JAKARTA, KOMPAS.com - Kiprah Nahdlatul Ulama (NU) dalam pentas politik nasional menjadi bagian dari sejarah Indonesia.
Partai NU di masa lalu sanggup bersaing dengan partai bercorak Islam lainnya seperti Masyumi. Bahkan mereka juga bersaing dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada pemilihan umum (Pemilu) 1955.
Akan tetapi, NU juga akhirnya meninggalkan politik praktis dan kembali ke tujuan awal sebagai organisasi sosial.
Setelah Presiden Soekarno menerbitkan dekrit pada 5 Juli 1959, NU sebenarnya keberatan dengan pembubaran parlemen dan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR).
Akan tetapi, NU yang berada pada posisi ketiga perolehan kursi di parlemen menerima keputusan Soekarno.
Setelah penerbitan dekrit, kondisi politik, sosial, dan perekonomian dalam negeri semakin kacau. Partai politik di parlemen saling bertikai memicu ketidakstabilan.
Ditambah lagi tingkat inflasi yang tinggi membuat rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di masa Demokrasi Terpimpin itu pemerintah memutuskan menyerbu Irian (kini Papua), yang ketika itu masih dikuasai Belanda.
Selain itu, pemerintah juga bertikai dengan Malaysia yang ketika itu dituduh sebagai negara boneka Inggris yang dianggap sebagai bagian dari kelompok penjajah. Kedua kampanye militer itu berdampak terhadap situasi politik di dalam negeri.
Ketegangan situasi politik di dalam negeri mencapai puncak setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Jenderal Suharto diberi wewenang memulihkan ketertiban melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Hal itu menandai dimulainya rezim Orde Baru.
Partai NU mulanya berharap Orde Baru bisa membuat mereka meningkatkan peran politik. Namun, justru pada masa Orde Baru peran partai politik dibatasi sehingga akhirnya berujung kepada demokrasi semu.
Selain itu, Golongan Karya (Golkar) yang saat itu bukan partai politik mendapat dukungan dari pemerintah. Ditambah lagi pemberian kursi bagi fraksi ABRI di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat peran partai politik lain semakin terpinggirkan.
Setelah melalui perundingan intensif, empat partai Islam yaitu NU, Parmusi, PSII dan Perti sepakat melakukan fusi dan dituangkan dalam deklarasi tanggal 5 Januari 1973.
Mereka menyatakan menyatukan diri ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan partai yang bercorak nasionalis bergabung membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Fusi partai-partai Islam pada awalnya menguntungkan NU, karena hal itu dilakukan saat NU berhasil memperoleh suara yang jauh di atas partai-partai lain.
Pada pemilu 1971, Partai NU memperoleh 18,4 persen suara. Dengan pertimbangan itu, NU mendapat 58 kursi atau 61,7 persen dari keseluruhan kursi partai Islam sebanyak 94 kursi.
Meskipun NU memperoleh suara mayoritas, tetapi saat itu jabatan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PPP dipegang orang non-NU yaitu HMS Mintaredja dari Parmusi.
Sementara NU hanya mendapat jatah jabatan yang bersifat bergengsi.
Perselisihan di tubuh PPP antara NU dan partai lainnya kemudian mencuat. Persoalan yang terjadi adalah ketika Parmusi menuntut supaya pengaruh NU di PPP dikurangi.
Puncak perselisihan faksi NU dan kelompok lain dalam PPP mencapai puncak pada Pemilu 1982. Saat itu 29 tokoh NU dicoret dari daftar calon anggota legislatif.
Alhasil, suara supaya NU melepaskan diri dari kegiatan politik praktis dan kembali ke khittah 1926 semakin kencang.
Keputusan NU untuk meninggalkan panggung politik disepakati dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU pada 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
Lantas pada Muktamar 1984 di tempat yang sama, NU menyatakan kembali ke Khittah 1926 dan secara organisasi melepaskan diri dari ikatan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan lain.
Keputusan itu membuat NU tidak lagi aktif dan terkait dengan PPP dan mengakhiri jejak politik praktis NU di kancah nasional.
https://nasional.kompas.com/read/2023/02/07/12453951/saat-nu-tinggalkan-politik-praktis-dan-kembali-ke-khittah-1926