Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg pilihannya untuk duduk di parlemen. Sementara itu, dalam sistem tertutup, pemilih hanya mencoblos partai politik, untuk berikutnya partai yang memilihkan kadernya duduk di parlemen.
Direktur Eksekutif Puskapol UI Hurriyah menganggap, sistem pileg proporsional tertutup baru layak diterapkan di Indonesia seandainya negara ini sudah memiliki sistem partai politik yang sehat.
"Masalahnya, partai politik yang mestinya jadi instrumen utama demokrasi di Indonesia, justru saat ini dia menjadi lembaga paling tidak demokratis," kata Hurriyah kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).
Hurriyah memberi contoh, dengan sistem terbuka saja, tak sedikit partai politik yang masih mencoba mencari celah untuk memegang kendali dalam pencalonan anggota legislatif--kader-kader yang "disukai" pimpinan dan memiliki privilege lah yang dapat melenggang mulus ke parlemen.
Dengan sistem tertutup, maka partai politik bakal memegang kendali penuh untuk menetapkan kader yang duduk di parlemen.
"Apakah kemunduran demokrasi, iya, di dalam konteks saat ini sangat berpotensi memundurkan demokrasi," ujar Hurriyah.
Ia juga tak sepakat dengan anggapan bahwa sistem proporsional tertutup dapat membuat pileg bebas politik uang.
Menurutnya, politik uang bakal tetap terjadi, namun hanya berpindah tempat dari kegiatan kampanye di lapangan menjadi suap kepada pimpinan partai agar ditetapkan sebagai kader yang berhak lolos pileg.
"Ini sebenarnya potret para politisi yang sebetulnya tidak paham. Cara pandangnya menunjukkan seberapa paham mereka terhadap praktik demokrasi kita hari ini," kata Hurriyah.
Sebelumnya diberitakan, wacana pileg sistem proporsional tertutup kembali dikemukakan setelah Badan Pengkajian MPR RI bertemu dengan jajaran komisioner KPU RI pada Rabu (21/9/2022).
Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak menemukan kesepahaman bahwa pileg sistem proporsional tertutup patut dipertimbangkan dengan sejumlah dalih.
"Pemilu di Indonesia itu sangat mahal, biaya dari APBN itu mungkin dari Rp 100 triliun untuk KPU dan Bawaslu. Sekarang coba kita hitung biaya yang dikeluarkan oleh kandidat, itu pasti lebih dari itu," ujar Kepala Badan Pengkajian MPR RI, Djarot Syaiful Hidayat, kepada wartawan di kantor KPU RI, Rabu (21/9/2022).
"Maka tadi bagus sekali Pak Hasyim Asy'ari (Ketua KPU RI) menyampaikan kita harus berani balik ke sistem pemilu yang proposional murni atau tertutup," imbuhnya.
Dalam khazanah kepemiluan, tingkat keterwakilan dalam sistem ini dianggap lebih baik ketimbang sistem proporsional tertutup di mana pemilih tak langsung memilih perwakilannya di legislatif.
Namun, Djarot menilai, sistem proporsional tertutup juga bakal menciptakan persaingan yang lebih adil kepada para calon anggota legislatif.
"Tidak ada lagi pertarungan antarcalon, mereka-mereka yang sekarang mengurusi partai luar biasa, berkorban luar biasa, kemudian pada saat pencalonan itu kalah sama orang baru yang membawa duit karena amplopnya lebih tebal, ini tidak fair," ujar politikus PDI-P.
"Maka kita dorong supaya kajian ini kita kembali ke sistem proposional yang murni, yang tertutup," imbuh dia.
Di sisi lain, ia juga mengungkit bahwa kerja KPU RI akan lebih efisien dengan sistem proporsional tertutup.
"Untuk mencetak kartu suara, formatnya lebih mudah bagu KPU (karena tanpa nama calon)," lanjut Djarot.
"Kami juga amat terkejut dengan sistem seperti ini, maka format suaranya KPU akan mencetak ada 2.593 model jenis berbeda-beda. Bayangkan, apa enggak pusing dengan waktu yang sangat singkat, di seluruh dapil," pungkasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/23/18520151/puskapol-ui-sistem-parpol-indonesia-belum-layak-pileg-proporsional-tertutup