Salin Artikel

Mengembalikan Proses Pidana Pilihan Terakhir

Ada berita Baim Wong-Paula Verhoeven 'Prank' KDRT, kasus KDRT Rizky Billar-Lesty Kejora, hingga perseteruan Nikita Mirzani-Najwa Shihab.

Itu hanya sebagian kecil berita yang dapat saya tulis. Kasus lainnya masih lebih banyak.

Masalahnya semua kasus seperti berita itu selalu bemuara pada laporan perkara ke kepolisian. Artinya akan dilanjutkan ke proses pidana jika cukup bukti. Mulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pemenjaraan.

Bukan persoalan siapa pihak yang benar dan salah. Saya bukan hakim dan tidak boleh main hakim sendiri. Namun, saya hanya fokus dan menyayangkan adanya fakta laporan kasus (perkara).

Kita sadari bahwa proses pidana bersifat keras (kejam). Ada praktik yang tidak bisa dilepaskan dari menyakiti (menyiksa) jiwa dan raga manusia.

Di antaranya penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan. Mengerikan sekali bukan?

Karena itu, para pakar hukum, Sudikno Mertokusumo dan Wirjono Prodjodikoro dengan kompak menyatakan proses pidana hanya sebagai alat atau pilihan terakhir (ultimum remedium) dalam penyelesaian masalah (sengketa).

Bukan menjadi alternatif pertama, sebagaimana suka dianut (dipedomani) oleh para pelapor kasus, yang kebanyakan terlalu buru-buru melaporkan pihak lawan.

Sebuah kesalahan awal yang selanjutnya malah diperparah dengan intensnya provokasi (blow up) dari pihak lain (orang ketiga) yang terus-menerus mendorong agar pelaku kejahatan dipidanakan dan dihukum dengan seberat-beratnya.

Menegakkan hukum tidaklah selalu bermakna sama dengan menghambur-hamburkan sanksi pidana. Apalagi tidak memedulikan adanya asas (prinsip dasar) ultimum remedium (pilihan terakhir).

Sebaliknya menahan diri dan mencari alternatif penyelesaian perkara di luar jalur pidana tidak berarti kontra (melawan) penegakkan hukum pidana. Hal itu tidak lepas daripada usaha menerapkan asas tersebut.

Bukankah sekarang sudah ada praktik restorative justice di tingkat kepolisian dan kejaksaan? Meskipun baru sebatas tahap permulaan yang belum diadopsi secara masif.

Masih terbatas pada kasus-kasus relatif ringan seperti pencurian, penggelapan, penganiayaan, dan KDRT serta tindak pidana dengan ancaman penjara di bawah 5 tahun.

Aparat penegak hukum mulai mengakomodasikan berkembangnya wacana penyelesaian di luar proses pidana dengan menerbitkan kebijakan (peraturan) secara resmi.

Di antaranya Peraturan Polri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Selain itu diterbitkan Peraturan Jaksa (Perja) Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Ada pula konsep diversi dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

Mengembalikan penyelesaian perkara (sengketa) sesuai asas ultimum remedium melalui jalur nonpidana butuh dukungan dari semua pihak. Baik masyarakat secara umum maupun penegak hukum.

Karena kita sudah terlanjur berpikiran (dibentuk) bahwa penegakkan hukum artinya mempidanakan kasus.

Kita tidak pernah diingatkan kalau hukum pidana seharusnya adalah pilihan terakhir (pamungkas). Artinya harus diupayakan jalur lain yang lebih manusiawi (beradab) terlebih dahulu seperti mediasi, dialog, rehabilitasi, dan ganti rugi.

Pencabutan laporan perkara

Pelaporan kasus pidana terkadang hanya bersifat emosional sesaat sehingga sangat sering sekali kita jumpai terjadinya pencabutan laporan oleh para pelapor.

Setelah mengetahui betapa beratnya dampak yang akan diterima terlapor, pelapor mengurungkan niatnya. Hanya saja penyesalan itu banyak yang terlambat.

Apalagi jika kasus yang dilaporkan bukan delik aduan. Ternyata tidak semudah membalik telapak tangan untuk mencabut laporan perkara.

Pada akhirnya hampir semua kasus yang dilaporkan ke pihak kepolisian terpaksa masuk ranah pidana. Hal itu menunjukkan kesadaran hukum para pelapor masih rendah.

Tidak mampu mengkalkulasikan adanya untung-rugi dalam setiap upaya hukum yang dilakukan untuk menjerat (membalas dendam) pihak lawan.

Sikap yang berlebihan dalam pemidanaan juga berdampak sangat buruk pada masalah kelebihan kapasitas di penjara.

Mengacu data Dirjen Pemasyarakatan, 8 Oktober 2022, terlihat bahwa lapas mengalami kelebihan penghuni sebanyak 109 persen.

Sehingga masih dibutuhkan sarana-prasarana lapas dalam jumlah yang besar untuk menampungnya.

Padahal saat ini telah dibangun 525 lapas yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk mengelolanya dibutuhkan anggaran besar pula terutama biaya hidup (perawatan) warga lapas.

Direktur Pelayanan Tahanan, Pengelolaan Basan dan Baran di Dirjen Pemasyarakatan, Heni Yuwono mengatakan bahwa untuk tahun 2023 mendatang, negara harus menganggarkan Rp 2 triliun hanya untuk memberi makan para warga Lapas.

Serta alokasi sumber daya manusia (SDM) yang tidak sedikit dalam menjaga lapas. Data pegawai Kemenkumham tahun 2016 menampakkan kepada kita bahwa jumlah penjaga lapas mencapai jumlah 14.600 orang.

Hingga saat ini, lapas masih bergelut mengatasi masalah kelebihan kapasitas serta tidak seimbangnya rasio jumlah penjaga dan penghuni Lapas.

Sebagai subsistem terakhir dalam sistem peradilan pidana, lapas tidak bisa menolak kehadiran terpidana yang telah diproses dalam penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Tidak mungkin untuk mengintervensi (campur tangan) secara langsung terhadap polisi, jaksa, dan hakim.

Padahal masalah kapasitas akan berdampak pada kelebihan beban kerja yang dapat mengakibatkan pelayanan tidak maksimal hingga kemungkinan perlakuan pada penghuni yang kurang manusiawi.

Bahkan yang paling ekstrem bisa menimbulkan gangguan keamanan seperti pelarian dan kerusuhan.

Eks narapidana dan resedivis

Masalah yang terakhir adalah terus bertambahnya angka eks narapidana dan residivis dalam masyarakat. Mulai dari golongan rakyat jelata, pejabat negara, artis, tokoh agama, pengusaha, politikus, ilmuwan hingga aparat penegak hukum.

Menjadi hal yang mengkhawatirkan jika lama-lama publik beranggapan bahwa hampir semua orang pernah masuk penjara dan menjadi eks narapidana serta resedivis merupakan hal yang wajar (biasa) saja.

Sehingga orang melakukan tindak kejahatan tidak lagi takut (khawatir) dimasukkan ke penjara.

Berdasarkan data Kemenkumham pada Februari 2020, tercatat bahwa jumlah resedivis di dalam lapas hanya 18,12 persen, yang artinya pelaku kejahatan baru berjumlah 81,88 persen.

Akan menjadi masalah baru jika untuk menimbulkan rasa jera pelaku kejahatan berikutnya dilakukan hanya dengan fokus menambah jumlah hukuman (lama pidana). Pihak lapas yang sudah kelebihan kapasitas pasti akan semakin merasa tertekan.

https://nasional.kompas.com/read/2022/10/17/16291631/mengembalikan-proses-pidana-pilihan-terakhir

Terkini Lainnya

Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi di Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi di Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke