Ia menyampaikan, tim perumus RKUHP memandang presiden adalah jabatan yang harus dilindungi martabatnya.
“Memang benar dalam undang-undang secara formil simbol negara itu Garuda Pancasila,” tutur Albert dalam program YouTube Gaspol Kompas.com, Selasa (5/7/2022).
“Tapi maksud tim perumus, simbol itu dalam konteks presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, sebagai kepala diplomat, sebagai kepala tentara atau militer,” papar dia.
Maka, lanjut Albert, empat hal itu yang membuat jabatan presiden berbeda dengan warga biasa.
Albert menuturkan, presiden dipandang sebagai the first among equal atau pihak pertama di antara pihak lain yang sederajat.
“Jadi memang tujuan dari dilindunginya harkat martabat presiden karena presiden itu sendiri sebagai orang yang secara demokratis sudah terpilih,” katanya.
Ia mencontohkan dalam KUHP yang berlaku saat ini pun ada perlakuan khusus untuk presiden.
“Dalam Pasal 217 KUHP ada bentuk khusus dari penganiayaan berupa penyerahan diri pada presiden yang membedakan dengan tindak pidana biasa,” ungkap Aries.
Lalu ada delik yang mengatur tentang penyerangan harkat dan martabat kepala negara tetangga.
“Kemudian ada juga bentuk khusus percobaan pembunuhan (pada presiden) yang kita sebut makar,” jelasnya.
Tiga hal yang diatur dalam KUHP itu disebut Albert telah menyiratkan bahwa perlakuan negara untuk presiden dan warga negara biasa berbeda.
Diketahui dalam draft RKUHP tahun 2019 aturan tentang penghinaan presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 218.
Pasal itu menyebutkan tiap orang yang menyerang harkat dan martabat presiden atau wakil presiden terancam pidana penjara 3 tahun dan 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Namun pidana tak akan diberikan jika penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/05/20542851/alasan-pemerintah-pertahankan-pasal-penghinaan-presiden-dalam-rkuhp