuk ke rumah sakit di Singapura. Pada 17 Agustus 2017, bertepatan dengan perayaan kemerdekaan ke-72 Indonesia, Novel menjalani operasi pertama di Singapura.

Dia sempat diperbolehkan pulang ke Indonesia pada 22 Februari 2018. Dia lalu kembali ke Singapura pada 19 Maret 2018 untuk bersiap menjalani operasi mata tahap kedua yang berlangsung pada 23 Maret 2018.

Hari ini, Rabu (11/4/2018), genap satu tahun penyerangan terhadap Novel. Namun,  pelaku penyerangan belum juga terungkap. Kurang lebih tiga kali polisi pernah menahan sejumlah orang, tetapi pemeriksaan kemudian mendapati ternyata mereka tidak terbukti terkait dengan penyerangan Novel.

Suatu ketika dalam wawacara dengan majalah TIME, Novel buka-bukaan soal pelaku kasus penyerangannya. Novel menduga ada "orang kuat" yang menjadi dalang serangan itu. Bahkan, dia mendapat informasi bahwa seorang jenderal polisi ikut terlibat.

Novel Baswedan

Novel mengatakan, serangan itu diduga terkait sejumlah kasus korupsi yang ditanganinya. Terlebih lagi, Novel memang sering ditugaskan menangani kasus korupsi berskala besar, seperti korupsi proyek e-KTP dan pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas Polri).

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Martinus Sitompul, saat itu menanggapi pernyataan itu dengan mengatakan, seharusnya Novel Baswedan sebagai korban penyerangan menyampaikan setiap informasi penting yang diketahuinya kepada penyidik Polda Metro Jaya yang menangani kasusnya.

Polri juga berusaha menunjukkan ke publik bahwa mereka bersungguh-sungguh dalam mengusut kasus Novel. Kapolda Metro Jaya Irjen Idham Azis mengatakan, Polda Metro Jaya telah membentuk satuan tugas khusus untuk menangani kasus Novel. Satgas, sebut dia, melibatkan 166 penyidik dari Polda Metro Jaya.

Menurut Idham, selama 11 bulan proses pengusutan, penyidik telah memeriksa 68 saksi dan 38 rekaman CCTV. Bahkan, rekaman CCTV itu dianalisis bersama Kepolisian Federal Australia (AFP). Selain itu, penyidik juga memeriksa 91 toko yang khusus menjual bahan-bahan kimia.

Pada akhir 2017, Kapolda Metro Jaya bersama pimpinan KPK juga sudah merilis dua sketsa wajah terduga pelaku penyerangan Novel. Sketsa tersebut hasil kerja tim AFP dan Pusat Inafis Mabes Polri.

Selain berdasarkan CCTV, sketsa itu dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan 66 orang saksi. Menurut polisi, sketsa wajah tersebut 90 persen mirip dengan wajah terduga pelaku penyerangan Novel. Namun, identitas kedua orang itu belum juga diketahui.

Menurut polisi, sketsa wajah tersebut 90 persen mirip dengan wajah terduga pelaku penyerangan Novel. Namun, identitas kedua orang itu belum juga diketahui.

Satu tahun sudah berlalu, polisi juga belum dapat menemukan titik terang dari kasus ini. Baik tersangka, motif, maupun dalang aksi penyerangan terhadap Novel masih gelap.

Desakan tim pemantau

Dorongan untuk menyelesaikan kasus Novel begitu kuat. Sejumlah elemen masyarakat menyerukan pemerintah untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel.

Tak terkecuali KPK sampai menyatakan, kewenangan membentuk TGPF ada di tangan Presiden. Namun, pemerintah bergeming, tak ada TGPF dibentuk sampai sekarang. 

Pada 20 Februari 2018 Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan masih percaya Polri bisa mengusut tuntas kasus penyerangan Novel. Jika Polri menyerah, kata Presiden, dia baru akan menempuh tahap lain. Namun, Jokowi tidak memberikan pernyataan tegas akan membentuk TGPF untuk kasus Novel atau tidak.

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto pada 23 Februari 2018 meminta agar pemerintah tidak didesak soal pembentukan TGPF kasus Novel. Wiranto beralasan pemerintah pasti akan melakukan yang terbaik untuk masyarkat.

Pernyataan menteri kabinet Jokowi ini sontak menuai kritik. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Bonyamin Saiman, misalnya, menilai pernyataan Wiranto menunjukkan pemerintah tidak mendukung pembentukan TGPF.

