Konsep ini menekankan pentingnya penerapan nilai-nilai moral dan etika dalam kegiatan ekonomi, serta mengedepankan keadilan, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan (sustainability).
Sebagai tinjauan ulang, berikut adalah beberapa poin penting yang relevan dalam konteks ekonomi Pancasila, berdasarkan penafsiran penulis atas nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap sila dalam Pancasila.
Pertama, Ekonomi Pancasila mengakui pentingnya kepentingan individu dalam mencapai kesejahteraan pribadi, namun juga menekankan perlunya mengedepankan kepentingan bersama masyarakat dan negara.
Prinsip ini berupaya menciptakan keseimbangan yang adil antara kebebasan individu dalam berusaha dengan tanggung jawab sosial untuk mendorong keadilan dan kesejahteraan kolektif.
Kedua, Ekonomi Pancasila menekankan pentingnya mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi.
Prinsip keadilan sosial menjadi landasan untuk mengembangkan kebijakan ekonomi yang bertujuan meningkatkan aksesibilitas dan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat, termasuk yang terpinggirkan dan rentan.
Ketiga, Ekonomi Pancasila menghargai peran ekonomi rakyat, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta koperasi.
Konsep ini mendorong pemberdayaan ekonomi rakyat melalui dukungan kebijakan, pendidikan, akses modal, dan pengembangan keterampilan, sehingga mereka dapat berkontribusi secara aktif dalam pembangunan ekonomi nasional.
Keempat, Ekonomi Pancasila menyadari pentingnya keberlanjutan ekonomi dan perlindungan lingkungan hidup.
Prinsip ini mendorong penerapan pola konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab secara lingkungan, mempertimbangkan dampak ekonomi jangka panjang dan menjaga keseimbangan dengan alam.
Kelima, peran negara sebagai pengatur dan pemimpin. Dalam hal ini, Ekonomi Pancasila mengakui peran penting negara sebagai pengatur dan pemimpin dalam pembangunan ekonomi.
Negara bertanggung jawab untuk menciptakan kebijakan yang memfasilitasi pertumbuhan ekonomi inklusif, memastikan adanya perlindungan hukum dan keadilan sosial, serta memberikan arah strategis dalam pengelolaan sumber daya ekonomi.
Keenam, Ekonomi Pancasila menekankan pentingnya integritas dan transparansi dalam kegiatan ekonomi.
Prinsip ini mendorong penerapan tata kelola yang baik, melawan korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan ekonomi.
Keterbukaan informasi dan pertanggungjawaban menjadi aspek penting dalam membangun lingkungan ekonomi yang sehat dan berkeadilan.
Ketujuh, Ekonomi Pancasila mengakui pentingnya kemandirian ekonomi nasional, termasuk dalam produksi dan sumber daya.
Namun, konsep ini juga mengakui kebutuhan adanya kerja sama dan ketergantungan yang terukur dalam konteks globalisasi ekonomi.
Kerja sama dengan negara lain dalam perdagangan dan investasi dapat memberikan manfaat ekonomi, namun tetap dengan menjaga kepentingan nasional.
Ketujuh poin penafsiran penulis atas ekonomi Pancasila di atas mungkin masih bisa di-breakdown secara lebih mendalam dan detail.
Namun permasalahannya bukan itu. Sejak pertama munculnya Pancasila, mungkin tidak ada diskursus politik, sosial, dan ekonomi kebangsaan yang lebih banyak dikaji dan urai mendalam seperti Pancasila.
Dari semua diskursus tersebut, tidak ada satupun yang melahirkan konsep teknis bagaimana dan seperti apa Ekonomi Pancasila itu diterapkan. Tragisnya, ini tidak hanya terjadi pada sektor ekonomi, tapi juga sektor sosial, budaya, dan terutama, sektor politik.
Mufasir Pancasila
Menurut penulis, persoalan mendasarnya, Pancasila tidak pernah melahirkan mufasir (penafsir). Sehingga tidak ada sosok ataupun pihak yang cukup kompeten menjawab dan menengahi multi-tafsir di atas.
