Salin Artikel

Mereka yang Pernah Terseret Jerat Hukum Pasal Pencemaran Nama Baik hingga Ujaran Kebencian UU ITE

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketentuan mengenai pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dipertahankan.

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menolak uji materi ketentuan yang dimuat Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE tersebut.

Pasal 27 Ayat (3) mengatur perbuatan yang dilarang yaitu, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".

Sementara, Pasal 28 Ayat (2) mengatur larangan "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)".

Majelis Hakim MK tak sejalan dengan para pemohon uji materi yang menilai bahwa dua ketentuan tersebut merupakan "pasal karet" atau berpotensi multitafsir.

Menurut Mahkamah, Pasal tentang penghinaan dan pencemaran nama baik di UU ITE justru bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan individu dengan kebebasan orang lain untuk berbicara.

"Rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan individu, keluarga, kehormatan, dan martabat, dengan kebebasan orang lain untuk berbicara, berekspresi, mengemukakan pendapat dan pikiran serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dalam suatu masyarakat demokratis," demikian pertimbangan Majelis Hakim MK yang dibacakan dalam persidangan, Rabu (20/7/2022).

Mahkamah juga tak sependapat dengan para pemohon yang menilai bahwa Pasal 28 Ayat (2) UU ITE menimbulkan kesewenang-wenangan.

MK berpendapat, jika seseorang menyebarkan informasi dengan maksud menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan SARA, maka itu bertentangan dengan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

Ujaran kebencian berdasar SARA juga dianggap bertentangan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum

"Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU 11/2008 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh pemohon justru bersesuaian dengan perlindungan, termasuk perlindungan kehormatan segenap bangsa Indonesia," bunyi pertimbangan MK.

Bukan sekali dua kali saja pasal tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di UU ITE dipersoalkan. Uji materi pasal tersebut sebelumnya juga pernah dilayangkan ke MK dan hasilnya nihil.

Ketentuan itu pun sudah berulang kali memakan korban. Sejumlah warga sipil, akademisi, hingga politisi terpaksa mencicipi jeruji besi karena terjerat pasal ini.

Merujuk situs Semua Bisa Kena yang dikelola oleh SAFENet hingga Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE), jumlah kasus ITE cenderung meningkat tiap tahunnya.

Tahun 2016 tercatat ada 16 kasus ITE. Jumlah itu meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi 48 kasus di 2017.

Di tahun 2018 jumlah kasus UU ITE juga berlipat ganda menjadi 96 kasus. Lalu, tahun 2019, angkanya naik jadi 170 kasus.

Pada tahun 2020, jumlah kasus ITE mencapai 217. Sementara, di kuartal I tahun 2021 saja, kasus ITE mencapai 108 kasus.

Berikut deretan kasus UU ITE di Indonesia yang pernah menyita perhatian publik.

1. Prita Mulyasari
Jerat hukum UU ITE sempat menggegerkan publik di tahun 2008 karena kasus yang menimpa ibu rumah tangga asal Tangerang, Prita Mulyasari.

Ini bermula dari Prita yang memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang. Tak puas dengan pelayanan rumah sakit, Prita menuliskan keluhannya lewat milis.

Tulisan Prita ini pun tersebar hingga akhirnya RS Omni menggugat dia. Prita didakwa melanggar Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang sedianya memutuskan Prita tak bersalah. Namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA) sehingga Prita diputus bersalah pada 2011.

Atas vonis itu, Prita mengajukan Peninjauan Kembali (PK) yang ternyata dikabulkan MA. Prita pun resmi bebas dari jerat pidana akibat UU ITE

2. Buni Yani
Buni Yani terjerat kasus ujaran kebencian UU ITE karena mengedit isi video pidato mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Dia mengunggah potongan video Ahok ketika berpidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 ke akun Facebook miliknya.

Pada November 2017, Buni Yani divonis 1,5 tahun penjara setelah dinyatakan terbukti melanggar Pasal 32 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE.

Dia sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung dan kasasi ke MA, tetapi tak dikabulkan.

Baru 11 bulan menjalani masa tahanan, Buni Yani bebas pada 2 Januari 2020 lewat program cuti bersyarat.

3. Ahmad Dhani
Musisi sekaligus Politisi Partai Gerindra Ahmad Dhani juga pernah terjerat kasus ujaran kebencian karena kicauannya di akun Twitter pribadi pada Maret 2017.

Setidaknya terdapat tiga cuitan di akun @AHMADDHANIPRAST yang lantas diperkarakan hingga membuat pentolan grup musik Dewa 19 ini harus berurusan dengan hukum.

Kicauan Ahmad Dhani kala itu dilaporkan oleh pendiri BTP Network, Jack Boyd Lapian. BTP Network merupakan kelompok pendukung Ahok-Djarot saat Pilkada DKI Jakarta 2017.

