Aditya dihadirkan sebagai saksi dalam perkara obstruction of justice/perintangan penyidikan dengan terdakwa Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria, dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
Mulanya, jaksa penuntut umum mencecar Aditya, mengapa ia yang juga anggota tim khusus Polri dalam kasus ini mengejar bukti CCTV tersebut.
Aditya menjawab, hal itu untuk membuktikan opini awal yang berkembang di publik bahwa rekaman CCTV tersebut hilang karena perangkat itu tersambar petir.
"Memang benar itu tersambar petir?" tanya penuntut umum.
"Siap, ternyata memang benar, Pak," jawab Aditya.
"Untuk tersambar petir itu kameranya, bukan DVR-nya," jawab Aditya.
"(DVR) tidak terganggu," lanjutnya.
Rekaman CCTV pos sekuriti itu disebut hilang bukan karena tersambar petir, melainkan perangkat itu telah disita Polres Metro Jakarta Selatan, lalu diganti dengan perangkat baru.
Itu sebabnya, ketika Puslabfor menyita DVR dari pos sekuriti rumah Sambo pada hari berikutnya, tidak ada data apa pun di dalamnya.
Rekaman yang asli akhirnya diperoleh dari Baiquni Wibowo melalui sebuah hard disk. Aditya menyebutkan, rekaman tersebut masih utuh dengan durasi sekitar 2 jam.
"Rekaman itu dari jam 16.00-18.00 pada 8 Juli 2022. Jelas, mobil jelas terlihat, mulai dari Ibu PC (Putri Candrawathi) tiba, Pak Ferdy Sambo tiba, Ibu PC kembali, dan melihat masih ada Yosua (Brigadir J) di taman, masih hidup," pungkasnya.
Sebagai informasi, Hendra dan Agus didakwa jaksa telah melakukan perintangan proses penyidikan pengusutan kematian Brigadir J bersama Ferdy Sambo, Arif Rahman, Baiquni Wibowo, Chuck Putranto, dan Irfan Widyanto.
Tujuh terdakwa dalam kasus ini dijerat Pasal 49 jo Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Mereka disebut jaksa menuruti perintah Ferdy Sambo yang kala itu menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri untuk menghapus CCTV di tempat kejadian perkara (TKP) lokasi Brigadir J tewas.
“Perbuatan terdakwa mengganggu sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya,” papar jaksa membacakan surat dakwaan dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Rabu lalu.
Selanjutnya, para terdakwa juga dijerat dengan Pasal 48 jo Pasal 32 Ayat (1) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Para terdakwa sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik,” lanjut jaksa.
Selain itu, sejumlah anggota polisi yang kala itu merupakan anak buah Sambo juga dijerat dengan Pasal 221 Ayat (1) ke-2 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
“Para terdakwa turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang- barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang,” tutur jaksa.
Jaksa memaparkan, perintangan proses penyidikan itu diawali adanya peristiwa pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 8 Juli 2022. Akibat kejadian di rumah Dinas itu, Sambo menghubungi Hendra Kurniawan yang merupakan anak buahnya untuk datang ke rumah dinasnya dengan niat menutupi fakta yang sebenarnya.
Berdasarkan dakwaan yang dibacakan jaksa, Sambo lantas merekayasa cerita bahwa terjadi tembak menembak antara Richard Eliezer atau Bharada E dengan Brigadir J di rumah dinasnya yang menyebabkan Brigadir J tewas. Singkatnya, Sambo memerintahkan Hendra Kurniawan untuk melakukan segera menghapus dan memusnahkan semua temuan bukti CCTV yang dipasang di lingkungan Komplek Polri, Duren Tiga, setelah pembunuhan Brigadir J.
https://nasional.kompas.com/read/2022/10/27/12200341/saksi-benarkan-cctv-sekuriti-rumah-sambo-tersambar-petir-tapi-tak-pengaruhi