Rupanya Presiden ingin mengingatkan kepada para polisi ikhwal gaya hidup mereka lewat perwakilan yang hadir. Tak main-main, dalam pertemuan itu dihadiri 559 personal Polri yang terdiri dari pejabat utama Mabes Polri, kapolda, serta kapolres.
Dalam pertemuan itu Presiden Joko Widodo meminta para pejabat kepolisian untuk memperhatikan gaya hidup mereka yang berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial di tengah situasi sulit yang dirasakan hampir semua elemen masyarakat.
Menurut Presiden Jokowi, kecemburuan sosial akibat gaya hidup mewah para pejabat kepolisian sangat berpotensi menimbulkan letupan sosial di tengah masyarakat.
"Saya ingatkan yang namanya polres, kapolres, kapolda, pejabat utama, pejabat tinggi, ngerem total masalah gaya hidup. Jangan gagah-gagahan karena merasa punya mobil atau motor gede yang bagus, hati-hati, saya ingatkan hati-hati," kata Presiden Jokowi dalam pengarahan tersebut sebagaimana disiarkan kanal YouTube resmi Sekretariat Presiden.
Polisi kaya
Kebetulan saat Presiden menyatakan hal itu publik ditunjukkan dengan gaya hidup yang berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial. Seorang petinggi polisi diberitakan punya kekayaan melimpah.
Berpangkat bintang dua, petinggi polisi memiliki 53 properti berupa bidang tanah dan bangunan atau rumah.
Sebut saja 53 rumah, tentu tidak main-main dalam mengumpulkan kekayaan. Padahal, dalam ukuran standar beli satu rumah saja sudah empot-empotan.
Pinjam penjelasan Menkeu Sri Mulyani bahwa inflasi tinggi akan mendorong kenaikan suku bunga acuan.
Hal ini akan diikuti oleh semakin tingginya bunga perbankan sehingga masyarakat harus menguras kantong lebih dalam untuk mendapatkan rumah. Maka masyarakat akan semakin sulit untuk membeli rumah.
Tetapi kok polisi bintang dua itu gampang sekali membeli 53 rumah? Ternyata oh ternyata, polisi kaya itu menghalalkan segala cara untuk mengumpulkan kekayaan.
Belakangan terungkap bahwa polisi bernama Irjen Teddy Minahasa "main narkoba" untuk memperkaya diri.
Diberitakan, Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) Polri menangkap Kapolda Sumatera Barat yang baru dimutasi sebagai Kapolda Jawa Timur Irjen Teddy Minahasa pada Jumat, 14 Oktober 2022. Penangkapan jenderal bintang dua itu diduga karena terlibat jaringan narkoba.
Polisi menyebut Teddy Minahasa mengganti barang bukti narkoba jenis sabu yang semestinya dimusnahkan dengan tawas.
Sabu seberat 5 kg itu yang kemudian dijual ke pihak lain. Diduga ia menjual per kilogramnya sekitar Rp 400 juta. Bisa dihitung berapa diperoleh. Setidaknya satu rumah agak mewah sudah diperolehnya.
Ketumpulan empati, kekuatan hegemoni
Ketika Irjen Teddy membeli sejumlah rumah itu ada ketumpulan empati padanya. Secara sederhana, empati bisa dimaknai sebagai kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain.
Empati berarti, orang menunda sudut pandangnya sendiri, dan mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Empati adalah inti dari dialog yang sehat. Dialog diri guna memperoleh keputusan tepat.
Dialog Teddy mestinya begini:
"Pantaskah saya mengumpulkan rumah sebanyak-banyaknya?"
"Bukankah banyak orang yang sulit beli rumah?"
"Ah, aku tidak beli rumah dulu, nggak enak sama orang lain". (Dialog berempati)
"Ah, ini kan uangku. Hasil jerih payahku". (Dialog tak berempati)
Ketumpulan empati memenangkan pemikiran, "Ah, ini kan uangku". Lantas dibelilah rumah sebanyak-banyaknya senyampang gampang cari uang.
Ketumpulan empati itu terjadi karena Teddy terperangkap kekuatan hegemoni. Sejatinya hegemoni itu adalah, “pradominasi ideologis dari nilai-nilai dan norma borjuasi pada kelas-kelas yang lebih rendah.”
Gramscian (pengikut Antonio Gramsci, pengagas teori hegemoni) menganggap hegemoni merupakan tanda, bahwa nilai-nilai hidup kelompok yang dominan di masyarakat menyebar dan menjadi nilai-nilai hidup seluruh masyarakat.
Kalau ditarik ke skala lebih kecil, yakni lingkungan kepolisian, maka "nilai-nilai hidup kelompok yang dominan di kepolisian menyebar dan menjadi nilai-nilai hidup seluruh polisi".
Celakanya nilai-nilai hidup yang dominan itu adalah (seperti disebutkan Presiden) gaya hidup gagah-gagahan. Biar gagah, ya pakai baju mahal, punya mobil mewah, menumpuk 53 properti dan lainnya.
Bahkan Gramscian lain bilang hegemoni lebih dari sekadar dominasi (pemaksaan dengan menggunakan kekuasaan), tetapi juga “gabungan antara kesepakatan dan pemaksaan.”
Akhirnya ada kesepakatan bahwa gaya hidup gagah-gagahan hal biasa saja. Tinggal bagaimana masing-masing punya cara mencari modal untuk hidup gagah-gagahan.
Yang tidak dominan, yakni polisi yang memilih hidup semestinya saja, malah tenggelam ke dalam lingkungan marjinal. Kasihan.
Maka dari itu, dari perspektif hegemoni, gaya hidup gagah-gagahan bisa digempur dari pemegang kekuasaan, dalam hal ini 559 personal polisi yang diundang ke Istana tersebut.
Mereka ini, bilamana disinyalir memperkaya diri dengan cara ilegal, langsung disikat. Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo telah melakukannya sikat habis itu.
Irjen Teddy menjadi salah satu korban ketegasan Kapolri. Bisa saja kasus Teddy disembunyikan demi citra polisi, tetapi Kapolri pilih cara lain: sikat habis!
Mudah-mudahan ini awal yang baik agar empati para petinggi polisi itu tidak lagi tumpul. Semoga Kapolri diberi kekuatan.
https://nasional.kompas.com/read/2022/10/17/11235021/teddy-minahasa-punya-53-properti-saat-rumah-sulit-terbeli-perspektif-empati