Akhirnya, Dhani dijatuhi vonis 1,5 tahun penjara lantaran terbukti melanggar Pasal 45A Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) UU ITE juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.

Kendati begitu, Dhani menjalani masa tahanan tak sampai 1 tahun karena potongan remisi, terhitung sejak 28 Januari 2019 dan bebas pada 30 Desember 2019.

4. I Gede Ari Astina alias Jerinx
Belum lama ini, I Gede Ari Astina alias Jerinx terjerat kasus pencemaran nama baik karena postingan 'IDI kacung WHO' di akun Instagram pribadinya pada 13 Juni 2020.

Kala itu Jerinx mengungkap keresahannya akan rapid test Covid-19 dijadikan syarat untuk pasien sebelum mendapat pelayanan di rumah sakit.

Drummer grup musik rock Superman Is Dead (SID) itu pun dilaporkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ke kepolisian.

Setelah melalui serangkaian persidangan, pada 19 September 2020 Jerinx divonis 1 tahun 2 bulan dan denda Rp 10 juta.

Dia dinilai terbukti melakukan ujaran kebencian dan melanggar Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45 UU ITE.

Jerinx pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar atas vonisnya. Banding itu dikabulkan sehingga hukumannya berkurang menjadi 10 bulan penjara.

Setelah menjalani masa tahanan, Jerinx akhirnya menghirup udara bebas pada 8 Juni 2021.

Namun, tak lama, Jerinx kembali tejerat kasus UU ITE. Ia divonis bersalah karena melakukan pengancaman melalui media sosial terhadap pegiat medsos Adam Deni.

Jerinx dijerat Pasal 27 Ayat (4) juncto Pasal 45 Ayat (4) atau Pasal 29 juncto Pasal 45B UU ITE dengan hukuman penjara 1 tahun.

5. Saiful Mahdi
Seorang dosen dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) bernama Saiful Mahdi juga menjadi korban UU ITE setelah mengkritik hasil tes CPNS untuk Dosen Fakultas Teknik di Unsyiah.

Saiful mengkritik hasil tes CPNS tersebut lantaran dirinya mengetahui adanya berkas peserta yang diduga tak sesuai persyaratan, namun tetap diloloskan oleh pihak kampus.

Kritik disampaikan oleh Saiful pada Maret 2019 melalui grup WhatsApp.

Pihak kampus tak terima atas kritik Saiful. Kasus ini akhirnya dibawa ke kepolisian hingga Saiful ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik dan dianggap melanggar Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.

Pada 4 April 2020, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menetapkan Saiful Mahdi bersalah dengan vonis 3 bulan penjara dan denda sebesar Rp 10 juta.

Atas vonis tersebut, Saiful mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh tetapi ditolak. Permohonan kasasinya di MA juga tak dikabulkan.

Kasus ini pun menuai kritik dari banyak pihak. Pada September 2021, sebanyak 38 akademisi dari Australia bahkan mengirimkan surat permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo untuk Saiful Mahdi.

Rupanya, permohonan itu bersambut. Pada 29 September 2021, Jokowi memberikan amnesti untuk Saiful. Dia pun bebas dari jerat hukum.

6. Baiq Nuril
Masih lekat dalam ingatan kasus hukum yang menjerat guru honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) bernama Baiq Nuril.

Nuril tersandung kasus UU ITE, khususnya pasal tentang kesusilaan yang termaktub dalam Pasal 27 Ayat (1).

Ini bermula dari Nuril yang menerima telepon dari Kepala Sekolah SMA N 7 Mataram bernama Muslim. Lewat telepon tersebut, Muslim menceritakan pengalaman seksualnya ke Nuril.

Merasa itu sebagai pelecehan, Nuril merekamnya. Namun, rekaman percakapan tersebut akhirnya tersebar.

Pihak Muslim tak terima hingga melaporkannya ke polisi. Ujungnya, Nuril ditetapkan jadi tersangka pada 2016 dan ditahan di 2017.

Di Pengadilan Negeri Mataram, Nuril dinyatakan tidak bersalah. Sementara, Mahkamah Agung menyatakan sebaliknya.

Sementara, tingkat kasasi, peninjauan kembali (PK) yang diajukan Nuril pun ditolak. Dia harus menjalani hukuman 6 bulan subsider Rp 500 juta.

Kasus ini menuai kritik dan sorotan tajam. Akhirnya, Juli 2019, Presiden Jokowi memberikan amnesti untuk Nuril. Dia pun bebas dari jerat hukum.

https://nasional.kompas.com/read/2022/07/22/13595771/mereka-yang-pernah-terseret-jerat-hukum-pasal-pencemaran-nama-baik-hingga

Terkini Lainnya

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

Nasional
Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Nasional
KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

Nasional
Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Nasional
DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

Nasional
Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasional
Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Nasional
Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa 'Abuse of Power'

PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa "Abuse of Power"

Nasional
PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke