Salin Artikel

Pengamat Sebut Upaya Pengesahan RKUHP Dipaksakan

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menyebut pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi menjadi undang-undang (UU) dilakukan secara paksa.

Menurut Feri, banyaknya penolakan terhadap RKUHP tersebut wajar karena undang-undang ini dinilai melindungi kepentingan penyelenggara pemerintah dan orang yang berada di sekitarnya.

“Sedari awal memang pemerintah sudah betul betul berupaya memaksakan UU ini disahkan, sifat penundaan kemarin menurut saya hanya basa basi untuk meredam amarah publik,” kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Selasa (6/12/2022).

Feri menuturkan, sebelum RKUHP itu akhirnya disahkan terdapat banyak pasal yang mesti diperbaiki. Pasal-pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Salah satunya adalah pasal yang dinilai mengancam kebebasan berekspresi atau kemerdekaan menyampaikan pendapat.

Hal ini dinilai bermasalah lantaran bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan.

“(UUD 1945) yang mestinya jadi alat ukur bagi setiap undang-undang itu,” ujar Feri.

Sebagai informasi, dalam draf terakhir RKUHP disebutkan bahwa penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara terancam hukuman pidana 1,5 tahun.

Adapun pemerintah berarti presiden, wakil presiden, dan para menterinya. Sementara, lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Feri mengingatkan, semestinya UU terkait pidana tidak digunakan untuk melindungi penyelenggara negara. UU tersebut seharusnya digunakan untuk melindungi hak-hak konstitusional publik.

“Harusnya yang dibatasi itu adalah tindakan kebijakan dari penyelenggara negara untuk kemudian bisa melindungi warga negara dari sifat menyimpangnya kekuasaan penyelenggara negara,” ujarnya.

Menurut dia, dari konsep tersebut secara substansial pemerintah sudah salah dalam memposisikan KUHP. Sebab, UU tersebut dinilai mengabaikan standar atau nilai dasar UUD 1945.

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Andalas itu mengatakan, polemik RKUHP sebetulnya bisa diselesaikan jika pemerintah mau menghapus beberapa pasal yang dinilai bermasalah.

Pemerintah juga tidak perlu khawatir ketika dikritik masyarakat. Sebab, mereka harus menyadari bahwa kekuasaan yang ada memiliki potensi untuk disimpangkan.

“Tanpa pasal-pasal itu KUHP tetap bisa berjalan dan pasal-pasal itu bukanlah pasal pidana yang secara universal perlu diatur,” tuturnya.

DPR RI telah resmi mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang. Sebagaimana diketahui, pembahasan RKUHP mendapat kritik keras dari berbagai kelompok masyarakat.

Pada 2019, massa turun ke jalan untuk menyampaikan protes dan menolak sejumlah pasal bermasalah dalam RKUHP.

Setelah melalui dinamika yang alot, RKUHP akhirnya disahkan.

Meski demikian, sebanyak 12 pasal dalam draft terakhir masih menjadi sorotan. Beberapa di antaranya terkait pasal penghinaan simbol negara, presiden, dan lainnya.

Selain itu adalah terkait perzinahan atau tinggal bersama bagi laki-laki dan perempuan yang belum menikah.

https://nasional.kompas.com/read/2022/12/06/17170951/pengamat-sebut-upaya-pengesahan-rkuhp-dipaksakan

Terkini Lainnya

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Nasional
Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Nasional
TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke