Pancasila sebagai dasar negara sudah sangat tepat, tak dapat digangu gugat lagi. Seperti namanya, gabungan lima sila ini menjadi dasar bagi masyarakat dan pemerintah dalam menjalankan berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya, serta berbagai bidang lain dalam kehidupan berbangsa.
Namun, sayangnya seringkali, sebagai bangsa kita belum mampu menjadikan Pancasila sebagai pijakan yang kokoh bagi pelaksanaan pembangunan untuk meraih kesejateraan.
Pengalaman masa lampau
Sejatinya, alasan kunci yang membuat Pancasila tidak dijadikan landasan bagi pembangunan yang bermuara ke kesejahteraan, adalah penafsiran atau pemaknaan atas Pancasila secara berbeda.
Perbedaan penafsiran terbukti telah menimbulkan penyimpangan dalam tahap pengamalannya.
Rezim Orde Lama pernah menyimpangkan sila keempat Pancasila yang mengutamakan musyawarah dan mufakat, dengan demokrasi parlementer di mana hanya presiden yang berfungsi sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Sistem ini membuat pemerintahan menjadi tidak stabil.
Pada periode 1950-1955, penerapan Pancasila lebih mengarah pada ideologi liberal. Ideologi liberal yang lebih menekankan pada hak-hak individu. Hal tersebut menimbulkan ketakseimbangan antara hak dan kewajiban.
Kemudian, pada periode 1956-1965, pemerintahan Orde Lama memaknai Pancasila secara keliru dengan menerapkan demokrasi terpimpin.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno menjadi pemimpin yang otoriter. Bentuk otoriter ini memuncak ketika MPRS mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Edi Rohani lewat bukunya, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2019), menyatakan bahwa Soeharto, pemimpin Orde Baru menjadikan krisis politik dan kemerosotan ekonomi sebagai dalih untuk memulihkan pascagejolak politik menggunakan Pancasila.
Soeharto memanipulasi istilah Demokrasi Pancasila dengan doktrin P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa untuk memperoleh kesan kuat, bahwa dirinya adalah seorang yang memegang teguh Pancasila.
Padahal, melalui cara itu rezim Orde Baru berusaha melanggengkan kekuasaannya.
Belum jadi landasan pembangunan
Pada era Reformasi, Pancasila memang didudukan pada posisinya yang sebenarnya sebagai dasar negara, ideologi dan filosofi hidup bangsa Indonesia.
Meski demikian, Pancasila belum sungguh-sungguh dijadikan sebagai landasan kokoh berbagai program dan proses pembangunan untuk mewujudkan kesejateraan rakyat.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hingga saat ini masih banyak oknum pejabat pemerintah dan sejumlah kalangan masyarakat yang mengabaikan Pancasila, baik pada tahap penyusunan program, maupun pada tahap pelaksanaan pembangunan.
Terkait Pancasila dan nilai-nilai sila kesatu, program dan proses pembangunan seharusnya membuat warga bangsa memiliki kepercayaan dan ketakwaan yang lebih baik kepada Tuhan.
Namun, dalam kenyataan, kita masih menemukan ada oknum pejabat dan kelompok masyarakat yang menghalang-halangi pembangunan rumah ibadat kelompok umat beragama tertentu.
Bahkan, tak jarang terjadi, ada yang melakukan penistaan agama, menebar ujaran kebencian kepada umat yang berbeda agama sehingga menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berkenaan dengan sila kedua, kita juga masih menemukan ada banyak kasus di mana sesama warga bangsa Indonesia tidak menghargai orang lain; tidak memberikan hak orang lain; tidak menghormati hak orang lain; dan tidak membantu orang yang sedang kesusahan atau membutuhkan bantuan.
Di sektor pemerintahan, masih sering ditemukan oknum pejabat yang mengambil hak rakyat dengan melakukan korupsi.
Di sektor swasta, masih umum terjadi pihak perusahaan berlaku semena-mena terhadap karyawan dengan memberi gaji kecil, menerapkan jam kerja di luar ketentuan, dan melakukan PHK secara spihak.
Terkait sila ketiga, masih banyak terjadi program pembangunan di daerah yang disusun berdasarkan keinginan prbadi dan kepentingan golongan/partai dari pejabat pemerintah.
Banyak proyek pembangunan yang mengabaikan kepentingan bersama, atau sebaliknya mengabaikan semangat gotong royong.
Sering pula terjadi, proses pembebasan lahan untuk proyek pembangunan infrastruktur bandara, perumahan, bendungan/waduk dilakukan dengan cara mengadu domba sehingga menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.
Terkait sila keempat, kita juga masih sering menemukan bahwa kebijakan/keputusan mengenai suatu program pembangunan di pemerintahan, terutama di level pemerintahan kabupaten-kota dilakukan tidak melalui musyarawarah untuk mufakat.
