JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyebut perlu pendalaman apakah usul penghapusan jabatan dan pemilihan gubernur yang diusulkan Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar membutuhkan amendemen UUD 1945.
“Saya mau cari tahu, apakah ini semua agenda-agenda yang disampaikan, wacana-wacana yang dimunculkan itu, mendorong terjadinya amendemen UUD 1945. Ini yang saya mau cari tahu,” ucap Doli kepada wartawan selepas Rapat Dengar Pendapat dengan lembaga-lembaga penyelenggara pemilu, Senin (6/2/2023) di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Doli menilai bahwa posisi gubernur bukan hanya diatur di dalam undang-undang, melainkan juga diatur di konstitusi.
Di sisi lain, usul penghapusan pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat pun dinilai juga tidak mudah untuk dilakukan, sekalipun kewenangan memilih gubernur akan dialihkan ke DPRD atau gubernur.
“Hak untuk memilih langsung siapa yang dia (masyarakat) kenal untuk memimpin mereka, itu kan nggak mudah untuk kita hilangkan begitu saja,” ucap Doli.
Apalagi, usul ini mengemuka jelang Pemilu 2024. Muhaimin sendiri, yang menganggap jabatan dan pemilihan gubernur secara langsung tidak efektif dan efisien, berharap usulnya itu bisa dieksekusi pada 2024.
“Pada akhirnya muncul ketidakpastian. Sementara kan kita ingin persiapan pemilu ini semuanya fokus terhadap jalannya tahapan-tahapan yang sudah sesuai dengan aturan existing (yang sudah ada) sekarang,” kata politikus Golkar itu.
KPU perlu putusan MK
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menilai diperlukan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus pilgub.
Sebab, pilgub langsung yang dijadwalkan pada November 2024 nanti telah diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
KPU menjelaskan, norma UU Pilkada ini merupakan tindak lanjut dari norma dalam Bab VI Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Pasal itu berbunyi, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis".
Oleh karenanya, agar usul Muhaimin bisa terealisasi, yakni jabatan gubernur cukup diisi administrator yang ditunjuk pemerintah, maka ada jalan panjang yang harus ditempuh.
Revisi UU Pilkada dianggap tidak cukup karena UU Pilkada merupakan tindak lanjut UUD 1945.
Dibutuhkan tafsir dari Mahkamah Konstitusi atas UUD 1945 soal pemilihan kepala daerah secara "demokratis" dan sejauh mana definisi "kepala daerah" itu sendiri.
"Frasa kepala daerah yang dipilih secara demokratis dalam Bab VI Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya dapat ditafsirkan oleh MK sebagai the sole interpreter of constitution (penafsir tunggal konstitusi)," kata Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik kepada Kompas.com, Kamis (2/2/2023).
Lantaran putusan MK mengenai hal terkait belum ada, maka secara legal-formal pilgub secara langsung akan tetap diselenggarakan sesuai norma UU Pilkada, yaitu November 2024.
"Dikarenakan Pasal 201 ayat (8) UU tentang Pilkada masih efektif berlaku, jadi Pemilihan/Pilkada Serentak Nasional akan diselenggarakan pada November 2024," kata Idham.
"UU tentang Pilkada sampai saat ini masih efektif berlaku dan saat ini dijadikan rujukan hukum dalam merancang perencanaan tahapan Pemilihan/Pilkada termasuk perencanaan anggaran pembiayaan tahapan Pemilihan/Pilkada," jelasnya.
Idham mengungkit bagaimana isu sejenis pernah mengemuka jelang Pilkada 2020, yaitu pilkada asimetris.
Dalam konsep pilkada asimetris, tidak semua kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, melainkan beberapa di antaranya diangkat pemerintah pusat.
Namun, ketika isu itu menyeruak pun, Pilkada 2020 tetap digelar secara langsung merujuk norma dalam Pasal 201 ayat (6) UU Pilkada.
https://nasional.kompas.com/read/2023/02/06/16090611/soal-usulan-penghapusan-jabatan-gubernur-komisi-ii-cari-tahu-apakah-perlu