Meski sudah hampir enam pekan sejak kejadian, kasus penembakan terhadap Brigadir J masih menyedot perhatian.
Tak hanya masyarakat kebanyakan, para politisi di Senayan yang semula terkesan ‘diam’ belakangan juga ikut-ikutan mempersoalkan penanganan kasus pembunuhan Brigadir J oleh Kepolisian.
Komisi III DPR RI pada Senin (22/8/2022), memanggil sejumlah institusi yang terlibat dalam penanganan kasus pembunuhan yang melibatkan sejumlah perwira tinggi Polri ini.
Mereka yang dipanggil adalah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Tak hanya itu, Rabu (24/8/2022), Komisi III DPR RI juga memanggil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan jajarannya.
Komisi Hukum DPR ini meminta penjelasan terkait penanganan kasus pembunuhan Brigadir J. Mitra Polri ini juga meminta ingin penjelasan terkait sepak terjang Irjen Ferdy Sambo dan ‘komplotannya’ yang diduga membekingi bisnis ilegal dari perjudian hingga pertambangan.
Puncak gunung es
Kasus pembunuhan Brigadir J membuka mata dan menyadarkan kita semua. Ternyata, reformasi di tubuh Polri yang digaungkan pada Reformasi 1998 belum sesuai harapan.
Pasalnya, sebagai institusi penegak hukum Kepolisian ternyata tak imun dari penyelewengan kekuasaan dan tindak kejahatan.
Keterlibatan sejumlah perwira tinggi dalam kasus pembunuhan di rumah jenderal polisi ini menunjukkan, institusi ini meski dibenahi (lagi).
Banyaknya anggota Kepolisian yang diperiksa karena diduga terlibat dalam upaya menghalang-halangi proses penyelidikan dan penyidikan kasus penembakan terhadap Brigadir J juga membuktikan sistem pengawasan di internal Kepolisian tak jalan.
Lebih miris lagi karena ‘pelaku utamanya’ adalah seorang jenderal yang saat melakukan kejahatan menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam).
Mabes Polri memang sudah menetapkan sejumlah tersangka dan menahan mereka. Tak hanya itu, Mabes Polri juga memeriksa puluhan orang yang diduga terlibat dalam upaya menghalang-halangi proses penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Brigadir J.
Hingga Jumat (19/8/2022), sudah 83 polisi yang diperiksa terkait penanganan kasus pembunuhan Brigadir J. Sebagian di antaranya sudah dilakukan penahanan.
Pembubaran Kompolnas hingga penonaktifan Kapolri
Kasus pembunuhan Brigadir J berbuntut panjang. Tak hanya puluhan polisi yang terancam kehilangan posisi dan jabatan, namun juga ancaman pembubaran Kompolnas dan penonaktifan Kapolri.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kompolnas, Komnas HAM dan LPSK Wakil Ketua Komisi III Desmond Junaidi Mahesa mempertanyakan fungsi dan peran Kompolnas.
Institusi yang dipimpin Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD ini dikritik karena terkesan ‘membela’ Ferdy Sambo. Alih-alih mengawasi, institusi ini dinilai malah menjadi juru bicara polisi.
Desakan penonaktifan Kapolri juga muncul dalam RDP. Adalah Benny K Harman yang menyuarakan.
Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat ini mendesak agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dinonaktifkan dan penanganan kasus pembunuhan Brigadir J diambil alih Menko Polhukam. Ini perlu dilakukan guna mengembalikan kepercayaan publik terhadap Kepolisian.
Reformasi Polri (lagi)
Desakan reformasi di tubuh Kepolisian kembali disuarakan. Kasus pembunuhan Brigadir J yang melibatkan sejumlah jenderal dan menyeret puluhan anggota Kepolisian harus menjadi momentum bagi Polri untuk memperbaiki dan membenahi diri. Reformasi Polri menjadi sesuatu yang mendesak untuk dilakukan.
Reformasi bisa diawali dengan merevisi UU Kepolisian, khususnya terkait mekanisme pengawasan internal di Kepolisian yang saat ini dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan.
Kewenangan Polri terkait penyelidikan, penyidikan dan penindakan juga harus ditinjau ulang. Rekrutmen anggota Kepolisian juga harus menjadi perhatian.
Selain itu, desakan agar Polri didudukkan di bawah kementerian juga kembali disuarakan. Pemerintah dan DPR perlu menimbang kembali wacana revisi UU Polri dan mendudukkan Polri di bawah kementerian seperti TNI.
Ini dilakukan agar Kepolisian tidak langsung di bawah Presiden sehingga terkesan arogan. Apalagi mereka memiliki wewenang penuh terkait perencanaan dan penggunaan anggaran.
Polri memang pernah direformasi, yakni dipisahkan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ini dilakukan agar Polri menjadi lembaga yang profesional dan mandiri, jauh dari intervensi.
Selain itu, Polri juga menjadi salah satu institusi yang mendapatkan remunerasi. Ini dilakukan dengan harapan agar institusi ini profesional dan tak lagi terlibat korupsi.
Namun, sepertinya reformasi di tubuh Kepolisian perlu kembali dilakukan. Kasus pembunuhan Brigadir J harus menjadi momentum bagi Polri untuk melakukan evaluasi dan memperbaiki diri.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi ini. Juga agar Polri menjadi institusi yang melindungi, mengayomi, dan melayani tak hanya sekadar mimpi.
Mampukah Polri membenahi diri dan melakukan reformasi? Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (24/8/2022), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.30 WIB.
https://nasional.kompas.com/read/2022/08/24/13052441/membenahi-polri