Banyak pula proyek pembangunan yang diamanatkan ke para kontraktor tidak melalui prosedur tender yang transparan, melalui kekuatan lobi dan suap.
Akibatnya, tak sedikit proyek dikerjakan dengan mutu yang rendah, bahkan ada yang mangkrak.
Berkenaaan dengan sila kelima, kita juga menyaksikan bahwa prinsip-prinsip good governance seperti kejujuran, keadilan, akuntabilitas dan tanggun jawab sosial belum sepenuhnya dijadikan landasan dalam melaksanakan pembangunan.
Banyak anggaran proyek pembangunan yang sengaja digelembungkan dan ditilep.
Tak jarang terjadi proyek pembangunan yang dikerjakan dengan menabrak kearifan lokal, merusakkan situs-situs sejarah dan budaya.
Tak jarang pula terjadi, penggunaan dana proyek pembangunan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara baik.
Bahkan, tak sedikit proyek pembangunan yang dilakukan sambil merusak lingkungan hidup. Akibatnya masyarakat hidup dengan udara, laut dan sumber air yang tercemar, dan selalu dihantui bencana banjir dan tanah longsor.
Sejarah mencatat bahwa pembangunan ekonomi yang tidak dilandasi Pancasila menimbulkan masalah seperti keributan, kerusuhan, bahkan konflik.
Sejak meraih kemerdekaan 77 tahun lebih, Indonesia mengalami paling sedikit 17 kali konflik besar yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda, seperti Peristiwa Madiun (1948), DI/TII (1948), RMS (1950), Permesta (1957), PKI (1965), Aceh (1977, 1989 dan 1998), Situbondo (1996).
Kemudian Kerusuhan di Jakarta (Mei 1998), Timor Timur (1999), Maluku dan Maluku Utara (1999-2002), Sampit (2001), Poso (1998-2022), Sumbawa Besar (2013), Pengusiran Mahasiswa Papua di Yogyakarta (Juli 2016), FPI vs GMBI di Jawa Barat (2017), dan KKB di Papula (2021-sekarang).
Butuh kemauan dan keteladanan
Tentu saja, sebagai negara dan bangsa yang besar, kita tak boleh tenggelam dalam kelamnya sejarah masa lalu.
Kita juga tak boleh membiarkan sikap ceroboh sekelompok elite pejabat pemerintah, segelintir pelaku usaha swasta dan sekelompok masyarakat yang tak mau menjadikan Pancasila sebagai landasan kegiatan pembangunan dengan tujuan meraup keuntungan bagi diri, kelompok atau golongannya sendiri.
Sebaliknya, untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara: mewujudkan kesejateraan, kita memerlukan kehadiran para pemimpin di berbagai sektor kehidupan yang memiliki tekad atau kemauan kuat untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila, sebagai landasan pembangunan.
Kita membutuhkan para pemimpin yang tidak berbicara, tetapi menjadi teladan dalam menghidupi nilai-nilai Pancasila. Kita juga membutuhkan agar pemerintah pusat membuat kebijakan dan program pembangunan berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Berkenaan dengan itu tentu saja kita bersyukur bahwa dalam era Presiden Joko Widodo, pemerintah pusat membuat arah kebijakan fiskal yang difokuskan pada kesejateraan rakyat melalui penguatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), percepatan pembangunan infrastruktur, penguatan reformasi birokrasi, revitalisasi industri, dan pembangunan ekonomi hijau (Bdk. emedia.dpr.go.id).
Kita berharap pemerintah daerah merespons positif dan menindaklajuti kebijakan tersebut pada tingkat daerah.
Di sisi lain, kita juga memerlukan agar para pelaku usaha dan pemimpin perusahaan, baik BUMN/BUMD maupun di sektor swasta memperlakukan karyawannya dengan adil, dengan memberlakukan beban dan waktu kerja serta memberikan upah sesuai standar yang berlaku.
Akhirnya, kita juga memerlukan para pemimpin masyarakat (para tokoh adat dan alim ulama) yang memberikan inspirasi, motivasi, teladan dalam membangun kerukunan, dan mengembangkan kerja sama untuk memajukan kesejateraan sosial.
Apabila semua pemimpin dari segala sektor kehidupan tampil sebagai teladan dalam menghidupan Pancasila sebagai fondasi yang kokoh bagi kegiatan pembangunan, maka tak mustahil seluruh warga bangsa akan tergerak untuk melakukan hal yang sama.
Dengan demikian, semua kita memiliki harapan yang lebih kuat, bahwa kebijakan dan kegiatan pembangunan akan mampu mengangkat tingkat kesejahteraan seluruh warga bangsa Indonesia.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/01/12514651/pancasila-landasan-kokoh-menuju-kesejahteraan
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.