Premise “tidak ada kampanye” dan “tidak ada capres dan cawapres” ini datang dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022, oleh karena itu punya konsekuensi hukum.
Namun pertanyaannya: siapakah kontestasi jelang Pemilu 2024 yang sudah dihukum karena melanggar peraturan itu? Apa memang tidak ada yang melanggar? Atau, sejauh manakah PKPU punya gigi menegakan peraturan?
Maka kini kita tahu soal paling serius dalam politik hari-hari ini adalah taat peraturan.
Sejumlah partai politik (parpol) ataupun kandidat sudah kebelet “kampanye” secara halus. Hasrat politik ini begitu menyala-nyala. Siasat pun pelan-pelan dijalankan.
Pada tempat strategis di jalan-jalan sejumlah kota besar, terutama di Pulau Jawa, sudah banyak baliho terpampang dengan tulisan yang menyatakan “calon legislatif” dan “calon presiden”, beserta dua foto orang dan logo partai.
Apakah itu masuk kategori kampanye atau sosialiasi? Pastinya, kampanye di luar jadwal sudah masuk kategori sebagai pelanggaran pidana yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pertanyaannya: apa beda kampanye dan sosialisasi? Dari itu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sudah wanti-wanti agar parpol maupun perorangan agar melakukan sosialisasi yang benar tanpa menjurus ke arah kampanye.
Watak politik
Watak politik Indonesia modern selalu punya kisah repetisi dari sejarah kesalahan setiap jelang pemilihan umum. Dalam dua dasawarsa belakangan ini, watak ini terlihat pada berkelindannya pengertian apa itu sosialiasi dan apa itu kampanye.
Watak politik ini ada karena demi hasrat memperbanyak konstituen, maka watak ini yang kemudian memunculkan idiomatik propaganda.
Apa yang dikatakan Aldous Huxley, penulis dari Inggris 1894-1963, “efektivitas propaganda politik tergantung pada metode yang digunakan, bukan pada doktrin yang diajarkan,” lantas menemui relevansinya di sini.
Metode inilah yang menduplikasi sosialisasi menduplikasi kampanye, atau menduplikasi kampanye menjadi sosisaliasi. Namun semua ini punya hakikat yang sama dengan propaganda, yakni memberi penyuluhan dengan tujuan meyakinkan agar orang memilih.
Maka sosialiasi, kampanye, ataupun propaganda, dalam watak politik ini selalu memberi ajaran orientasi politik agar sama-sama dianut. Dan kepastian langkah yang ditempuhnya ini adalah memasyarakatkan orientasi politiknya itu lewat kandidat serta partai.
Hasrat Politik
KPU maupun Bawaslu selalu tidak pernah loyo untuk mengingatkan agar peserta pemilu, atau partai politik, harus menahan diri untuk melakukan kampanye sebelum waktunya.
Ada hal yang patut disimak, himbauan-himbauan dari dua institusi yang punya wibawa ini, selalu menggunakan kata “menahan diri.” Maka secara holistik diksi “menahan diri” bisa berkaitan kuat dengan “hasrat”, dan hasrat lekat dengan “syahwat".
Dalam kontek politik, hal-hal tersebut terkemas dalam politik bahasa yang dimainkan, sehingga muncul eufisme dari kata “propaganda” ataupun “kampanye”, menjadi “sosialisasi”.
Politik bahasa ini pura-pura memperjelas beda makna, tapi orientasinya sama, yakni: sama-sama sebagai cara memasyarakatkan atau memperkenalkan tokoh dan partai.
Hasrat politik tersebut untuk memperluas pengaruh dengan cara-cara menggunakan idiomatik sosialiasi, propaganda, maupun kampanye.
Tidak ada yang buruk untuk representasi ambisi ini, karena semuanya dikalkuasi dengan proses pertimbangan politik yang cermat. Apakah kemudian ini melanggar peraturan atau meloncati hukum, KPU dan Bawaslu harus tajam daya penciumannya.
Namun hal yang tidak bisa dihindari ketika hasrat politik telah berkobar-kobar menjadi keinginan guna mencapai tujuan, apapun caranya, etika dan hukum bisa disiasati oleh strategi oleh hasrat politik.
Strategi hasrat politik ini antara lain, pertama, lewat permainan politik bahasa menjadi eufisme. Kedua, upaya mengolah tantangan menjadi peluang.
Ketika KPU menetapkan 28 November 2023 dimulainya kampanye Pemilu 2024, dalam strategi yang ada hal ini bisa dilihat sebagai “tantangan” untuk segera diatasi dari sekarang, untuk menjadi peluang. Maka adanya hasrat politik tidak ragu untuk menyiasati “tantang” tersebut.
Eufemisme kampanye
Belum waktunya kampanye sudah kampanye, ini terlalu telanjang untuk diketahui banyak orang. Permainan politik yang begini tidak cantik. Oleh karena itu, untuk menutupi biar terkesen elegan dan cantik, dimunculkanlah politik bahasa, eufisme kampanye.
Pengertian kampanye dari sini jadi tidak tunggal, maka ia bisa memakai baju bernama sosialisasi, atau memakai jubah bernama silahturahmi.
Sejauh mana tingkat keluwesan dan kehalusannya terimplementasikan, ini tantangan yang sudah masak-masak dihitung.
Tingkat kecerdikan ini berbanding lurus dengan tingkat keberanian memanajemen halangan guna mencapai tujuan. Paling tidak proses ini adalah proses yang harus dilalui, bila tidak mau ketinggalan.
Pada tahun politik, bagi para pelaku politik menjadi tahun yang penuh kegairahan dan sekaligus penuh tantangan.
Kesibukan politik pada tahun politik menjadi permainan yang mengasyikkan, mendebarkan, dan sekaligus penuh risiko. Dari itu dibutuhkan keterampilan profesional, kecerdasan, dan stragtegis yang lincah. Semua ini diakomodasikan oleh hasrat politik.
Dari itu mengapa hasrat politik demikian lekat dengan “syahwat” kekuasaan. Secara terminologi, “hasrat” dan “syahwat” mengandung pengertian yang sama, yakni keinginan.
Atas dasar ini tidak ada orang yang berpolitik, tidak ingin mencapai kekuasaan. Hanya dalam fiksi romantisme orang berpolitik tak butuh kekuasaan.
Politik memberi imbalan yang bernama kekuasaan. Bagaimana prosesnya dilalui mencapai kekuasaan, dan bagaimana kekuasaan dipertahankan, adalah hasil dari hitung-hitungan yang dibuahi hasrat politik. Maka di dalam dunia politik, hitungan utamanya bukan etika, melainkan siasat.
Meraih kekuasaan
Oleh karenanya membicarakan politik tidak relevan mempersandingkan halal-haram. Sebab, bagi si politisi mengatakan “kedelai” pada pagi hari lantas malamnya mengatakan “tempe”, ini politik yang sangat kuat berkaitan dengan siasat. Apakah ini namanya bukan bohong dan tidak konsisten?
Dalam dunia politik, pertanyaan faktual demikian tidak bermutu. Soalnya, “syahwat kekuasaan” dalam dunia plitik sangat terbuka pada setiap cara pikir baru demi mencapai tujuan. Karena ini pula dalam politik “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada kepentingan abadi”.
Doktrin hukum tidak tertulis itu untuk membuka dialog politik ataupun menjalani koalisi politik. Berhubung masing-masing pihak punya syahwat kekuasaan pula, maka masing-masing berkeyakinan bakal menemukan peluang yang bagus untuk mencapai kekuasaan.
Tampak sekali hal itu terlihat pada hari-hari ini jelang Pemilu 2024, di mana seringkali partai politik atau elite-elite politik menghabiskan sebagian besar waktunya untuk urusan membuka dialog atau menjajakan koalisi.
Ini tidak mubazir, karena sekalian mengasah siasat demi menemukan solusi dan kemungkinan.
Untuk semua itu, mereka lantas mengampanyekannya lewat cara-cara eufemisme dengan tetap menyimpan hasrat politik.
https://nasional.kompas.com/read/2023/02/05/16065861/kampanye-terselubung-menyimpan-hasrat-politik
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan