Salin Artikel

Sandera Politik Hakim Konstitusi

Tepat pada Rabu, 23 November 2022, Presiden Jokowi secara resmi melantik Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi yang menggantikan Aswanto.

Proses pelantikan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi seolah memberikan pembenaran proses pemberhentian yang cacat secara hukum dilakukan oleh DPR terhadap Aswanto.

Proses Inkonstitusional

Persoalan yang hadir pada DPR dalam memberhentikan Aswanto adalah kekeliruan dalam menafsirkan Surat Mahkamah Konstitusi No. 3010/KP.10/07/2022. Surat tersebut sebenarnya hanya terbatas pada pemberitahuan mengenai dampak Putusan MK No. 96/PUU-XIII/2020.

Pada putusan tersebut telah mengubah periodisasi jabatan hakim MK yang tidak lagi terbatas pada siklus 5 tahunan, namun mengikuti pada pembatasan usia.

Menjadikan putusan tersebut sebagai dasar pemberhentian hakim MK oleh DPR jelas keliru dan tidak dapat diterima akal sehat.

Berdasarkan Pasal 23 ayat (4) UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan melalui keputusan presiden dan atas permintaan ketua Mahkamah Konstitusi.

Lebih lanjut, secara konstitusional kewenangan DPR juga tidak memberhentikan hakim MK, melainkan hanya mengusulkan hakim MK.

Problematika lain soal pemberhentian Aswanto oleh DPR, yakni pemberhentian yang sangat jauh dari amanat konstitusi untuk menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Menurut keterangan dari Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto, DPR memberhentikan Aswanto karena telah menganulir beberapa produk hukum dari DPR.

Ia mengatakan, Aswanto merupakan wakil dari DPR di MK layaknya direksi yang ditunjuk oleh owner.

Padahal mengacu UU tentang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa syarat pemberhentian hakim konstitusi, baik pemberhentian secara terhormat maupun tidak terhormat tidak ditemukan sedikitpun ketentuan yang menyebutkan bahwa alasan pemberhentian hakim konstitusi karena telah menganulir undang-undang dari DPR.

Sebab pemberhentian sebagaimana yang diuraikan sebelumnya secara nyata berimplikasi pada hilangnya independensi Hakim Konstitusi. Hal ini bertentangan dengan amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin adanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Tafsir terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman, yakni membebaskan berbagai kepentingan yang muncul dari cabang kekuasaan negara lainnya seperti Legislatif dan Eksekutif yang dapat memengaruhi independensi kinerja hakim konstitusi dalam menegakkan konstitusi dan keadilan.

Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945 secara hakiki merupakan amanah yang semestinya dipegang oleh Presiden sejak mencalonkan diri sebagai calon presiden.

Konsekuensi hal ini, yaitu seorang Presiden wajib patuh terhadap konstitusi sebagai the highest law in the land.

Sehubungan dengan berbagai problematika yang terjadi pada proses pemberhentian Aswanto di atas, Presiden nyatanya tetap melanjutkan proses pelantikan Guntur Hamzah untuk menggantikan Aswanto.

Sebagai seorang negarawan, Presiden semestinya tidak serta merta menerima proses pemberhentian Aswanto yang cacat secara hukum.

Pelantikan Guntur Hamzah yang dilakukan oleh Presiden seolah membenarkan praktik bernegara yang jauh menyimpang dari konstitusi dan makin memperjelas posisi Presiden akan ketidaktaatan terhadap hukum dan konstitusi.

Sandera politik

Pandangan teori hukum kritis maupun hukum progresif seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo menerangkan bahwa institusi hukum yang mapan akan mudah sekali menjadi tempat persembunyian dari geliat kepentingan kekuasaan yang bermain di dalamnya.

Oleh karenanya, pandangan tersebut cukup menaruh kecurigaan terhadap rezim kekuasaan yang dalam berhukum telah menyimpang dari apa yang idealkan.

Pandangan tersebut seolah mengkonfirmasi fenomena yang saat ini terjadi di Indonesia.

Berkaca dari intervensi yang dilakukan oleh DPR beserta adanya pembenaran Presiden terhadap tindakan inkonstitusional DPR dalam memberhentikan Aswanto, maka bukan tidak mungkin hakim konstitusi yang berasal dari DPR dan Presiden menjadi sandera politik untuk melindungi kepentingan tertentu.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi sulit untuk disebut sebagai the guardian of the constitution, melainkan the guardian of the executive and legislative.

Sebelum persoalan ini hadir pun sebenarnya netralitas Mahkamah Konstitusi dalam menguji beberapa undang-undang seringkali menimbulkan kontroversi, terlebih kondisi saat ini yang membuat makin kontrasnya kepentingan politik dalam tubuh hakim Konstitusi.

Hal tersebut membuat keberadaan Mahkamah Konstitusi berpotensi hanya sekadar menjadi lembaga pemberi “stemple konstitusional” terhadap produk undang-undang yang dihasilkan di DPR dan Presiden.

Akibatnya, kehadiran MK sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang bertujuan menciptakan check and balances system menjadi runtuh dan tersandera oleh kepentingan kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Secercah harapan Mahkamah

Eugen Ehrlich (1826-1922) dengan pandangan sociological jurisprudence-nya menyatakan bahwa suatu hukum positif dapat berjalan secara efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat.

Lebih lanjut, terhadap pusat perkembangan dari hukum tidak terletak pada badan legislatif atau lembaga formal, melainkan berada dalam masyarakat itu sendiri.

Pandangan ini mengartikan bahwa koordinat sentral dari hukum terletak pada masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan kanal-kanal kekuasaan kehakiman yang independen dan terbebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Keberadaan MK sejatinya diidealkan untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang dilanggar melalui undang-undang, bukan malah melindungi dan melegitimasi produk hukum yang dibuat oleh DPR dan Presiden secara serampangan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keraguan mengenai independensi hakim konstitusi selalu mengemuka di publik.

Hal ini tidak terlepas dari lembaga pengusul hakim konstitusi mayoritas berasal dari lembaga yang memiliki pengaruh politik besar, yaitu Presiden dan DPR.

Mengingat pentingnya independensi suatu kekuasaan kehakiman karena menyangkut hak konstitusional warga negara, maka perlu untuk dilakukan reformasi terhadap sistem pengusulan hakim konstitusi.

Kedepan, lembaga pengusul hakim konstitusi perlu dihilangkan dari anasir politik lembaga kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Mengapa demikian, karena produk yang akan diuji oleh MK merupakan produk yang berasal dari kedua lembaga kekuasaan tersebut, sehingga sangat rentan hadirnya intervensi sebagaimana yang terjadi pada Aswanto.

Adapun sistem pemilihan hakim konstitusi tidak lagi berdasarkan atas usulan lembaga, namun melalui proses seleksi secara profesional yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Secara sosiologis, hal ini juga dapat menghilangkan adanya beban “politik balas budi” hakim konstitusi terhadap lembaga pengusulnya, di mana hal tersebut berpotensi mengganggu kemerdekaan MK.

Hal ini juga harus didorong dengan peningkatan moral konstitusi atau constitution morality pada tiap hakim konstitusi.

Upaya peningkatan tersebut tidak hanya terbatas pada tanggung jawab moral hakim konstitusi untuk setia pada nilai-nilai konstitusionalisme dan independensi, namun juga menjadi tanggungjawab Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang menyeleksi hakim konstitusi.

Dengan begitu keberadaan MK sebagai guardian of the constitution dapat berjalan sebagaimana mestinya.

https://nasional.kompas.com/read/2022/11/25/06084271/sandera-politik-hakim-konstitusi

Terkini Lainnya

KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

Nasional
Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Nasional
Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Nasional
Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Nasional
Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada DKI, PKS: Beliau Tokoh Nasional, Jangan Kembali Jadi Tokoh Daerah

Tak Dukung Anies Maju Pilkada DKI, PKS: Beliau Tokoh Nasional, Jangan Kembali Jadi Tokoh Daerah

Nasional
Zulhas Ungkap Arahan Prabowo soal Buka Pintu Koalisi

Zulhas Ungkap Arahan Prabowo soal Buka Pintu Koalisi

Nasional
Menpan-RB Minta Pemprov Kalbar Optimalkan Potensi Daerah untuk Wujudkan Birokrasi Berdampak

Menpan-RB Minta Pemprov Kalbar Optimalkan Potensi Daerah untuk Wujudkan Birokrasi Berdampak

Nasional
Prabowo Mau Kasih Kejutan Jatah Menteri PAN, Zulhas: Silakan Saja, yang Hebat-hebat Banyak

Prabowo Mau Kasih Kejutan Jatah Menteri PAN, Zulhas: Silakan Saja, yang Hebat-hebat Banyak

Nasional
Selain Bima Arya, PAN Dorong Desy Ratnasari untuk Maju Pilkada Jabar

Selain Bima Arya, PAN Dorong Desy Ratnasari untuk Maju Pilkada Jabar

Nasional
Perkecil Kekurangan Spesialis, Jokowi Bakal Sekolahkan Dokter RSUD Kondosapata Mamasa

Perkecil Kekurangan Spesialis, Jokowi Bakal Sekolahkan Dokter RSUD Kondosapata Mamasa

Nasional
Penetapan Prabowo-Gibran Besok, KPU Undang Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud

Penetapan Prabowo-Gibran Besok, KPU Undang Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud

Nasional
Amanat Majelis Syura Gulirkan Hak Angket di DPR, Presiden PKS Sebut Lihat Realitanya

Amanat Majelis Syura Gulirkan Hak Angket di DPR, Presiden PKS Sebut Lihat Realitanya

Nasional
Zulhas Sebut Tak Ada Tim Transisi, Prabowo Mulai Kerja sebagai Presiden Terpilih

Zulhas Sebut Tak Ada Tim Transisi, Prabowo Mulai Kerja sebagai Presiden Terpilih

Nasional
Menyoal Tindak Lanjut Pelanggaran Pemilu yang Formalistik ala Bawaslu

Menyoal Tindak Lanjut Pelanggaran Pemilu yang Formalistik ala Bawaslu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke