Waktu itu tanggal 18 September 2022. Ia menyusul ketika dalam perjalanan menuju ceramah di komunitas pemuda Islam Malaysia.
Sehingga waktu bersantai itu terganggu oleh berita kepulangan mereka menuju alam keabadian.
Keduanya adalah tokoh, pemikir, dan sama-sama pernah menduduki jabatan paling bergengsi di bidang yang ditekuni.
Buya Syafi’i menjabat Ketua Umum Muhammadiyah periode 1998-2005 dan pada saat yang sama Prof. Azyumardi Azra menjabat sebagai Rektor UIN Jakarta periode 1998-2006.
Setelah dua cendekiawan Muslim yang produktif menulis ini, Indonesia memang agak terasa lain. Sunyi, agak gelap, dan seolah berjalan tanpa arah dan tujuan.
Sebab selama ini, kepada Buya Syafi’i maupun Prof. Azra-lah harapan tertumpang untuk menyampaikan suara publik sebagai penerang jalan kereta besar bernama Indonesia.
Buya Syafi’i dan Prof. Azra terkenal dengan kritikan-kritikan yang tajam, apa adanya, elegan, berani, dan tanpa beban.
Inilah alasan utama kenapa suara dari dua cendekiawan lulusan Amerika itu ditunggu-tunggu ketika ada persoalan bangsa yang genting tentang Islam, demokrasi, pemberantasan korupsi, dan kemanusiaan.
Ketika Indonesia berada dalam suasana yang tak menentu seperti sekarang, pandangan dan pikiran kedua guru bangsa itu ingin benar kita mendengarnya.
Masalah utama Indonesia dalam enam bulan terakhir yang disorot publik adalah soal penengakan hukum, korupsi, dan tragedi kemanusiaan.
Biasanya bila ada persoalan bangsa yang besar dan penting, tetapi penyelesaiannya terhambat oleh berbagai kepentingan, beliau berdualah tumpuan publik untuk bicara.
Lidah kedua cendekiawan asal Sumatera Barat itu memang asin bagi pemerintah dan pemangku kebijakan di republik ini. Bila mereka sudah bicara, tak sedikit kebijakan yang akhir berubah atau paling tidak dibicarakan secara serius sebelum atau sesudah diputuskan.
Sekarang lidah asin Buya Syafi’i atau komentar tajam Prof. Azra sudah tidak ada. Sementara persoalan bangsa ini kian tambah runyam.
Tragedi Kanjuruhan yang sudah tak jelas di mana ujungnya. Pemberantasan korupsi sedang tertatih-tatih. Internal polisi kian telanjang dan nampak busuk.
Buya Syafi’i dan Prof. Azra harus diakui merupakan cendekiawan yang bicara tanpa beban apapun. Dua orang ini tak punya rasa takut sedikitpun ketika mengatakan hal mesti dikatakan. Mereka enggan berpihak pada kepentingan kekuasaan manapun.
Kehadiran pemikir dan intelektual yang punya integritas seperti Buya Syafi’i dan Prof. Azra kini sangat dibutuhkan oleh Indonesia.
Dalam dua tahun ke depan Indonesia akan memasuki tahun-tahun yang kian berat karena ekonomi dan politik sekaligus. Kita belum melihat tanda-tanda siapa tokoh yang pandangan, dan pikirannya layak dipertimbangkan.
Ketika dua cendekiawan Muslim itu masih hidup, kita biasa membaca pikiran, petunjuk dan peringatan-peringatan kecil dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Peringatan dan petunjuk yang ditulis secara konsisten itu dapat dengan mudah ditemui hampir setiap harinya di berbagai media cetak.
Berkat konsistensi dalam menulis itu, pembaca tahu dan mengerti ke mana arah perjalanan bangsa ini berjalan dan apa yang sesungguh sedang terjadi dengan bangsa ini.
Kini publik tak lagi mengerti apa yang sungguh-sungguh terjadi dan sedang ke mana arah perjalanan Indonesia ini.
Kalaupun ada suara peringatan untuk bangsa ini dari beberapa intelektual, kadang hanya terjadi sesekali. Pikiran mereka tidak dapat dibaca setiap minggu atau setiap bulan.
Setelah mereka berpulang, Indonesia benar-benar kehilangan suluh. Waktu empat bulan terasa begitu lama menunggu suluh baru untuk nyala kembali.
https://nasional.kompas.com/read/2022/12/16/05450001/indonesia-tanpa-buya-syafi-i-dan-prof.-azra
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan