JEO - Peristiwa

20 Tahun Reformasi,
Catatan Perubahan Indonesia
di Bidang Politik

Selasa, 5 Juni 2018 | 20:48 WIB

Di era Orde Baru, Soeharto dipilih berkali-kali sebagai presiden. Reformasi mengubahnya. Apa lagi perubahan lainnya terutama di ranah politik dan kebijakan?

SUDAH dua dasawarsa era reformasi berjalan. Sejak Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru dijatuhkan pada 1998, banyak perubahan terjadi di Indonesia, terutama dalam ranah politik.

Salah satu perubahan besar yang terjadi pasca-reformasi adalah pembatasan kekuasaan presiden.

Salah satu perubahan besar yang terjadi pasca-reformasi adalah pembatasan kekuasaan presiden. Pada era Orde Baru, Soeharto dapat dipilih berkali-kali sebagai presiden tanpa ada periode pembatasan.

Selain itu, wewenang presiden pada era reformasi tak sekuat seperti di era Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Misalnya, presiden bukan lagi satu-satunya pihak yang punya kekuasaan untuk membentuk undang-undang.

Sesuai Pasal 5 UUD 1945, pasca-amandemen, presiden tak lagi memiliki kekuasaan tunggal dalam pembentukan UU, tetapi hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.

Presiden Soeharto. Gambar diambil pada 15 Januari 1998.
KOMPAS/JB SURATNO
Presiden Soeharto. Gambar diambil pada 15 Januari 1998.

Sistem demokrasi pun mulai diterapkan dengan baik di era reformasi. Hal yang paling menonjol adalah sistem pemilihan umum yang memungkinkan presiden dipilih langsung, tidak lagi dipilih melalui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui Sidang Umum MPR.

Kemudian, terdapat sejumlah perubahan lembaga negara. Dihilangkannya Dewan Pertimbangan Agung sebagai penasihat presiden, menjadi salah satu contohnya.

Sebaliknya, di era reformasi, muncul sejumlah lembaga negara baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Yudisial.

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat. Gambari diambil pada Selasa (10/10/2017).
KOMPAS.com/FACHRI FACHRUDIN
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat. Gambari diambil pada Selasa (10/10/2017).

Dari sisi kedaulatan, tuntutan masyarakat Timor Timur untuk merdeka menjadikan Indonesia kehilangan provinsi termuda itu. Timor Timur pun berubah menjadi negara merdeka bernama Timor Leste.

Meski demikian, era reformasi juga menyebabkan daerah memiliki wewenang yang lebih besar berkat dilaksanakannya otonomi daerah.

Berikut ini merupakan sejumlah perubahan yang terjadi di Indonesia selama 20 tahun terakhir di bidang politik, berdasarkan dokumentasi harian Kompas dan sumber pendukung lainnya.

 

Habibie dan Masa Transisi

MASA transisi di era reformasi ditandai dengan perpindahan tongkat kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada wakilnya, Bacharuddin Jusuf Habibie pada 21 Mei 1998.

Namun, naiknya Habibie ke tampuk kekuasaan tak lepas dari kritik lantaran dia dianggap sebagai bagian dari rezim Orde Baru. Demonstrasi mahasiswa pun tak selesai, yang kali ini menuntut Habibie turun dari kursi presiden.

Salah satu alasan mahasiswa menuntut Habibie mundur adalah karena dia dianggap tidak dapat menjalankan amanah reformasi, terutama pengadilan untuk Soeharto. 

Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie
KOMPAS.com/RONNY BUOL
Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie

Meski demikian, Habibie dapat dianggap ikut meletakkan fondasi awal dalam sistem demokrasi pada era reformasi. Salah satu kebijakannya adalah membebaskan tahanan politik yang ditahan di era Soeharto, seperti Sri Bintang Pamungkas dan Mochtar Pakpahan.

Habibie juga dinilai berjasa dalam menghadirkan kebebasan pers di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang juga mengatur mekanisme pengaduan terkait pemberitaan media melalui Dewan Pers.

Di bidang ekonomi, Habibie ikut memprakarsai Bank Indonesia yang independen dan lepas dari pengaruh pemerintah. Independensi menjadikan BI bergerak lebih bebas untuk mengatur sektor moneter.

Dengan tiga undang-undang itu, Habibie berperan mempersiapkan Pemilu 1999, sebagai pemilu demokratis pertama pasca-Orde Baru.

Terkait politik elektoral, Habibie menghasilkan tiga undang-undang demokratis, yaitu UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR.

Dengan tiga undang-undang itu, Habibie berperan mempersiapkan Pemilu 1999, sebagai pemilu demokratis pertama pasca-Orde Baru. Sistem yang digunakan pun benar-benar baru.

