Menurut dia, tak ada negara di dunia yang menerapkan kebijakan recalling pada hakim konstitusi yang sudah terpilih.
“Jadi bab mengenai evaluasi, dan recalling itu enggak bener itu. Jadi saran saya dicoret lah itu,” ujar Jimly dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Dalam pandangannya, DPR memang bisa memilih tiga kandidat hakim MK. Tapi tidak berarti boleh merasa bahwa hakim yang dipilih harus menjalankan kepentingannya.
Ia lantas menyinggung pencopotan mantan hakim MK Aswanto yang terjadi September 2022. Menurut Jimly, hal itu amat bermuatan politis.
Dia menduga alasannya karena MK menilai bahwa Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
“Saya kira itu mempengaruhi pemecatan hakim Aswanto, dan tercermin juga kemarahan itu di (pembuatan) RUU (MK) ini,” sebut dia.
Ia kemudian menyinggung Pasal 18 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Berdasarkan pasal tersebut disampaikan bahwa selain Presiden, dan Mahkamah Agung (MA), calon hakim MK juga diajukan oleh DPR.
Frasa ‘diajukan oleh’ itu yang menurut Jimly menjadi dasar hukum bahwa DPR tak punya kewenangan mengevaluasi atau recalling hakim MK yang sudah ditetapkan.
“Jadi (frasa bukan) ‘dipilih dari’ DPR, (sebab) dengan kata itu akan timbul pengertian bahwa orang kita, kan dari kita ini,” imbuh dia.
Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman pernah menyampaikan ada beberapa poin yang akan direvisi, yaitu, batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK.
https://nasional.kompas.com/read/2023/03/30/20062781/minta-dpr-hapus-wewenang-evaluasi-hakim-mk-jimly-recalling-itu-enggak-benar
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan