Peneliti PUKAT UGM Zaenur Rohman mengatakan, di antara masukan itu terkait Firli Bahuri yang saat menjadi Deputi Penindakan KPK melakukan pelanggaran berat.
Firli kemudian melenggang jadi Ketua KPK.
"Masukan-masukan tersebut banyak yang tidak diperhatikan oleh Pansel," kata Zaenur saat dihubungi Kompas.com, Selasa (12/7/2022).
"Firli Bahuri ini punya catatan ketika menjadi Deputi Penindakan di KPK gitu ya, juga catatan-catatan lain tapi catatan tersebut tidak diindahkan oleh Pansel," sambungnya.
Zaenur menyebut Pansel calon pimpinan KPK pada seleksi 2019 sejak awal juga kerap dikritik.
Mereka dinilai terkesan memberi kuota kursi pimpinan bagi peserta berlatar penegak hukum baik dari kejaksaan maupun kepolisian.
Selain itu, Zaenur juga menduga pengumpulan data jejak rekam calon pimpinan KPK saat itu mengalami masalah. Namun, di luar hal itu menurutnya sangat mungkin terjadi pimpinan KPK melakukan pelanggaran saat mereka menjabat.
"Tetapi kemudian selama menjabat kemudian ada perilaku tindakan dari pimpinan KPK terpilih itu yang menyimpang, melanggar etik bahkan melanggar pidana," ujar Zaenur.
Zaenur menyarankan dalam pemilihan calon pimpinan KPK periode berikutnya, Pansel harus menjadikan integritas calon sebagai parameter utama.
Pengalaman seorang calon, menurutnya, menjadi pertimbangan berikutnya. Tanpa integritas kemampuan pimpinan KPK akan menjadi berbahaya karena disalahgunakan.
"Kalau soal seorang calon pimpinan KPK tidak berintegritas maka kompetensi yang baik, pengalaman yang baik itu akan menjadi berbahaya ketika digunakan kewenangannya ketika menjabat sebagai pimpinan KPK," ujar Zaenur.
Sebagaimana diketahui, Lili terpilih sebagai lima pimpinan KPK pada seleksi tahun 2019. Ia berada di ranking ke lima setelah Firli Bahuri, Alexander Mawarta, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pamolango.
Lili seharusnya masih bisa menjabat hingga 2023 mendatang. Namun, mantan Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu mengundurkan diri sebelum sidang dugaan pelanggaran etik terhadap dirinya digelar.
Lili diduga menerima gratifikasi berupa fasilitas mewah menonton MotoGP Mandalika dan tempat menginap di salah satu resort dengan nilai total sekitar Rp 90 juta.
Sebelum tersandung perkara ini, Lili juga dinyatakan terbukti melanggar etik karena menjalin komunikasi dengan pihak yang sedang berperkara dengan KPK.
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/13/10271901/kinerja-pansel-capim-kpk-saat-loloskan-lili-pintauli-diungkit