Lambannya pengusutan kasus Novel akhirnya direspons Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan membentuk tim pemantauan atas penanganan kasus Novel. Ketua Tim Pemantauan Kasus Novel, Sandrayati Moniaga, mengatakan, tim itu dibentuk berdasarkan keputusan sidang Paripurna Komnas HAM Nomor 02/SP/II/2018, dari persidangan pada 6-7 Februari 2018.

Menurut Sandrayati, tim ini akan bertugas hingga tiga bulan ke depan, terhitung sejak sidang paripurna Komnas HAM tersebut. Rencananya, hasil pemantauan tim akan disampaikan pada sidang paripurna Komnas HAM dan kepada stake holders terkait.

  1. TEROR SISTEMIK

  2. Diduga dilakukan bersama-sama oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif

 

  1. PERLAWANAN terhadap kerja pemberantasan korupsi muncul juga mucul lewat sejumlah regulasi. Salah satu yang sempat ramai dan jadi sorotan publik adalah pembentukan Panita Khusus Hak Angket (Pansus Hak Angket) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bergulir di DPR.
  2. Usulan menggulirkan hak angket itu dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah Anggota Komisi III DPR kepada KPK. Alasannya, dalam persidangan kasus e-KTP disebutkan bahwa mantan anggota Komisi II DPR, Miryam S Haryani, mendapat tekanan dari sejumlah anggota komisi tersebut.
  1. Maruarar Siahaan menganalogikan Panitia Khusus Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai "buah dari pohon yang beracun".

Sejumlah pihak kemudian mengajukan uji materi terkait hak angket DPR terhadap KPK. Mereka berasal dari koalisi masyarakat sipil yang di dalamnya terdapat organisasi dan pegiat antikorupsi. Uji materi terhadap pansus juga diajukan oleh sejumlah pegawai KPK.

Beberapa hal yang dapat disimak dari uji materi ini, misalnya, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto saat memberikan keterangan dalam salah satu sidang uji materi ini mengatakan bahwa pansus angket ini terkait dengan kasus korupsi e-KTP.

Bambang mengatakan, anggota Pansus Angket KPK merupakan orang-orang yang juga disebut terlibat dalam dakwaan kasus e-KTP. Mereka dia sebut pula diduga terkait kasus lain yang tengah ditangani KPK.

Untuk diketahui, ada puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 disebut menerima fee dari alokasi dana proyek e-KTP.

"Pimpinan anggota Pansus Hak Angket KPK namanya juga disebut terlibat dalam dugaan kasus korupsi KTP elektronik. Dan juga sebagian anggota pansus adalah pihak yang diduga mengancam Miryam S Haryani untuk mencabut keterangannya," kata Bambang.

Ahli lainnya, yang diajukan oleh Presiden dalam sidang sidang uji materi terkait hak angket, Maruarar Siahaan, menganalogikan Panitia Khusus Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai "buah dari pohon yang beracun".

Menurut Maruarar, persoalan terkait hak angket KPK yang muncul saat ini disebabkan oleh proses pembentukan Pansus Hak Angket KPK yang tidak merujuk pada syarat-syarat dalam tata tertib.

Di tengah perajalanan, sejumlah pemohon uji materi mencabut gugatannya meski proses persidangan di MK telah memasuki tahap penyerahan kesimpulan. Para pemohon yang mencabut gugatan adalah mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas sebagai pemohon individu, Asfinawati dari YLBHI, Ilhamsyah dan Damar Panca Mulya dari KPBI, serta Adnan Topan Husodo yang mewakili ICW.

Ada beberapa pertimbangan mendasari pencabutan gugatan tersebut. Pertama, kata Busyro, pengakuan Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat soal pertemuannya dengan Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo. Menurut keterangan Arief, pertemuan tersebut dilakukan untuk membahas rencana uji kelayakan dan kepatutan calon hakim MK di DPR.

Kedua, adanya pemberitaan di beberapa media massa yang menyebut dugaan lobi-lobi antara Arief dan sejumlah fraksi agar Arief kembali terpilih sebagai hakim konstitusi dengan janji akan menolak permohonan uji materi hak angket KPK.

Ketiga, ada dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi yang dilakukan oleh Arief Hidayat karena telah bertemu dengan pihak DPR.

Belakangan, Arief selaku Ketua MK dalam putusannya menyatakan bahwa pansus hak angket KPK sah. Dalam uji materi ini, pegawai KPK menilai pembentukan hak angket itu tak sesuai dengan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

(Selengkapnya soal hak angket KPK, baca JEODPR vs KPK: Catatan dan Preseden Pansus Angket KPK)

Menunggu Pemenuhan Janji

Jangan jadikan korupsi sebagai isu pinggiran

 

BUSYRO Muqoddas duduk sebagai pimpinan KPK di dua era presiden berbeda, yakni pada periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan era Presiden Jokowi. Ia dianggap mampu membandingkan upaya pemberantasan korupsi dalam dua kepemimpinan berbeda itu.

Tak hanya pada zaman Jokowi, kata Busryo, KPK berkali-kali berusaha digembosi pula pada era pemerintahan Presiden SBY. Novel, misalnya, pernah menjadi sasaran kriminalisasi Polri saat memimpin penyidikan kasus korupsi pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas Polri, pada 2012 lalu.

"Kesimpulannya, presiden Jokowi janji-janjinya enggak sepenuhnya dipenuhi. Kalau toh dipenuhi, hanya yang pinggiran-pinggiran saja," kata Busyro.

Pada 5 Oktober 2012, Novel didatangi polisi dari Bengkulu untuk dibawa. Upaya ini terkait dengan kasus dugaan penganiayaan pencuri sarang burung walet pada 18 Februari 2004 yang kembali diungkit oleh Polri.

Merasa ada hal yang janggal, pimpinan KPK menghubungi Menteri Sekretaris Negara kala itu, Sudi Silalahi, dan menyampaikan soal penjemputan paksa Novel. Saat itu, Sudi sedang dalam perjalanan untuk menghadiri rapat di istana Cipanas.

"Akhirnya pak Sudi Silalahi diperintahkan Pak SBY, 'sudah temui dulu pimpinan KPK. Soal ke sininya nanti gampanglah'. Itu kan perhatian yang bagus," kata Busyro.

Beberapa hari setelahnya, SBY menyampaikan sikap resmi soal penangkapan Novel. SBY menganggap proses hukum atas Novel tidak tepat dari segi waktu dan cara. Oleh karena itu, ia meminta Polri menunda proses hukum Novel.

Selain itu, sikap berbeda juga ditunjukkan dalam pembahasan RUU KPK. SBY langsung meminta pembahasannya ditunda karena sejumlah pasal dianggap melemahkan KPK.

"Artinya, sikap resmi kepala pemerintahan itu tampak jelas memberi dukungan kepada KPK dan konsisten pada pemberantasan korupsi," kata Busyro.

Dari contoh tersebut, lanjut Busyro, terlihat perbedaan sikap yang cukup jelas antara pemerintahan SBY dan Jokowi soal komitmen memberantas korupsi dan menguatkan KPK.

Semestinya, ujar Busyro, Jokowi secara tegas menolak RUU KUHP, khususnya yang berkenaan dengan korupsi. Namun, yang terjadi justru Jokowi mendesak agar pembahasannya dipercepat agar segera dapat disahkan pada tahun ini.

"Kesimpulannya, presiden Jokowi janji-janjinya enggak sepenuhnya dipenuhi. Kalau toh dipenuhi, hanya yang pinggiran-pinggiran saja," kata Busyro.

Pressure di sekeliling Presiden

Komitmen dalam membasmi korupsi di era Jokowi dipertanyakan lantaran KPK seolah dilemahkan perlahan-lahan lewat serangan bertubi-tubi. Pertama, muncul dorongan revisi Undang-undang KPK yang diyakini dapat melemahkan fungsi KPK.




"Sikap presiden sulit
untuk bisa diharapkan lagi
bersama masyarakat
memberantas korupsi..."


~Busyro Muqoddas~




TRIBUNNEWS/HERUDIN

Pembahasan ini juga melibatkan unsur pemerintah, yakni Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Saat itu, muncul gerakan perlawanan dari lembaga swadaya masyarakat dan aktivis antikorupsi untuk menghentikan pembahasan itu. Akhirnya, Jokowi meminta agar pembahasan ditunda.

Upaya penggerusan lainnya terlihat dari pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Beberapa pasal yang mengatur soal korupsi dinilai akan melucuti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sifatnya kejahatan luar biasa.

(Simak juga JEO: Polemik RKUHP, dari Menjerat Ranah Privat sampai Mengancam Demokrasi)

"Pertanyaannya, apakah tidak ada implikasi yang rumit nanti di kemudian hari? Jelas ada. Kami berpendapat, (KPK) akan menjadi lembaga pencegahan korupsi, bukan pemberantasan korupsi," ujar Busyro.

Dampaknya tak hanya dirasakan KPK tapi juga lembaga penegak hukum lain yang juga menangani kasus korupsi seperti Polri dan Kejaksaan. Degradasi regulasi soal penanganan kasus korupsi tentunya akan membuat para koruptor bersorak.

Busyro mengatakan, beragam upaya pelemahan ini akan menjadi keuntungan besar bagi tiga pilar musuh bersama pemberantasan korupsi, yakni politisi dan pebisinis yang kumuh serta birokrasi yang tuna-moral.

Jika presiden konsisten dengan sikapnya untuk menguatkan KPK dan pemberantasan korupsi, kata Busyro, semestinya ada langkah tegas yang diambil untuk membatalkan pembahasan RKUHP.

"Kalau Presiden tempo hari meminta (RKUHP) cepat disahkan, itu artinya mungkin Presiden enggak paham dan menteri-menteri terkaitnya enggak berusaha memberikan pemahaman," kata Busyro.

(Simak juga JEO: Kronik KUHP: Seabad di Bawah Payung Hukum Kolonial)

Busyro menduga, ada tekanan terhadap Jokowi yang berasal dari sistem politik di sekelilingnya. Hal ini, sebut dia, terlihat dari bagaimana sikap Jokowi terkait Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Bukannya menggunakan haknya agar UU MD3 tak bisa dirumuskan, papar Busyro, Presiden malah angkat tangan dan menyerahkan urusannya kepada publik. Ia mempersilakan masyarakat yang keberatan untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

"Memangnya judicial review sekarang jaminan dengan Ketua MK yang melanggar kode etik itu?" kata Busyro.

"Jadi di sini sesungguhnya sikap Presiden menggambarkan sulit membaca untuk bisa diharapkan lagi bersama masyarakat memberantas korupsi," lanjut dia.

Lebih tertarik isu populis

Tak hanya Busyro yang menganggap pemerintahan Jokowi tak menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu fokus utama.

Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti juga menilai pemerintah tidak memberi atensi khusus pada isu tersebut. Pemerintah nampak lebih mengedepankan pembangunan infrastruktur yang bisa terlihat dengan mata.

Bivitri mengatakan, banyak pernyataan Jokowi maupun menteri-menterinya yang terkesan memandang korupsi sebagai hal kecil. Menurut dia, mereka lebih khawatir proses penanganan perkara jika terlalu dibesar-besarkan malah mengganggu stabilitas politik.

Ia mengambil contoh pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang meminta KPK menunda penetapan tersangka dari calon kepala daerah.

"Ada juga yang bilang KPK kok masuk wilayah politik. Upaya pemberantasan korupsi dipandang sebagai sesuatu di negeri ini yang membuat gaduh," kata Bivitri.

"Korupsi tidak dianggap sebagai ancaman buat bangsa ini. (Padahal), pembangunan pun kalau tidak dibarengi dengan penegakan hukum yang konsisten dirasa percuma."

Padahal, kata dia, korupsi di negeri ini sudah begitu masif, yang jika tidak diberantas maka akan semakin tumbuh subur. Namun, hal tersebut seolah tak dilihat oleh pemerintah.

Terlebih lagi, tutur Bivitri, sekarang Indonesia memasuki tahun politik, setahun menjelang Pemilihan Umum 2019. Jokowi terlihat lebih fokus pada hal-hal yang bisa terlihat jelas seperti pembangunan.

"Korupsi tidak dianggap sebagai ancaman buat bangsa ini. (Padahal), pembangunan pun kalau tidak dibarengi dengan penegakan hukum yang konsisten dirasa percuma," kata Bivitri.

Karenanya, Bivitri menilai pemerintahan Jokowi lebih tertarik pada isu populis. Begitu suatu kasus atau kebijakan menarik perhatian publik maka akan segera ditanggapi. Namun, begitu isunya sudah meredup maka penanganannya pun tenggelam.

Contoh lainnya, sebut Bivitri, adalah soal pengesahan UU MD3. Masyarakat, tutur dia, bereaksi karena ada sejumlah pasal yang dianggap membungkam demokrasi.

Dari reaksi itu, barulah Jokowi menyikapinya dengan memutuskan tidak menandatangani lembar pengesahan kendati regulasi tersebut tetap saja berlaku.

"Begitu orang heboh, beliau baru bilang 'saya juga enggak setuju'. (Itu) menunjukkan sekali bahwa popularitas isu demi popularitas politik tuh hal yang di tengah-tengah daripada isu korupsi yang di pinggiran," kata Bivitri.

Nah, akankah belum juga terungkapnya kasus penyerangan terhadap Novel akan menjadi pertanda bahwa serangan dan upaya pelemahan bertubi-tubi yang dihadapi KPK bakal terus berlanjut? Atau akan segera ada penjelasan dan atau fakta lain?