Menurutnya, sampai saat ini tak ada payung hukum yang mengatur keadilan restoratif untuk tindak pidana korupsi.
“Kalau urusan koruptor kita lihat dulu gitu loh, berhati-hati. Dia bisa mengembalikan uangnya tidak? Uang yang dia korupsi berapa banyak?” ujar Desmond ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Rabu (9/11/2022).
Dalam pandangannya belum ada parameter yang jelas untuk memberlakukan restorative justice pada para koruptor.
Tanpa ukuran yang jelas, menurut Desmond, upaya penegakan hukum bakal terganggu.
“Pemaafan-pemaafan itu di mana gitu, kan harus ada parameter yang jelas. Kalau tidak jelas, repot kita,” katanya.
Desmond mengungkapkan, penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa memberikan usulan dan berdiskusi dengan Komisi III DPR jika ingin memasukan restorative justice dalam tindak pidana korupsi.
Namun, keputusan itu bergantung pada pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang.
Desmond meminta sebelum ada payung hukum yang jelas, aparat penegak hukum tak boleh membuat aturan sendiri dan melakukan praktik restorative justice untuk tindak pidana korupsi.
“Jadi boleh (memberi) usulan, (tapi) jangan seolah-olah lembaga hukum jadi pembuat undang-undang,” tandasnya.
Ia menyampaikan hal tersebut saat menjalani fit and proper test di Komisi III DPR pada 28 September 2022.
Namun, Johanis Tanak mengatakan, usulan itu hanya sekadar opini.
"Tapi pandangan sebagai akademisi tentunya bisa saja. Tapi, bagaimana realisasinya tentunya nanti lihat aturan," ujarnya usai pelantikan di Istana Negara, Jakarta, 28 Oktober 2022.
https://nasional.kompas.com/read/2022/11/09/14222111/wacana-restorative-justice-untuk-kasus-korupsi-anggota-dpr-bisa-kembalikan