JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus tewasnya AM, siswa Pondok Pesantren Darussalam Gontor di Ponorogo, Jawa Timur, lantaran diduga mendapat siksaan sungguh mengecewakan.
Terlebih lagi, sejak awal pihak sekolah tidak jujur dan berupaya menutup-nutupi ihwal penyebab kematian kepada orangtuanya, dengan menyebut bahwa AM meninggal dunia karena kelelahan saat mengikuti kegiatan Perkemahan Kamis Jumat (Perkajum).
"Sangat disesalkan pihak pondok pesantren (Darussalam Gontor, Jawa Timur) tidak terbuka atas insiden yang menimpa salah satu santrinya," ungkap Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi, Selasa (6/9/2022).
Terungkapnya dugaan penyiksaan ini berawal dari kecurigaan Soimah, orangtua AM, setelah membuka peti jenazah anaknya. Pasalnya, di tubuh almarhum putranya terdapat beberapa luka yang diduga akibat penyiksaan atau penganiayaan oleh kakak kelasnya.
Tidak terima dengan penjelasan pihak pesantren, Soimah pun mengadukan persoalan ini kepada pengacara Hotman Paris yang kala itu tengah berada di Palembang. Hotman lantas mengunggah pengakuan Soimah di akun Instagram miliknya dan membuat kabar tersebut viral.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, peristiwa penganiayaan adik kelas oleh seniornya bukan hanya terjadi kali ini. Peristiwa serupa pun pernah terjadi di institusi pendidikan semi-militer yang dikelola pemerintah, seperti Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Oleh karena itu, Wapres menegaskan agar peristiwa serupa di lembaga pendidikan tidak boleh lagi terjadi.
"Tentu saja Wapres juga memberikan satu arahan agar jangan sampai terjadi kekerasan yang seperti itu lagi di lembaga pendidikan, apakah itu pesantren ataupun lembaga pendidikan berasrama yang lain," kata Wapres melalui juru bicaranya Masduki Baidlowi saat dihubungi, Selasa (6/9/2022).
Perlu regulasi
Di sisi lain, Kementerian Agama yang menjadi kementerian teknis yang menaungi pesantren turut menyesalkan peristiwa tersebut.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag Waryono Abdul Ghofur menegaskan, tindakan kekerasan di lingkungan pesantren tidak boleh terjadi apa pun alasannya.
“Kekerasan dalam bentuk apa pun dan di manapun tidak dibenarkan. Norma agama dan peraturan perundang-undangan jelas melarangnya,” terang Waryono.
Setelah peristiwa terjadi, Direktorat PD Pontren telah berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur untuk menerjunkan tim guna mengumpulkan informasi di lokasi kejadian.
Di samping itu, Kemenag juga telah menyusun regulasi guna mencegah terjadinya kekerasan di lingkungan pendidikan berbasis agama. Kini, regulasi itu tengah dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Ia pun berharap agar regulasi yang telah disiapkan dalam waktu yang cukup lama itu dapat segera selesai.
“Rancangan Peraturan Menteri Agama tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan mudah-mudahan tidak dalam waktu lama dapat segera disahkan,” terang Waryono.
Serahkan ke Kemenag
Di sisi lain, Kemenag mengapresiasi Ponpes Gontor yang telah mengakui adanya kebohongan pada saat memberikan informasi awal kepada orangtua AM, serta meminta maaf secara terbuka.
Tak hanya itu, pihak ponpes juga akan memberikan sanksi kepada para pelaku serta berkomitmen terhadap upaya penegakan hukum yang tengah berjalan.
Namun, terkait sanksi, Muhadjir menyerahkan sepenuhnya hal itu kepada Kementerian Agama yang menaungi pondok pesantren.
"(Sanksi) itu wewenang Kementerian Agama, kementerian teknis yang membawahi lembaga pendidikan pesantren," sebut Muhadjir.
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/07/07550981/kebohongan-ponpes-gontor-dalam-peristiwa-kematian-santrinya-disesalkan