Salin Artikel

Mencari Pemimpin Pragmatis, Pluralis, dan Revisionis

Jika pragmatisme melegitimasi pemimpin untuk lebih menekankan tindakan dan manfaat dalam pengambilan kebijakan.

Lalu pluralisme mendorong pemimpin untuk melihat ke dan mendengar dari semua. Bukan cuma kelompok mayoritas, apalagi segelintir elite.

Maka revisionisme menekankan pemimpin untuk terus bereksperimen dengan kebijakan dan kebijaksanaannya. Apakah kebijakan yang diambilnya benar-benar bermanfaat untuk semua? Atau sebaliknya?

Pragmatisme Joko Widodo

Di balik segala prestasi Presiden Joko Widodo hari ini, Penulis mengkategorikan beliau sebagai seorang pemimpin yang pragmatis, elitis, dan reformis.

Sisi pragmatis Presiden Jokowi terlihat dari kebijakan-kebijakan pembangunannya selama delapan tahun memimpin.

Pembangunan jalan tol, misalnya, dihitung-hitung di atas kertas, dampaknya bagi Indonesia sangatlah besar nanti. Biaya logistik, konektivitas antarwilayah dll, pun hanya beberapa dari banyak manfaat.

Sisi pragmatis juga terlihat dari kebijakan kontrol sipil atas TNI dan Polri. Secara tidak langsung, beliau menutup mata atas kehadiran purnawirawan, dan perwira aktif dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi nasional.

Tentu dengan manfaat, stabilitas rezim hari ini sangat kuat di tengah potensi goncangan yang tergolong besar -Demonstrasi 212, Pandemi Covid-19.

Sayangnya, Presiden Jokowi adalah pemimpin pragmatis yang elitis. Beliau bukan pemimpin populis, apalagi pluralis.

Sisi elitis ini tercermin dari untuk siapa manfaat atas program-program pembangunan ini? Berat untuk mengklaim pembangunan jalan tol bermanfaat untuk semua (rakyat), setidaknya dalam konteks hari ini.

Jalan tol ramai menjelang mudik Lebaran, Natal, dan Tahun Baru saja. Penikmat utama jalan tol adalah kelompok pengusaha di lingkaran kekuasaan. Mereka kontraktornya, mereka juga produsen barang dan jasa yang lewat di atasnya.

Lalu kontrol sipil pragmatis. Berat juga untuk mengklaim kebijakan ini bermanfaat bagi semua. Kontrol sipil seperti ini kontra produktif karena harga mahal stabilitas politik adalah represi terus menerus oleh aparat, disengaja atau tidak disengaja.

Beruntung Presiden Jokowi adalah seorang pragmatis yang reformis. Benar, menjadi reformis jauh lebih baik dibandingkan seorang konservatif yang menuntut status quo. Pasalnya mereka yang konservatif sangat antiterhadap perubahan, padahal dunia terus berubah.

Menjadi seorang pragmatis yang konservatif di tengah rivalitas Amerika Serikat-China, di tengah pandemi Covid-19, di tengah ancaman resesi ekonomi, sangat-sangat kontradiktif dengan pemikiran pragmatisme yang menekankan tindakan-manfaat.

Sisi reformis ini terlihat dari terobosan-terobosan kebijakan yang kerap dipromosikan beliau: Pembatasan Sosial Berskala Besar saat pandemi Covid-19, Omnibus Law Cipta Kerja, mungkin sebentar lagi Reformasi TNI/ Polri Jilid II.

Pragmatisme pasca-Joko Widodo

Seperti penjelasan di awal, penulis menganggap pemimpin yang dibutuhkan Bangsa Indonesia adalah pemimpin yang pragmatis, pluralis, dan revisionis.

Mungkin istilah pragmatis kurang populer, tapi di tengah tantangan global hari ini, Bangsa Indonesia butuh pemimpin yang berpijak pada tindakan-manfaat, daripada sekadar kata-kata.

Pragmatisme-lah yang memandu pemimpin tersebut untuk menciptakan manfaat. Lebih jauh, pragmatisme si pemimpin bisa dilihat dari rekam jejaknya selama memimpin.

Seberapa besar manfaat yang muncul dari tindakan-tindakan yang diambilnya? Diskursus Pemilu 2024 harus diarahkan ke sini, ke hal-hal yang pragmatis, bukan lagi retorika-retorika ideal yang normatif.

Sejarah mencatat, di masa krisis, pengikut tidak butuh pemimpin retoris. Seorang Winston Churchill yang memimpin Inggris Raya saat Perang Dunia memang orator ulung, pidato-pidatonya dahsyat. Namun Churchill adalah seorang pragmatis dari diplomasi-diplomasinya.

Seorang Deng Xiaoping yang mewarisi segala masalah Tiongkok di era Mao pun seorang pragmatis. Kucing hitam atau putih tidak masalah, selama bisa menangkap tikus, kata Deng.

Gus Dur pun pragmatis kalau melihat segala kontroversinya yang ada, lalu membandingkan dengan manfaat bagi Bangsa Indonesia saat beliau memimpin.

Namun pragmatisme saja tidak cukup. Di era pascapopulisme, konsekuensi yang ada hanya dua: elitisme atau pluralisme.

Pertama berorientasi pada mayoritas rakyat, kedua pada segelintir elite, dan terakhir pada semua rakyat.

Berangkat dari keburukan populisme dan kekurangan elitisme, Penulis mendorong pemimpin kedepan adalah pemimpin yang juga pluralis. Dengan kata lain, pemimpin tersebut menekankan tindakan dan manfaatnya untuk semua rakyat.

Ditinjau dari aspek identitas, “semua” merujuk seluruh suku, agama, ras dan golongan. Dari aspek kelas, berarti si kaya dan si miskin, kelas atas, menengah dan bawah masuk semua.

Agar tidak terjebak dalam lingkaran normatif dan retoris, pragmatisme dan pluralisme harus ditemani revisionisme.

Bersama reformisme, revisionisme adalah antitesis dari konservatisme yang menekankan status quo. Bedanya, apabila reformisme mendorong modifikasi dalam sistem, menekankan kompromi dengan kondisi status quo.

Revisionisme mendorong replikasi sistem secara total -dengan kata lain kondisi status quo benar-benar dibongkar.

Dengan revisionisme, pemimpin pragmatis dan pluralis sadar bahwa untuk mewujudkan manfaat untuk semua, eksperimen-eksperimen kebijakan yang sifatnya drastis perlu diambil menimbang kondisi global yang tidak stabil dan kelemahan program-program pembangunan pemimpin terdahulu.

Nyali ini yang tidak dimiliki pemimpin reformis, apalagi yang nyaman dengan status quo.

Praktisnya, saya membayangkan, pemimpin tersebut mampu memangkas ketergantungan masyarakat akan energi fosil, memotong ketergantungan masyarakat akan pangan beras dan gandum, menghentikan eksperimen Merdeka Belajar dll. Semua atas legitimasi manfaat lebih besar untuk semua.

Lebih jauh, pandangan revisionisme membuat pemimpin akan terus bereksperimen dengan kebijakan untuk mewujudkan “manfaat untuk semua”.

Tantangan besar pragmatisme untuk pluralisme adalah menentukan dan mewujudkan manfaat bagi rakyat Indonesia yang beragam, yang dalam praktik akan sangat sulit melakukannya.

Padahal kesulitan ini berakar dari orientasi pemimpin yang menganggap manfaat ini ditentukan sendiri olehnya, dibatasi oleh Undang-undang dll.

Manfaat untuk masyarakat plural tidak bisa diterjemahkan statis. Ia harus berasal dari proses melihat kondisi rakyat dan mendengar suara rakyat.

Bahkan idealnya, masyarakat yang menyampaikan kepada si pemimpin, kebijakan seperti apa yang dibutuhkan, agar manfaat muncul kepada mereka.

Kondisi lingkungan strategis yang terus berubah membuat hakikat “manfaat” ini dinamis. Dikatakan bermanfaat hari ini, belum tentu bermanfaat hari esok.

Apalagi jika terbukti, manfaat tersebut hanya dirasakan segelintir elite atau kelompok mayoritas saja.

Terakhir, soal kesesuaian pemimpin pragmatis, pluralis dan revisionis ini dengan Pancasila. Bagi saya, pandangan pragmatisme yang menekankan tindakan adalah jawaban bagi upaya membumikan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan dan keteladanan.

Pandangan pluralisme mengingatkan pemimpin untuk selalu melihat dan mendengar rakyat, bukan kelompok mayoritas apalagi elite.

Sementara pandangan revisionism menuntun pemimpin untuk selalu melakukan refleksi, bahwa implementasi Pancasila yang menciptakan manfaat untuk semua harus selalu berubah sesuai perkembangan zaman.

https://nasional.kompas.com/read/2022/11/30/06000091/mencari-pemimpin-pragmatis-pluralis-dan-revisionis

Terkini Lainnya

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke