Adapun Nizar mengajukan praperadilan lantaran tidak adanya tindak lanjut atas aduan dugaan penerimaan gratifikasi oleh Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa yang pernah dilaporkannya ke KPK.
Dalam laporannya, Suharso diduga menerima gratifikasi dalam bentuk pinjaman pesawat jet pribadi saat melakukan kunjungan ke Aceh dan Medan.
"Yang mengajukan permohonan sebagai pemohon adalah Nizar Dahlan bertindak sebagai kapasitasnya selaku perseorangan atau invidu, maka kedudukan legal standing pemohon yang merupakan legal standing individu pribadi tidak dapat dikualifikasikan," kata anggota Tim Biro Hukum KPK Hafiz dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Selasa (9/8/2022).
Hafiz mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 98/PUU-X/2012 pada intinya mengatur bahwa pemohon praperadilan bukan hanya saksi korban atau pelapor melainkan juga mencakup masyarakat luas.
Dalam hal ini, ujar dia, permohonan diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama untuk memperjuangkan kepentingan umum atau public interest, seperti swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat lainnya.
"Dengan demikian, permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon adalah tanpa alasan berdasarkan undang-undang karena pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan praperadilan," papar Hafiz.
"Sehingga permohonan sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima," ucap dia.
Ditemui setelah persidangan, Nizar selaku pemohon praperadilan menilai, pernyataan KPK mengenai legal standing merupakan jawaban yang mengada-ada.
Menurut dia, setiap orang memiliki kedudukan hukum yang sama untuk mendapatkan keadilan dari lembaga penegak hukum
"Kita ini masyarakat yang punya hak mencari keadilan jadi tidak tepat jika KPK mengatakan tidak punya legal standing. Saya ini masyarakat, warga negara, saya punya legal standing mengadukan apa saja kepada penegak hukum (KPK)," papar Nizar.
"Jadi, saya rasa KPK cuci tangan, mengada-ada memberikan jawaban yang tidak profesional," ucap politikus PPP itu.
Sementara itu, kuasa hukumnya Nizar, Rezekinta Sofrizal mengatakan, aduan dugaan korupsi yang disampaikan kliennya kepada komisi antirasuah itu merupakan bentuk partisipasi aktif terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ia menilai, pernyataan tim biro hukum lembaga antirasuah itu yang menyinggung legal standing sama saja membantah Undang-Undang KPK yang menyebutkan adanya peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
"Pada pokoknya permohonan kami adalah melaporkan dugaan gratifikasi yang dilakukan oleh Suharso sebagai pejabat negara. Bahwa masyarakat punya partisipasi aktif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi," ujar Rezekinta.
"KPK menyatakan bahwa pemohon tidak memiliki legal standing itu sangat tidak argumentatif karena jelas undang-undang tindak pidana korupsi itu peran serta masyarakat secara partisipasi aktif sangat dibutuhkan dan sudah terbantahkan sendiri dengan dalil KPK," ucap dia.
Adapun Nizar Dahlan mengajukan praperadilan lantaran tidak adanya tindak lanjut atas aduan dugaan penerimaan gratifikasi Suharso Monoarfa yang pernah dilaporkan KPK.
Dalam laporan Nizar, Suharso diduga menerima gratifikasi dalam bentuk pinjaman pesawat jet pribadi saat melakukan kunjungan ke Aceh dan Medan.
Dalam petitum yang termuat dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan, Nizar meminta hakim tunggal praperadilan PN Jakarta Selatan mengabulkan seluruh permohonannya.
Nizar meminta KPK menerbitkan surat perintah penyidikan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi menerima gratifikasi yang dilakukan Suharso Monoarfa sebagai tersangka sebagaimana diatur Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam petitum itu, KPK juga diminta segera menetapkan Suharso Monoarfa sebagai tersangka dugaan gratifikasi.
Hakim PN Jakarta Selatan juga diminta menghukum KPK sebagai termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
“Atau apabila Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono),” tulis petitum tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2022/08/09/17534071/jawab-gugatan-pelapor-suharso-monoarfa-kpk-singgung-legal-standing