Apalagi dalam perjalanannya, proyek Elang Hitam disebut sudah salah sejak awal karena mengejar kemampuan kombatan yang berdampak pada terbatasnya Indonesia mendapatkan teknologi kunci.
“Momen dibatalkannya itu pelajaran yang bisa kita petik, ternyata ‘oh iya kita memang tidak punya rencana strategis jangka panjang’,” kata Chappy saat dihubungi, Rabu (21/9/2022) siang.
Chappy menuturkan, perencanaan strategis jangka panjang seharusnya sudah tertuang sejak berjalannya proyek Elang Hitam.
Dalam pelaksanaannya, perencanaan strategis jangka panjang itu juga harus disosialisasikan kepada masyarakat sebagai pembayar pajak.
“Itu adalah kebersamaan pembangunan nasional,” kata dia.
Di sisi lain, Chappy menegaskan Indonesia tidak mungkin bisa mendapatkan teknologi secara gratis.
Baginya, transfer teknologi dalam sebuah pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) hanyalah sebatas jargon semata.
Sebab, tak ada satu negara pun yang akan mau memberikan teknoliginya secara cuma-cuma.
Untuk mengejar teknologi itu, kata Chappy, Indonesia harus menjalin kerja sama dengan negara-negara maju.
Terlebih, peluang Indonesia untuk mendapatkan teknologi dalam kerja sama tersebut sangat terbuka lebar. Hal ini tak lepas karena Indonesia mempunyai daya tawar tinggi di dunia internasional.
“Kita kalau mau bekerja sama, orang rebutan sebetulnya, karena banyak yang diperoleh dari kita,” ucap dia.
“Sementara kita kurang atau bahkan tidak menyadari bahwa kita punya daya tawar yang tinggi sekali,” ujar Chappy.
Sebelumnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memutuskan untuk menghentikan proyek drone Elang Hitam.
BRIN berdalih bahwa proyek ini tidak dihentikan, melainkan dialihkan ke versi sipil.
Ketua BRIN Laksana Tri Handoko menyatakan kesalahan sejak awal dalam proyek Elang Hitam karena ingin mengejar kemampuan kombatan.
Menurut dia, langkah tersebut membuat Elang Hitam untuk mendapatkan teknologi kunci menjadi sangat terbatas.
“Karena semua negara membatasi transfer teknologi kunci terkait hankam (pertahanan keamanan),” ujar Laksana, Senin (19/9/2022).
Dengan pengalihan ke versi sipil, Laksana mengeklaim bahwa ke depan, Elang Hitam memiliki pangsa yang lebih menjanjikan. Misalnya, peruntukan Elang Hitam untuk mengawasi lahan atau monitoring kebakaran hutan.
Selain itu, Laksana menegaskan pengalihan proyek Elang Hitam ke depan tak banyak mendapat restriksi atau pembatasan sebagaimana yang terjadi pada versi militer untuk pertahanan dan keamanan.
Adapun proyek Elang Hitam merupakan salah satu Program Strategis Nasional dari Presiden Joko Widodo pada 2016.
Proyek ini digadang-gadang ini untuk menjaga kedaulatan negara dari ancaman yang semakin kompleks.
Terdapat lintas kementerian dan lembaga yang terlibat dalam proyek ini, meliputi Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Udara, PT Dirgantara Indonesia (Persero), PT Len Industri (Persero), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Elang Hitam kali pertama diperkenalkan di PT Dirgantara Indonesia pada 30 Desember 2019.
Dikutip dari Kompas.id, Elang Hitam mempunyai kemampaun terbang pada ketinggian menengah mencapai 15.000-30.000 kaki dan mampu terbang selama 24-30 jam.
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/21/14274161/eks-ksau-proyek-drone-elang-hitam-disetop-tunjukkan-tak-ada-rencana-jangka