Namun sinyal-sinyal pengelompokan politik berdasarkan embrio pasangan calon presiden dan wakil presiden sudah cukup jelas terlihat.
Di saat pendaftaran minggu lalu, Gerindra dan PKB dengan gamblang memperlihatkan kemesraannya sebagai pertanda bahwa Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sedang menjajaki rencana ‘pernikahan politik’ pada kenduri elektoral 2024 nanti.
Begitu pula dengan Koalisi Indonesia Baru (KIB). Pada Rabu (10/8), koalisi KIB terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum(KPU) bersamaan, pun dengan pertunjukan politik yang senada dengan Gerindra-PKB.
Sementara pemandangan berbeda datang dari Partai Demokrat, Nasdem dan PKS, yang mendaftar pada hari yang tidak bersamaan.
Nasdem dan PKS mendaftar hari pertama, 1 Agustus 2022, pada hari yang sama dengan pendaftaran PDIP, sang partai pemenang pemilu tahun 2019 lalu.
Sementara Partai Demokrat yang dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) justru mendaftar tanggal 5 Agustus 2022.
Apakah hal tersebut pertanda yang menyimbolkan sesuatu, sebut saja misalnya bahwa Partai Demokrat masih belum menentukan kawan politik, atau hanya sekadar perbedaan hari semata, hanya AHY dan Demokrat yang benar-benar mengetahuinya. Atau boleh jadi memang sama sekali tidak bermakna apa-apa.
Karena persamaan hari pendaftaran PKS dan Nasdem dengan PDIP pun belum tentu menyimbolkan bahwa ketiga partai tersebut masih sangat terbuka untuk berjalan bersama di Pemilihan Umum 2024 nanti.
Bahkan PDIP beberapa waktu lalu pernah sesumbar menyatakan tidak akan berkoalisi dengan PKS.
Apalagi, Anies Baswedan, bakal calon presiden yang acapkali digadang-gadang sebagai bakal calon dari Partai Nasdem dan PKS, tentu akan sangat sulit dipertemukan dengan bakal calon potensial besutan PDIP, yakni Puan Maharani.
Dan yang tak terlupakan, Surya Paloh bahkan pernah menawarkan duet Anies-Ganjar Pranowo atau sebaliknya kepada Megawati Soekarnoputri, yang tentu saja membuat PDIP gerah kepada bos Partai Nasdem tersebut.
Dari pengelompokan partai-partai besar yang telah mendaftar tersebut, kita belum menemukan gerbong yang benar-benar jelas untuk mengusung Ganjar Pranowo ke pentas pencalonan presiden, jika ternyata kemudian PDIP justru memilih Puan Maharani sebagai capres resmi.
Gerindra dan PKB nampaknya sudah menggadang-gadang kandidatnya. Nasdem dam PKS pun sudah hampir final dengan Anies.
Sementara KIB dengan nama Airlangga nampaknya masih fleksibel. Tapi kendati demikian, KIB secara terbuka telah mengedepankan nama Airlangga Hartarto.
Belum benar-benar jelas tentu tak berarti benar-benar tidak ada peluang. Tetap peluang masih terbuka secara lebar untuk Ganjar Pranowo.
Hanya saja, karena kapasitasnya sebagai kader PDIP yang jarang di-endorse oleh PDIP sendiri, membuat partai-partai lain masih menahan diri untuk membawa-bawa namanya. Sebut saja, misalnya, KIB.
Dengan capaian elektabilitasnya yang masih terbilang sangat ciamik, Ganjar Pranowo masih berpeluang menjadi calon nomor satu di KIB, didampingi oleh Airlangga Hartarto, misalnya.
Perpaduan mesin partai dan elektabilitas Ganjar Pranowo di KIB tentu akan membuat koalisi tersebut menjadi lebih berotot.
Pun di kubu Nasdem dan PKS, minus Demokrat. Peluang mempertemukan aspirasi Surya Paloh masih terbuka, yakni menduetkan Anies dan Ganjar Pranowo, cukup dengan tambahan satu partai menengah lagi, untuk menutupi absensi Partai Demokrat.
Begitu pula, misalnya, jika Ganjar ternyata tak berhasil menjadi calon presiden dari PDIP, Gerindra dan PKB masih berpeluang mengusung Ganjar Pranowo, dengan konsesi-konsesi tertentu antara Ganjar dan Cak Imin misalnya, meskipun peluangnya tidak terlalu besar alias sangat tipis.
Tapi kalkulasi semacam itu hanya sekadar utak-atik persamaan politik sementara waktu, berdasarkan variabel-variabel sementara perkembangan politik nasional.
Walhasil, bayangan politik yang memantul masih belum berpihak kepada Ganjar Pranowo. Belum tampak peluang potensial jika ternyata Ganjar Pranowo tak didorong secara resmi oleh PDIP.
Tentu bukan hanya Ganjar Pranowo saja yang demikian. Anies pun sebenarnya tak jauh berbeda.
Bahkan beberapa waktu lalu, Direktur lembaga survey Cyrus Network berani bertaruh jika Anies tidak akan mampu menemukan partai yang akan mengantarkannya menjadi calon presiden 2024.
Hanya saja Anies sedikit lebih beruntung. Ada Nasdem dan PKS yang secara terang-terangan berani memperlihatkan kecenderungan dan preferensi politiknya kepada Anies.
Sementara Ganjar Pranowo masih berada dalam dilema. Partai-partai lain enggan menyebut namanya.
Bukan karena mereka tidak memiliki ketertarikan politik, tapi lebih karena enggan untuk berseteru dengan PDIP.
Sementara di sisi lain, partai PDIP di mana Ganjar Pranowo berkapasitas sebagai kadernya, juga masih berpuasa menyebutkan nama Ganjar Pranowo.
Tingginya raihan survei Ganjar Pranowo selama ini nampaknya belum menjadi prasyarat yang cukup bagi PDIP untuk secara terbuka memberikan respons positif.
Berbeda dengan Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem dan Demokrat, yang cenderung dengan mudah bisa dipahami siapa sosok yang akan mereka ajukan kepada publik.
Tapi saya kira, bukan berarti PDIP menutup pintu sama sekali kepada Ganjar, meskipun belakangan nama Ganjar Pranowo sering kurang diterima secara positif di internal partainya. Manurut saya, PDIP nampaknya masih menunggu sinyal yang lebih jelas lagi.
Toh bagaimanapun, partai manapun tentu sangat ingin menang di ajang Pilpres 2024. Dan di suasana demokrasi multi partai seperti Indonesia, untuk menang tentu membutuhkan konsesi dan negosiasi.
Dengan kata lain, boleh jadi PDIP sebenarnya sudah siap secara mental untuk mencalonkan Ganjar Pranowo, jika di waktu-waktu mendatang ternyata hasil survei Ganjar sangatlah tinggi, bahkan dominan, sebagai pertanda bagi PDIP bahwa Ganjar lebih menjanjikan kemenangan dibanding mencalonkan nama lain.
Namun terlepas dari kalkulasi peluang tersebut, untuk saat ini, ruang untuk Ganjar di dalam dinamika kepartaian politik yang ada memang masih belum terlalu terlihat.
Tapi belum terlihat tidak berarti tidak ada. Waktu masih cukup panjang, baik bagi partai-partai maupun bagi Ganjar Pranowo sendiri.
Yang jelas, hingga hari ini, nama Ganjar Pranowo masih wara-wiri di dalam posisi tiga besar bakal calon presiden 2024 versi lembaga survei arus utama.
Raihan yang menurut saya masih sulit dicapai oleh bakal-bakal calon lainnya selain Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.
Survei terbaru DTS Indonesia jelang akhir Juli 2022, menempatkan Ganjar Pranowo di posisi teratas dengan raihan 27,8 persen, diikuti Anies Baswedan sebesar 24,6 persen, Prabowo Subianto 13,2 persen dan Ridwan Kamil 13 persen.
Sementara jika disimulasikan menjadi hanya tiga nama capres, maka hasilnya tetap Ganjar Pranowo (36 persen), Anies Baswedan (32,1 persen) dan Prabowo Subianto (19,6 persen).
Di samping itu, dari hari ke hari semakin banyak saja relawan dari berbagai daerah di seluruh Indonesia yang mendeklarasikan dukungannya kepada Ganjar Pranowo, dari berbagai segmen masyarakat, mulai dari kalangan muda sampai pada kalangan emak-emak.
Hal tersebut berbarengan dengan semakin berkibarnya nama Ganjar di lini media sosial dari relawan-relawan online.
Dan terakhir yang tak kalah menarik, Jokowi dari hari ke hari mulai memperlihatkan preferensi politiknya kepada Ganjar dengan meningkatnya frekuensi acara-acara di Jawa Tengah yang mau tak mau mengandengkannya dengan Ganjar Pranowo.
Dengan kata lain, Jokowi, meskipun acapkali secara simbolik, masih serius memperlihatkan niatnya untuk berjuang menjadi kingmaker atas pencalonan Ganjar Pranowo, sebuah modalitas politik potensial yang justru tidak didapat oleh kandidat lainnya.
https://nasional.kompas.com/read/2022/08/15/06000001/ruang-politik-ganjar-pranowo-di-antara-partai-partai