Sehingga wajar bila kita kehilangan gugus makna. Rakyat tidak pernah tahu yang dimaksud dengan implementasi politik yang bernalar Pancasila, hukum yang berjiwa Pancasila, apalagi ekonomi yang bercita rasa Pancasila, yang menurut sila kelima berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Kita hanya mengetahui tujuannya, tapi tidak pernah mampu mengurai langkah-langkahnya secara otentik.
Sejak masa kemerdekaan, kerangka nilai yang agung ini mengawang-awang sebatas narasi, tanpa pernah diobjektifikasikan.
Padahal sebagai nilai adiluhung, Pancasila menyediakan semua bahan baku bagi setiap anak bangsa untuk merumuskan langkah-langkah strategis menuju ke arah tujuan tersebut.
Hanya saja, kita kekurangan mufasir yang bersedia menggali lebih jauh makna-makna yang terpendam dalam nilai-nilai Pancasila.
Berangkat dari hal tersebut, agaknya kita perlu kembali merenungi kembali visi ke-Indonesia-an kita. Siapa kita? Darimana kita berasal? Dan kemana kita akan menuju?
Ini semua, merupakan sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban secara objektif, bukan retorika politis.
Untuk melahirkan sekelompok seorang ataupun sekelompok mufasir, tentu dibutuhkan satu iklim intelektual yang kondusif, sehingga para pemikir berani menjelajah hingga ke dasar kesadaran.
Sekelompok orang yang rela terasing dari keriuhan budaya popular lalu menyelami hakikat kedirian yang otentik.
Secara umum, orang-orang ini lebih dikenal sebagai filosof. Hanya sayang, di Negara ini para filosof tidak memiliki tempat yang cukup prestisius apalagi untuk didengar dan dimintai pendapatnya.
Dr. Husein Heriyanto dalam artikelnya berjudul “Laporan dari The 24th World Congress of Philosophy, Beijing, China” mengungkapkan kekecewaannya ketika menghadiri acara prestisius tersebut pada 13-21 Agustus 2018 lalu, tapi tak menemukan satupun perwakilan Indonesia dalam perhelatan tersebut.
Fakta ini tentu saja mencemaskan. Bagaimana mungkin Negara dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa, tapi tak memiliki satupun komunitas filsafat yang dapat berbicara secara elegan di fora internasional dan turut mendefinisikan peradaban umat manusia ke depan?
Padahal menurut Husain Heriyanto, “dapat dipastikan cepat atau lambat kita membutuhkan identitas kultural untuk menopang kelanjutan dan memberi arah kemajuan peradaban bangsa kita. Bahkan di balik gegap gempita dunia politik yang telah menghabiskan begitu banyak energi bangsa, kita sebetulnya membutuhkan arah dan panduan visi masa depan peradaban bangsa kita.”
Dan, menurut dia, Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia sangat potensial untuk diajukan sebagai salah satu pengisi prinsip “living together” yang diusung oleh UNESCO. (Dr. Husein Heriyanto; https://isipindonesia.wordpress.com)
Untuk itu, Pancasila perlu dibuka dan dikaji. Seperti layaknya komunisme, kapitalisme, dan isme-isme lainnya, bahkan kitab suci. Pancasila harus bersedia dikritisi, digeledah, dan digugat. Agar inti sarinya dapat keluar hingga perasan terakhir.
Dari hasil pergolakan intelektual seperti ini, kelak akan lahir sosok ataupun kelompok yang cukup mumpuni untuk menjadi penjaga dan pembela narasi-narasi Pancasila.
Yang bisa menafsirkan konteks dan menjawab gugatan atas nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila secara elegan.
Dari titik inilah nantinya, Pancasila bisa tumbuh sebagai kesadaran bersama warga-negara, bukan sekadar doktrin Negara.
Pancasila menjadi jati diri bangsa, bukan jargon penguasa. Dengan begitu, kita akan melangkah di tengah-tengah dunia sebagai bangsa yang otentik, bukan bangsa hibrida.
Wallahu’alam bi sawab
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/01/07300081/meninjau-ulang-ekonomi-pancasila
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.