JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan Mahkamah Persekutuan Malaysia yang membebaskan Ambika MA Shan yang merupakan terdakwa penyiksaan terhadap mendiang tenaga kerja perempuan Indonesia, Adelina Lisao, dinilai bisa berdampak terhadap keamanan para pekerja migran Indonesia lain di Negeri Jiran.
Menurut Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah, putusan bebas terhadap Ambika dinilai sangat berdampak luas.
Anis menganggap hal itu bisa dianggap sebagai pertanda para majikan yang zalim terhadap para pekerja migran Indonesia tetap bisa lolos dari jerat hukum.
Selain itu, putusan tersebut dinilai menjadi wujud buruknya sistem peradilan di Malaysia dalam menyidangkan perkara yang membelit para pekerja migran Indonesia.
"Nantinya majikan akan semena-mena, sewenang-wenang melakukan penyiksaan karena sistem peradilan mereka juga berpihak pada warganya, bukan berpihak kepada korban yang mengalami ketidakadilan," kata Anis saat dihubungi Kompas.com, Senin (27/6/2022).
Anis mengatakan, dia sangat menyesalkan keputusan Mahkamah Persekutuan Malaysia yang membebaskan secara murni majikan mendiang Adelina Lisao itu.
Sebab, lanjut Anis, Adelina merupakan korban perdagangan manusia dan dianiaya oleh majikannya saat bekerja.
"Menyayangkan, kecewa, marah kepada pengadilan Malaysia," ujar Anis.
Anis juga berharap pemerintah Indonesia melakukan protes keras terhadap putusan itu.
"Karena ini tidak hanya tidak adil bagi Adelina, tetapi juga bagi pekerja migran perempuan indonesia di Malaysia yang mereka juga sangat banyak menjadi korban penyiksaan," ucap Anis.
Hakim Mahkamah Persekutuan Malaysia memutuskan pada 24 Juni 2022 untuk menolak banding yang diajukan jaksa atas putusan Pengadilan Tinggi pada April 2019 yang dikuatkan Mahkamah Banding Malaysia pada September 2020 terkait pembebasan Ambika, terdakwa dalam kasus tersebut.
Secara terpisah, Direktur Perlindungan WNI (PWNI) Kemlu RI Judha Nugraha mengatakan, penuntutan dalam kasus tersebut dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), sesuai dengan hukum yang berlaku di Malaysia.
KBRI Kuala Lumpur dan Konsulat Jenderal RI di Penang juga telah menunjuk pengacara (retainer lawyer) untuk memantau proses persidangan.
Judha mengatakan bahwa dari hasil pengamatan persidangan, terlihat JPU tidak cermat dan tak serius dalam menangani kasus Adelina.
“Berbagai upaya telah dilakukan sejak awal oleh Pemerintah RI untuk memberikan keadilan bagi Adelina dan keluarganya. Di Indonesia, berkat kerja sama dengan Kepolisian dan Pemerintah Daerah NTT, tiga orang perekrut mendiang Adelina telah ditangkap,” kata Judha melalui pesan singkat pada Sabtu (25/6/2022) lalu.
Dengan keluarnya putusan tersebut, perjuangan mendapatkan keadilan bagi Adelina Lisao melalui jalur hukum telah berakhir.
Meski demikian, kata Judha, pemerintah akan tetap menempuh jalur lain, yakni jalur perdata.
Dia mengatakan bahwa tuntutan perdata harus diajukan oleh ahli waris Adelina. Namun, pemerintah akan mengawal prosesnya, jika tuntutan diajukan melalui KBRI Kuala Lumpur dan KJRI Penang, termasuk menyediakan jasa pengacara.
Adapun Adelina Lisao yang bekerja sebagai asisten rumah tangga meninggal pada 2018 setelah mengalami penyiksaan yang diduga dilakukan oleh majikannya, Ambika.
Adelina ditemukan oleh tetangga majikannya yang mendengar suara rintihan dari rumah Ambika.
Saat ditemukan, kondisi Adelina sudah sangat payah dan mengalami luka di sekujur tubuhnya.
Adelina bahkan dibiarkan tidur di teras rumah bersama anjing majikannya. Kepolisian Malaysia langsung menangkap Ambika setelah mendapat laporan dari sang tetangga.
Akibat kondisinya yang memburuk, Adelina meninggal pada 11 Februari 2018 akibat kegagalan organ komplikasi lain. Jasadnya kemudian diterbangkan dan dimakamkan di kampung halamannya di di Abi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
(Editor : Icha Rastika)
https://nasional.kompas.com/read/2022/06/28/08090081/majikan-adelina-bebas-sistem-peradilan-malaysia-dinilai-tak-memihak-korban