Salin Artikel

Masih Adakah Polisi Sebaik Hoegeng?

Karena begitu mendadak dan tak terduga, saya cuma teringat satu nama. Jadi, saya jawab, “ada, satu orang, namanya Jenderal Polisi (Purn) Drs. Hoegeng Imam Santoso."

Mungkin nanti ada yang kedua, dan seterusnya bisa jadi Pak Listyo Sigit Prabowo. Namun, ia sedang mengikuti ujian super berat, dan jika lulus ujian dari banyak kasus yang sedang menimpa Polri, ia akan menjadi sedikit orang yang “bersih” di institusi Polri yang terlanjur “kotor” gara-gara perilaku oknum yang mengotori korsanya.

Pertanyaan itu lantas jadi pertanyaan titipan dari teman kerja, ketika saya mengunjungi seorang teman kepolisian di kantornya.

Pertanyaannya memang sederhana dan sepele, tapi bahkan untuk menanyakannya kepada teman polisi itu butuh keberanian berbasa-basi.

Kemarin, saya hadir di kantor Polda bertemu dengan pihak Bareskrim untuk undangan menjadi saksi kasus. Berada di ruang itu jadi terasa aneh dan tidak seperti biasanya, ketika mengurus SIM dan lainnya.

Kesempatan untuk urusan saksi ternyata cukup menyita waktu, bahkan mengejutkan rasanya, seperti kena kasus dan harus buat BAP.

Jadi saya duduk di depan seorang petugas, saling bertanya jawab, dan akhirnya menjadi laporan, dan saya periksa sebelum ditandatangani.

Menariknya, selama proses itu saya berkesempatan mengajukan banyak pertanyaan untuk menjawab rasa penasaran.

Persis seperti wawancara, dimulai dari pertanyaan, bagaimana rasanya jadi polisi setelah kasus Sambo terbongkar?

Seperti sudah diduga, polisi juga “kehilangan” prestigenya. Publik acuh dan gesture-nya jika sowan ke kantor polisi mengisyaratkan tanda-tanda tak punya simpati lagi.

Uniknya, beberapa kali dalam candaan para polisi yang seruangan dengan saya, setiap kali mengumpat, selalu ada kata “Sambo’ di dalamnya.

Mereka seperti mengungkapkan kekesalan karena kebiasaan buruk mereka menjadi pengetahuan publik.

Padahal selama ini bukan rahasia lagi, seperti yang dirasakan, dan dipahami publik bahwa di dalam tubuh kepolisian memang ada “kerusakan”, dan telah dianggap publik menjadi sebuah kultur.

Sekalipun pelakunya adalah oknum, personal atau individu. Atau jika kita kalkulasi secara matematis, seberapa banyak sebenarnya oknum dan sebaliknya berapa banyak polisi yang masih idealis dengan Tri Bratanya?

Atau di dalam konteks korsa kepolisian, yang disebut “oknum” dalam pemahaman secara bahasa adalah, pelaku yang sedikit dalam sebuah kumpulan yang besar. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Idealisme seorang Polisi

Dengan begitu banyak godaan di institusi Polri, termasuk dalam urusan struktur organisasi sebagai acuan garis koordinasi dan komandonya, membuat saya berpikir.

Apakah masih ada polisi baik? Bagaimana ia bersikap jika mengikut garis komando yang berlawanan dengan nurani dalam urusan “sepele” seperti pungli atau razia bodong?

Dua pertanyaan itu saja cukup sulit dijawab, apalagi jika pangkat si polisi masih tamtama dan diperintah oleh Kapolda yang pangkatnya jenderal, jauh di atasnya.

Secara psikologis saya tak bisa membayangkan bagaimana harus bersikap. Termasuk dalam kasus perintah menembakkan gas air mata ke tribun penonton untuk menghalau.

Padahal itu melawan nurani, apalagi jika tahu ada anggota keluarganya ikut menonton. Barangkali malah istri dan anaknya.

Atau ketika menghalau demo mahasiswa, hingga harus berjibaku mati-matian, padahal ia tahu yang disuarakan para mahasiswa adalah tuntutannya juga.

