JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang lanjutan kasus korupsi terkait izin ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) menghadirkan saksi yang merupakan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan.
Pantauan Kompas.com saat persidangan yang berlangsung Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Kamis (29/9/2022), Oke menjelaskan beberapa pertanyaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPO) dan pengacara terdakwa.
Di antaranya adalah pelibatan terdakwa Lin Che Wei dalam korupsi minyak goreng tersebut.
Lin Che Wei disebut diperkenalkan langsung oleh terdakwa yang juga mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indra Sari Wisnu Wardhana.
Lin Che Wei juga terlihat dalam rapat Zoom yang dihadiri oleh para pejabat Kementerian Perdagangan pada 14 Januari 2022 untuk membahas skenario menjaga stabilitas harga minyak goreng di pasaran.
Salah satu skenarionya adalah dengan kebijakan kewajiban domestic market obligation (DMO) 20 persen yang diberlakukan untuk pengusaha sawit.
Oke mengatakan, usulan yang diberikan oleh Lin Che Wei saat itu langsung disetujui oleh eks Menteri Perdagangan M Lutfi.
"Skemanya disetujui, tetapi besaran DMO 20 persen dipelajari," imbuh Oke.
Oke yang kini sudah pensiun dari pejabat Kementerian Perdagangan itu menyebut Lin Che Wei sebagai seorang yang mengerti bisnis minyak sawit.
"Saya tau latar belakang dia (Lin Che Wei), pengetahuan di (dunia usaha) persawitan sangat kuat," papar Oke.
Sebagai informasi, kasus korupsi izin ekspor sawit mentah ini menjerat lima terdakwa yaitu eks Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Indra Sari Wisnu Wardhana, tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Ada juga Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley Ma dan General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang.
Dalam kasus ini, mantan Dirjen Daglu didakwa melakukan dugaan perbuatan melawan hukum dalam menerbitkan izin ekspor CPO atau minyak sawit mentah. Tindakan Wisnu memberikan persetujuan ekspor (PE) juga diduga telah memperkaya orang lain maupun korporasi.
Menurut Jaksa, perbuatan itu dilakukan secara bersama-sama dengan empat terdakwa lainnya. Akibatnya, timbul kerugian sekitar Rp 18,3 triliun.
Kerugian tersebut merupakan jumlah total dari kerugian negara sebesar Rp 6.047.645.700.000 dan kerugian ekonomi sebesar Rp 12.312053.298.925.
Jaksa juga menyebut, dari perhitungan kerugian negara sebesar Rp 6 triliun, negara menanggung beban kerugian Rp 2.952.526.912.294,45 atau Rp 2,9 triliun.
Menurut Jaksa, kerugian keuangan negara itu merupakan dampak langsung dari penyalahgunaan fasilitas persetujuan ekspor (PE) produk CPO dan turunannya atas perusahaan yang berada di bawah naungan Grup Wilmar, Grup Permata Hijau, dan Grup Musim Mas.
Wisnu dan empat tersangka lain didakwa memanipulasi pemenuhan persyaratan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).
DMO merupakan batas wajib pasok yang mengharuskan produsen minyak sawit memenuhi stok dalam negeri. Sementara itu, DPO merupakan harga penjualan minyak sawit dalam negeri.
Akibat DMO tidak disalurkan, negara akhirnya mesti mengeluarkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu beban masyarakat.
Adapun sejumlah korporasi yang menerima kekayaan dalam akibat persetujuan ekspor CPO itu adalah Grup Wilmar sebanyak Rp 1.693.219.882.064, Grup Musim Mas Rp 626.630.516.604, dan Grup Permata Hijau Rp 124.418.318.216.
Jaksa lantas mendakwa Wisnu, Lin Che Wei, Stanley, Pierre, dan Master dengan Pasal yang sama. Mereka didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/29/21482991/eks-dirjen-perdagangan-dalam-negeri-dihadirkan-dalam-sidang-kasus-ekspor-cpo