Pemilu 1999 ditandai dengan berbondong-bondongnya partai politik ikut berkontestasi, yaitu 48 partai politik. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara diisi oleh perwakilan pemerintah dan partai. Pencoblosan berlangsung lancar pada 7 Juni 1999.

Beberapa bulan setelah Pemilu 1999, Habibie membacakan pidato pertanggungjawaban pada Sidang Istimewa MPR 1999, yaitu pada 13 November 1999.

Sebenarnya, Golkar saat itu hendak mencalonkan kembali Habibie sebagai presiden. Namun, pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR. Habibie pun batal dicalonkan.

Berikutnya, pemilihan presiden yang dilakukan oleh anggota MPR hasil Pemilu 1999 menempatkan Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid yang berpasangan dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sebagai wakil menjadi pemegang tampuk pemerintahan.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, didampingi Ketua Fraksi PDI-P DPR Tjahjo Kumolo dan Ketua I Fraksi PDI-P DPR Panda Nababan, menyambut kedatangan Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa KH Abdurrahman Wahid di kediaman Megawati di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/10/2005).
KOMPAS/PRIYOMBODO
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, didampingi Ketua Fraksi PDI-P DPR Tjahjo Kumolo dan Ketua I Fraksi PDI-P DPR Panda Nababan, menyambut kedatangan Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa KH Abdurrahman Wahid di kediaman Megawati di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/10/2005).

Berakhirlah Pemerintahan Habibie dan masa transisi. Selama 16 bulan masa pemerintahannya, Habibie telah menerbitkan 67 undang-undang dan satu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait politik dan hak asasi manusia.

Produk peraturan-perundang-undangan itu belum pula mencakup sejumlah aturan di tingkat di bawah undang-undang, seperti Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Gus Dur dan Imlek

Pada masa Orde Baru, masyarakat Tionghoa mengalami diskriminasi yang membuat mereka tidak bisa mengekspresikan budaya dan keyakinannya.

Misalnya saja, Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Atas nama asimilasi, Orde Baru melarang masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan keyakinannya di depan umum.

Dengan demikian, masyarakat Tionghoa hanya boleh melaksanakan ibadah atau merayakan hari besar seperti Imlek di lingkungan internal, yaitu keluarga.

Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, kebijakan itu dihapus. Gus Dur, sebutan penghormatan untuk Abdurrahman, merilis Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres Nomor 14 Nomor 1967.

Setelah itu, masyarakat Tionghoa pun diperbolehkan mengekspresikan keyakinan, termasuk merayakan Imlek di depan publik. Tidak hanya itu, Imlek pun dijadikan hari libur nasional.

Lepasnya Timor Timur

PADA masa pemerintahan Presiden Habibie, Provinsi Timor Timur (Timtim) memerdekakan diri dari Indonesia. Lepasnya provinsi termuda di Indonesia itu bermula saat situasi di Timtim kembali memanas dengan munculnya kelompok pro kemerdekaan dan pro otonomi khusus.

Kondisi ini sebenarnya juga dampak dari krisis politik di Jakarta, yang berujung pada jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto.

Situasi di Timtim semakin tak menentu, terutama setelah sejumlah tahanan politik asal Timtim dilepaskan saat Habibie menjadi presiden. Salah satu tahanan itu adalah Xanana Gusmao.

Ribuan warga Kota Dili antre dalam pelaksanaan penentuan pendapat di Timor Timur, 30 Agustus 1999. Antusiasme yang sangat tinggi begitu terlihat dalam pelaksanaan penentuan di Timor Timur.
KOMPAS/EDDY HASBY
Ribuan warga Kota Dili antre dalam pelaksanaan penentuan pendapat di Timor Timur, 30 Agustus 1999. Antusiasme yang sangat tinggi begitu terlihat dalam pelaksanaan penentuan di Timor Timur.

Kemudian, dalam Sidang Kabinet Bidang Politik Keamanan pada 27 Januari 1999 pemerintah membuka kemungkinan untuk menyerahkan nasib Timtim kepada warganya. Artinya, pemerintah memberi opsi kepada warga Timtim untuk merdeka atau diberikan otonomi yang diperluas.

Opsi ini merupakan respons Presiden Habibie terhadap surat Perdana Menteri Australia John Howard pada Desember 1998. Saat itu, Australia meminta Indonesia melakukan referendum atau jajak pendapat untuk menentukan nasib Timtim.

Jajak pendapat yang disponsori PBB tersebut terlaksana pada 30 Agustus 1999 dan diikuti 451.792 warga Timtim. Kriteria peserta pemilu ditentukan oleh PBB melalui United Nations Mission in East Timor (Unamet).

Hasil jajak pendapat diumumkan pada 4 September 2009. Hasilnya, sebanyak 78,5 persen penduduk ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Dengan demikian, MPR dalam Sidang Umum 1999 mencabut Ketetapan (Tap) MPR Nomor VI/1978 Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pencabutan itu sekaligus mengembalikan Timor Timur seperti pada 1975.

Amandemen UUD 1945

REFORMASI menjadi pintu masuk untuk dilakukannya amandemen terhadap sejumlah pasal dalam UUD 1945. Pasal-pasal yang dinilai kurang demokratis, seperti memberi kekuasaan terlalu besar kepada eksekutif, menjadi prioritas untuk diamandemen.

Suasana gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (22/5/2009).
KOMPAS/PRIYOMBODO
Suasana gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (22/5/2009).

Pasca-reformasi, Indonesia tercatat melakukan empat kali amandemen. Berikut ini rinciannya:

1. Amandemen pertama

Pelaksanaan:
19 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR 1999.

Perubahan:
9 (sembilan) pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21.

Inti dari amandemen pertama ialah membonsai wewenang eksekutif yang sebelumnya dinilai terlalu besar.

Hal itu terlihat pada amandemen Pasal 7, yang mengatur periode masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi menjadi dua kali.

Terlihat pula pada Pasal 5, di mana presiden tak bisa lagi sekehendak hati menyusun undang-undang karena harus menyusunnya bersama DPR.

2. Amandemen kedua

Pelaksanaan:
18 Agustus 2000.

Perubahan:
Menghasilkan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 25E, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 30, Pasal 36B, dan Pasal 36C.

Amandemen kedua sekaligus menjadi tonggak dimulainya otonomi daerah dengan pengesahan Pasal 18. Pasal tersebut kini mengakui pemerintahan daerah yang berdaulat dan dipilih melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) serta memiliki DPRD yang dipilih lewat pemilu.

Selain itu, amandemen kedua menjadi tonggak untuk memasukkan definisi hak asasi manusia dalam dasar hukum di Indonesia, yaitu perluasan Pasal 28.

Ilustrasi sidang paripurna
KOMPAS.com/NABILLA TASHANDRA
Ilustrasi sidang paripurna

3. Amandemen ketiga

Pelaksanaan:
10 November 2001.

Perubahan:
Perubahan yang terjadi dalam amandemen ketiga ini terdiri dari 3 bab dan 22 pasal.

Hasilnya adalah Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C.

Perubahan utama dalam amandemen ketiga ialah pemilu presiden yang tak lagi melalui MPR, tetapi langsung melalui rakyat. Ini terjadi dalam amandemen Pasal 1 dan Pasal 6A. Hal ini sekaligus mengubah kewenangan MPR yang tak lagi menjadi lembaga tertinggi.

Amandemen juga mengatur mengenai mekanisme pencopotan presiden atau impeachment.

Dapat dibilang bahwa amandemen ini berkaca pada pencopotan Presiden Abdurrahman Wahid pada 23 Juli 2001 dengan mekanisme yang terbilang mudah, sehingga dikhawatirkan terjadi ketidakstabilan politik.

Amandemen yang menghasilkan Pasal 24 juga mengamanahkan pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

4. Amandemen keempat.

Pelaksanaan:
10 Agustus 2002.

Perubahan:
Amandemen ini menghasilkan Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, penambahan Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37.

Perubahan utama dalam amandemen ini ialah pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai unsur di MPR dan dipilih melalui Pemilu.

Amandemen juga mengamanahkan penghapusan lembaga DPA. Selain itu, terdapat juga memunculkan amanah UUD 1945 terkait kesejahteraan rakyat seperti pendidikan, kebudayaan, dan kesehatan.

Pembentukan KPK

PEMBERANTASAN korupsi merupakan agenda besar sekaligus tugas tak mudah untuk dijalankan di era reformasi. Pada era Presiden Habibie, pemerintah dan DPR menghasilkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN.

Wacana pembentukan badan baru kemudian berkembang saat pemerintah dan DPR membahas RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pertengahan 1999.

Pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Jaksa Agung Marzuki Darusman pernah mengumumkan pembentukan tim gabungan pemberantasan korupsi (TGPK) yang dipimpin mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto.

Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
KOMPAS.com/ABBA GABRILIN
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Tim bersifat otonom dan anggotanya berasal dari sejumlah instansi negara seperti BI dan BPK; instansi pemerintah seperti BPK, Bapepam, Ditjen Pajak, Ditjen Imigrasi; serta unsur masyarakat seperti ICW.

Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun, wewenang TGPK terbatas. Misalnya, dalam kasus suap dengan tersangka Hakim Agung Marnis Kahar dan Supratpini Sutarto, hakim pada sidang praperadilan memutuskan bahwa TGPK tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap hakim agung.

Keputusan tersebut menyebabkan munculnya gagasan perlunya sebuah lembaga superbody yang memiliki kewenangan penuh serta independen dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi.

Hingga kemudian, pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang itu menjadi dasar pembentukan KPK, yang hingga kini ditakuti para koruptor.

Sejak berdiri pada 2002, KPK pernah menangkap hingga memproses hukum sejumlah pejabat elite, mulai dari menteri, ketua lembaga negara, ketua umum partai politik, hakim, hingga kepala daerah.

Otonomi Daerah

OTONOMI daerah menjadi salah satu produk reformasi yang berasal dari tuntutan mahasiswa dalam Gerakan Reformasi 1998.

Kebijakan mengenai otonomi daerah merupakan amanah amandemen kedua UUD 1945, tepatnya pada Pasal 18. Pasal itu mengatur bahwa kedaulatan pemerintahan daerah diakui.

ilustrasi peta Indonesia
THINKSTOCKS/NARUEDOM
ilustrasi peta Indonesia

Konsekuensinya, pemerintah bersama DPR segera menyusun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan ini secara lebih detail mengatur bahwa daerah dapat secara optimal mengelola sumber daya alamnya. 

Selain itu, otonomi daerah juga berdampak terhadap proses elektoral di daerah.

Sebelumnya,  kepala daerah dipilih oleh DPRD tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Namun, melalui undang-undang tersebut, pilkada langsung pun berlaku dan mulai berlangsung pada 2005.

Pilkada langsung pertama digelar di Jayapura, Papua, pada 1 April 2005. Pada bulan yang sama berlangsung pula pilkada langsung di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Berikutnya, mulai Juni 2005, berbondong-bondong kota dan kabupaten di Indonesia melaksanakan pesta demokrasi serupa.

Pada gelombang penyelenggaraan mulai bulan tersebut, ada di antaranya adalah pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kebumen.

Qanun Aceh

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang muncul sejak Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) pada era Orde Baru akhirnya berdamai dengan pemerintah Indonesia.

Seusai penandatanganan perjanjian penghentian konflik di Aceh oleh wakil Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia. Berdiri di tengah adalah mantan Presiden Fillandia Martti Ahsaari.
JENNI-JUSTIINA NIEMI/CRISIS MANAGEMENT INITIATIVE (Dok KOMPAS)
Seusai penandatanganan perjanjian penghentian konflik di Aceh oleh wakil Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia. Berdiri di tengah adalah mantan Presiden Fillandia Martti Ahsaari.

Hal itu ditandai dengan penandatanganan memorandum of understanding (MoU) Helsinki antara GAM dan Pemerintah Indonesia pada 15 Januari 2005.

Semua berawal dari tsunami Aceh di pengujung Desember 2004. Aceh porak-poranda karena air bah tsunami.

Saat itu, GAM mulai membuka opsi dialog dengan pemerintah yang dinilai telah bekerja sama dalam membantu Aceh selama menangani bencana tsunami.

Atas mandat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla membentuk tim inti yang menjadi tim perunding antara Republik Indonesia dan dobelGAM.

Tim itu terdiri dari Widodo AS, Hamid Awaluddin, Sofyan Djalil, Farid Husain, Usman Basya, dan I Gusti Agung Wesaka Puja.

Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM itu antara lain memuat permintaan GAM agar Aceh memiliki undang-undang pemerintahan sendiri serta pendirian partai lokal. Kedua permintaan itu terpenuhi, menghasilkan Qanun dan partai lokal Aceh.

Pilpres Langsung

PEMILU presiden (Pilpres) langsung menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia pasca-reformasi. Indonesia pun mencatat sejarah karena presiden dapat dipilih berdasarkan sistem satu orang mewakili satu suara, alias one man one vote.

Proses hingga berlangsungnya pilpres diawali dengan amandemen kedua UUD 1945 terhadap Pasal 6A. Dalam pasal itu diatur bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.

Hal itu pun direspons oleh pemerintah dan DPR dengan memperbarui Undang-Undang Pemilu. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Pemilu, ketentuan pilpres langsung segera diadopsi.

Hasilnya, Pemilu 2004 yang menggunakan sistem pilpres langsung dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla, melalui dua putaran pemilu.

Seorang karyawan ercetakan tengah melihat cetakan surat suara pemilu presiden dan wakil presiden 2004, Minggu (30/5/2004).
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Seorang karyawan ercetakan tengah melihat cetakan surat suara pemilu presiden dan wakil presiden 2004, Minggu (30/5/2004).

Pasangan SBY-JK mengalahkan empat pesaing, yaitu Wiranto dan Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo, serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar.

Pilpres kemudian berkembang pada era Presiden Joko Widodo. Pada 2017, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur pelaksanaan Pemilu Legislatif 2019 dan Pemilu Presiden 2019 dilakukan serentak alias bersamaan.

Dengan demikian, jika sebelumnya partai politik membentuk koalisi usai pileg, maka pilpres serentak menyebabkan koalisi harus dibentuk jauh sebelum dilaksanakannya pilpres dan pileg.