"Bawaslu punya keterbatasan. Bawaslu bekerja diatur regulasi, sehingga ruang keterbatasan sangat banyak, termasuk menindak jika ada informasi hoaks, misalnya," kata Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu RI, Lolly Suhenty, dalam diskusi panel Indonesia Fact Checking Summit 2022 yang diselenggarakan MAFINDO, Rabu (30/11/2022).
"Ranah Bawaslu tidak di situ. Ranah Bawaslu hanya bisa sampai melakukan analisis, kemudian melakukan kajian, dan merekomendasikan kepada platform (media sosial) untuk men-take down," ujarnya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebut belum secara spesifik mengatur soal hoaks dan disinformasi.
Dalam pasal 280, beleid tersebut hanya mengatur sanksi pidana soal hasutan, hinaan, dan adu domba, sebagai larangan kampanye.
Lolly menuturkan, perdebatan akan panjang untuk membuktikan suatu konten yang dianggap hoaks/disinformatif sebagai kategori menghasut, menghina, dan mengadu domba.
Keterbatasan ini membuat Bawaslu, menurutnya, melakukan penegakan hukum lain untuk menangani kasus-kasus semacam itu.
"Dalam konteks ini kita bisa menggunakan UU ITE. Maka, kolaborasi kerja sama akan langsung kita lakukan dengan teman-teman kepolisian karena payung hukum yang berbeda," ujar Lolly.
"Soal-soal seperti ini memang kalau orang tidak peka, kalau tidak sabar, biasanya akan muncul pandangan negatif, lemah lah penegakan hukum Bawaslu, dan sebagainya, padahal memang kita dibatasi regulasinya," ungkapnya.
Lolly melanjutkan bahwa keterbatasan semacam ini lah yang membuat Bawaslu menginisiasi kolaborasi dengan platform-platform media sosial untuk memastikan proses jelang Pemilu 2024 berjalan dengan sehat.
Ia mengeklaim, Bawaslu telah menemukan kesepahaman dengan Meta, Tiktok, dan Google.
"Ini penting mengingat kita punya keterbatasan," pungkasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2022/11/30/20214291/bawaslu-akui-keterbatasan-tindak-hoaks-karena-uu-pemilu