Pasalnya, skor indeks persepsi korupsi (IPK) merosot ke angka 34 pada 2022. Dengan kata lain, turun empat poin dari tahun 2021.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, anjloknya IPK tersebut disebabkan sejumlah kebijakan pemerintahan Jokowi yang justru melemahkan korupsi, sikap permisif terhadap korupsi, dan lainnya.
“Mencermati IPK Indonesia, dapat disimpulkan bahwa untaian kalimat Presiden terkait pemberantasan korupsi hanya sekadar pemanis pidato semata,” kata Kurnia dalam keterangan resminya, Rabu (1/2/2023).
Kurnia mengatakan, dari sejumlah indikator dalam penilaian IPK, TII menyoroti korupsi politik di Indonesia.
Menurutnya, hal itu sesuai dengan situasi saat ini. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pelaku rasuah dari sektor politik menempati posisi puncak.
“Baik anggota legislatif maupun kepala daerah, menempati posisi puncak dengan total 521 orang,” ujarnya.
ICW memandang, korupsi politik di Indonesia melonjak karena beberapa hal. Salah satu di antaranya adalah pelemahan KPK melalui Revisi Undang-Undang KPK.
Selain itu, ICW juga menengarai sikap Jokowi yang membiarkan sosok bermasalah memimpin KPK juga turut melemahkan lembaga tersebut.
“KPK yang selama ini gencar memberantas korupsi politik justru dilemahkan oleh Presiden Joko Widodo,” kata Kurnia.
Dalam beberapa kesempatan, Luhut mengkritik upaya operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK.
“Luhut B Pandjaitan, sempat berulang kali mengomentari mengenai operasi tangkap tangan dengan kalimat destruktif,” ujar Kurnia.
Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian juga meminta aparat penegak hukum tidak menindak kepala daerah.
Sebaliknya, aparat penegak hukum diminta fokus mendampingi para kepala daerah.
“Pernyataan-pernyataan semacam ini tentu menunjukan sikap yang berseberangan dengan harapan atas perbaikan pemberantasan korupsi,” kata Kurnia.
Pemerintahan Presiden Jokowi dan DPR juga menerbitkan sejumlah kebijakan yang dinilai tidak mendukung pemberantasan korupsi.
Hal itu terlihat dari Revisi KUHP, UU Pemasyarakatan, UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan UU Minerba.
Oleh karenanya, ICW menilai semua pernyataan oleh pembuat undang-undang terkait pemberantasan korupsi hanya ilusi dan tidak ditindaklanjuti dengan langkah nyata.
“Begitu pula Presiden, janji politik saat kampanye tahun 2014 maupun 2019 dilupakan begitu saja seiring dengan menguatnya lingkaran kepentingan politik,” ujar Kurnia.
Sebagai informasi, IPK atau corruption perceptions index (CPI) mengukur persepsi korupsi di sektor publik.
CPI dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) dengan mengurutkan 180 negara tingkat korupsi di dunia. Negara dengan skor 0 berarti sangat rawan korupsi sementara 100 bebas korupsi.
Selain itu, Indonesia juga turun peringkat berada di posisi ke 110, turun 14 peringkat dari tahun sebelumnya di tingkat 96.
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko mengatakan, dalam pengukuran CPI, pihaknya menggunakan 9 indikator.
Salah satu indikator yang menjadi sorotan adalah Political Risk Service (PRS) atau risiko politik.
Indikator ini turun 13 poin dari 48 pada 2021 menjadi 35 pada 2022. Sementara itu, penurunan dalam jumlah lebih dari 4 poin menunjukkan adanya perubahan signifikan.
“Itu turut menyumbang penurunan CPI kita dari 38 ke 34 tahun ini,” ujar Wawan.
https://nasional.kompas.com/read/2023/02/01/22482411/icw-sebut-pernyataan-pemberantasan-korupsi-jokowi-hanya-pemanis-pidato