Di samping menganggapnya sebagai putusan yang memberikan pesimisme dan memupus harapan terhadap penuntasan kasus sejenis, Komnas HAM juga mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam upaya penyelesaian Tragedi Paniai.
Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai menyebutkan, hasil pemantauan terhadap proses hukum Tragedi Paniai, mereka menemukan majelis hakim ad hoc yang menangani perkara ini belum digaji.
"Kita mempertanyakan juga keseriusan dukungan pemerintah terhadap proses peradilan ini, antara lain bisa terlihat dari hakim ad hoc pengadilan HAM, hak-hak keuangannya belum dipenuhi," kata Semendawai dalam jumpa pers, Kamis (8/12/2022).
"Setelah mereka bekerja sekian bulan, gajinya belum dapat," ujarnya.
Sebagai informasi, terdapat 8 hakim ad hoc yang lolos seleksi akhir Mahkamah Agung untuk mengampu sidang Tragedi Paniai.
Empat di antaranya bertugas untuk pengadilan tingkat pertama yang telah berakhir dengan pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Makassar siang tadi, yakni Siti Noor Laila (mantan komisioner Komnas HAM), Robert Pasaribu (ASN), Sofi Rahmadewi (dosen), serta Anselmus Aldrin Rangga Masiku (advokat).
Empat lainnya, Mochamad Mahin (mantan hakim), Fenny Cahyani (advokat), Florentia Switi Andari (advokat), dan Hendrik Dengah (dosen) lolos untuk pengadilan HAM tingkat banding.
Semendawai menganggap bahwa tidak dipenuhinya hak-hak keuangan para hakim ad hoc ini boleh jadi mempengaruhi kinerja.
"Jadi bagaimana mereka bisa bekerja secara maksimal juga (tanpa digaji)?" imbuhnya.
Persoalan ini lepas dari kenyataan bahwa susunan majelis hakim pengadilan Tragedi Paniai juga pernah dikritik karena dianggap kurang berkompeten menangani kasus HAM berat.
Hal ini selaras dengan langkah para keluarga korban yang, sejak awal, tidak mau menghadiri persidangan karena menganggapnya formalitas belaka.
Sebanyak empat orang warga tewas ditembak serta ditikam dan 21 lainnya dianiaya aparat ketika warga melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap kelompok pemuda sehari sebelumnya.
Penetapan peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat baru terjadi pada Februari 2020, setelah Komnas HAM merampungkan penyelidikan dan menganggapnya memenuhi unsur sistematis dan meluas--melibatkan kebijakan dari penguasa.
Komnas HAM menduga anggota TNI yang bertugas pada peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cendrawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai, sebagai pelaku yang bertanggung jawab.
Kejaksaan Agung baru menindaklanjutinya dengan penyidikan pada Desember 2021, mengeklaim telah memeriksa 7 warga sipil, 18 orang dari kepolisian, 25 orang dari unsur TNI, serta 6 pakar selama 4 bulan.
Kejaksaan Agung menetapkan Mayor Inf (Purn) Isak Sattu sebagai tersangka walaupun yang bersangkutan hanya berstatus perwira penghubung Kodim 1705-02/Paniai dan dinilai tak punya kewenangan mengendalikan markas.
Padahal, dalam konteks pelanggaran HAM berat, kejahatan kemanusiaan dilakukan sistematis dan meluas, terlebih ada pertanggungjawaban rantai komando dalam tubuh TNI dari setiap tindakan sehingga tidak mungkin hanya melibatkan 1 orang.
Komnas HAM juga menduga bahwa Tragedi Paniai tidak bisa dilepaskan dari Operasi Pengamanan Daerah Rawan (Pamrahwan) ketika itu.
"Operasi sebesar itu masa penanggungjawabnya dia (IS)? Ini lah problem pengadilan ini. Dakwaan jaksa berhenti pada peristiwa pagi itu. Komnas HAM melihat dia akibat dari peristiwa sebelumnya yang berkaitan dengan Pamrahwan. Dalam dakwaan jaksa tidak ada itu," jelas Amiruddin Al Rahab kepada wartawan, Kamis (10/11/2022).
https://nasional.kompas.com/read/2022/12/08/17313541/pertanyakan-keseriusan-pemerintah-komnas-ham-hakim-adhoc-tragedi-paniai