Atau kasus termutakhir, ketika seorang Bharada E, terpaksa harus mengikuti perintah komandannya untuk membunuh.

Dan atas kasusnya itu, ia menjadi salah satu tersangka dalam skenario pembunuhan yang diotaki komandan dan tersangka lain, yang juga istrinya.

Banyaknya pertanyaan yang bertubi-tubi muncul di kepala, barangkali karena realitas saat ini yang berlawanan dengan idealisme yang semestinya dipegang oleh seorang polisi sebagai abdi Negara.

Sebenarnya, ketika bicara tentang Polri dengan segala kiprahnya, juga sangat rumit.

Bagaimana pun, saat melayani masyarakat sebagai abdi negara, Polri juga punya prinsip seimbang antara hukum dan moral. Tindakannya terukur, tidak sembarangan, bertanggung jawab sesuai hukum.

Intinya, bahkan untuk mencegah, menghambat, menghentikan tindak kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa, bahkan kehormatan kesusilaan masyarakat yang dilindunginya, ia akan menerapkan nilai-nilai diskresi.

Ada wewenang, ketika polisi bertindak, dan memutuskan, dalam situasi tertentu juga membutuhkan pertimbangan yang tidak sepele dan main-main. Di antara garis batas hukum dan moral. Jadi ini bukan perkara sederhana!

Apa urgensi dari tindakannya itu? Menghindari kekuatan berlebihan dan tidak bertanggung jawab.

Menggunakan kekuatan juga memakai prinsip dasar. Tindakannya harus sesuai legalitas, proporsionalitas, preventif, nesesitas, kewajiban umum, dan masuk akal, bukan sekadar “pamer kekuatan”.

Kongkretnya, ketika Polisi memakai prinsip nesesitas, harus sebuah “tindakan yang luar biasa”. Artinya, kalau masih ada pilihan lain selain menangkap, menahan tersangka, maka wajib lakukan tindakan terbaik.

Nah, Polri berkeyakinan, bertindak dengan kekuatan, bukan sekadar menjadi seorang “superhero” unsich!

Lantas saya membayangkan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo sedang mengeksekusi Brigadir J, dan itu tanpa klarifikasi, apalagi menggunakan nilai-nilai diskresi dan prinsip nesesitas.

Jika di tingkat internal saja, internalisasi nilai-nilai itu tak kesampaian, bagaimana kira-kira implementasinya kepada publik? Apakah mereka hanya menggunakan satu prinsip-- formalitas saja?

Pahami jati diri

Ternyata menjadi polisi baik itu sulit, karena seorang polisi seperti berada di dua dunia berbeda. Dunia polisi yang bukan militer namun personifikasinya militer dan dunia sipil yang harus dipahami sebagai rakyat biasa.

Awam banyak yang salah memahami polisi sebagai militer. Berbeda dari polisi militer yang fokusnya pada internal atau di dalam organisasi TNI, polisi memiliki ruang lingkup tugas dan fungsi untuk pihak eksternal, yakni masyarakat.

Begitu juga TNI bertugas menjaga segala aset nasioal dan melindungi negara dari ancaman eksternal, maupun gerakan-gerakan separatis.

Sedangkan Polri bertugas lebih internal, yaitu menegakkan tata tertib dan mengawal tegaknya undang-undang.

Dalam hirarkinya, Kepolisian Negara Republik Indonesia (disingkat Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, bertanggung jawab langsung di bawah Presiden.

Sehingga menjadi sangat logis dan konstitutional karena untuk menegakkan hukum, ketertiban dan keamanan harus ada alat negara (polisi) yang sekaligus melaksanakan tugas-wewenang administrasi presiden di bidang keamanan dan ketertiban umum.

Ada lima fungsi umum dalam kepolisian, yaitu Binamitra, Samapta, Lalu lintas, Intel, dan Reserse Kriminal.

Yang termasuk dalam Polisi berseragam adalah fungsi Binmas, Samapta, dan Lalu lintas. Sedangkan Polisi yang tidak memakai seragam adalah fungsi Intel, dan Reskrim.

Peristiwa kasus Sambo menjadi pembelajaran, bagi kepolisian dan masyarakat, bahwa wewenang atau hirarki dan perintah dalam kepolisian berbeda dengan kemiliteran.

Sehingga dapat saja seorang bawahan menolak perintah pimpinan jika bersifat represif, penyerangan, kejahatan yang tidak sesuai nilai-nilai Tri Brata yang dianutnya.

Namun jika terjadi pelanggaran oleh pimpinan yang menyerang anak buahnya, juga akan diproses secara kode etik. Ketika masuk ranah tindak pidana, juga akan diproses secara hukum. Semua sama di mata hukum yang lurus dan benar.

https://nasional.kompas.com/read/2022/10/27/13345461/masih-adakah-polisi-sebaik-hoegeng

Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Kaesang Masuk PSI, Pengamat: Mengafirmasi Jokowi Main Politik 2 Kaki

Kaesang Masuk PSI, Pengamat: Mengafirmasi Jokowi Main Politik 2 Kaki

Nasional
Kapolri Dalami Penyebab Tewasnya Ajudan Kapolda Kaltara

Kapolri Dalami Penyebab Tewasnya Ajudan Kapolda Kaltara

Nasional
Kapolri Perintahkan Kasus Tewasnya Ajudan Kapolda Kaltara Diusut Tuntas

Kapolri Perintahkan Kasus Tewasnya Ajudan Kapolda Kaltara Diusut Tuntas

Nasional
Ganjar Soal Mahfud jadi Cawapres: Saya Kira Bisa

Ganjar Soal Mahfud jadi Cawapres: Saya Kira Bisa

Nasional
Kemlu: WNI Diculik di Malaysia Sudah Diserahkan ke KJRI

Kemlu: WNI Diculik di Malaysia Sudah Diserahkan ke KJRI

Nasional
Survei Litbang 'Kompas': Publik Akan Gunakan Hak Pilih Sebab Yakin Pemilu 2024 Aman

Survei Litbang "Kompas": Publik Akan Gunakan Hak Pilih Sebab Yakin Pemilu 2024 Aman

Nasional
Survei Litbang 'Kompas': Publik Nilai Kinerja KPU-Bawaslu Baik Jaminan Pemilu Aman dan Damai

Survei Litbang "Kompas": Publik Nilai Kinerja KPU-Bawaslu Baik Jaminan Pemilu Aman dan Damai

Nasional
Survei Litbang 'Kompas': Pemerintah dan Polri Diyakini Mampu Jaga Stabilitas Pemilu 2024

Survei Litbang "Kompas": Pemerintah dan Polri Diyakini Mampu Jaga Stabilitas Pemilu 2024

Nasional
Survei Litbang 'Kompas': Publik Yakin Pemilu 2024 Aman dan Damai

Survei Litbang "Kompas": Publik Yakin Pemilu 2024 Aman dan Damai

Nasional
Panglima Pastikan Oknum Prajurit Kostrad yang Lakukan Pelecehan Seksual Diproses Hukum

Panglima Pastikan Oknum Prajurit Kostrad yang Lakukan Pelecehan Seksual Diproses Hukum

Nasional
Polri Kirim Berkas Pemecatan Teddy Minahasa ke Setmil Presiden

Polri Kirim Berkas Pemecatan Teddy Minahasa ke Setmil Presiden

Nasional
Pak Marhaen Menantang Capres pada Pemilu 2024

Pak Marhaen Menantang Capres pada Pemilu 2024

Nasional
Syarat Cawapres Ganjar Versi Hary Tanoe: Punya 'Chemistry' dan Bisa Tarik Suara

Syarat Cawapres Ganjar Versi Hary Tanoe: Punya "Chemistry" dan Bisa Tarik Suara

Nasional
Soal Peluang Megawati Bertemu Prabowo, Ganjar: Bagus, Supaya Rakyat Tak Curiga

Soal Peluang Megawati Bertemu Prabowo, Ganjar: Bagus, Supaya Rakyat Tak Curiga

Nasional
Hary Tanoe Nilai Koalisi 'Gemuk' Justru Bikin Ribet

Hary Tanoe Nilai Koalisi "Gemuk" Justru Bikin Ribet

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke