Salin Artikel

Reshuffle Kabinet 15 Juni 2022: Saturasi Demokrasi Indonesia Makin Turun

PRESIDEN Joko Widodo merombak lagi kabinetnya, Rabu (15/6/2022). Pergantian personel kabinet ini menempatkan posisi demokrasi di Indonesia pada posisi saturasi yang makin turun. Demokrasi sesak napas.

Dengan Zulkifli Hasan yang notabene adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi Menteri Perdagangan, tinggal dua partai politik di parlemen yang tidak masuk kabinet, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.

"Secara demokrasi, ini sama sekali tidak ideal," kata Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam, lewat perbincangan telepon, Rabu (15/6/2022).

Bagaimanapun, ujar Arif, demokrasi butuh kontrol. Partai politik di luar pemerintahan punya peran dan fungsi sebagai pengontrol itu.

Dengan hanya dua dari 14 partai politik pemilik kursi di DPR yang tidak masuk kabinet, Arif melihat kekuatan kontrol atas kebijakan yang punya potensi merugikan publik pun saat ini lemah.

"Tinggal kepada kekuatan masyarakat sipil kita bisa berharap untuk bisa menyuarakan aspirasi dan mengkritik kebijakan pemerintah yang berpotensi merugikan publik," imbuh Arif. 

Itu pun, Arif tidak menampik bahwa banyak tokoh yang sebelumnya dikenal ada di barisan civil society yang merapat ke pemerintahan selama rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

"Ada penurunan kekuatan sipil dalam melakukan koreksi. Tapi saya masih optimistis karena masih ada organisasi seperti NU dan Muhammadiyah yang akan tetap menjalankan fungsi kontrol itu," ungkap Arif. 

Satu menteri baru lagi adalah Hadi Tjahjanto. Mantan Panglima TNI ini menggantikan Sofjan Djalil di posisi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Arif melihat, postur baru kabinet ini lagi-lagi masih sekadar akomodasi politik meski berdalih demi peningkatan kinerja. 

Adapun pendiri dan direktur Institute Riset Indonesia (Insis) Dian Permata lebih tegas menyebut bahwa formasi baru kabinet ini masihlah kabinet bagi-bagi. 

"Reshuffle ini merupakan upaya konsolidasi Jokowi menjelang akhir masa jabatan, sekaligus menegaskan bahwa balance of power di masa Jokowi memang tidak terjaga," ungkap Dian dalam percakapan melalui telepon, Rabu malam.

Pada saat yang sama, kata Dian, partai politik yang ada di Indonesia saat ini ternyata tak punya cukup daya tahan untuk berada di luar pemerintahan alias menjadi oposisi. 

Demokrasi pada hari ini, menurut Dian hanya sedikit tertolong oleh mulai redanya pandemi Covid-19. 

"Mengapa? Karena insentif dalam rupa aneka bantuan selama pandemi itu juga berdampak buruk pada kualitas demokrasi dalam kaca mata praktik populisme," kata Dian.

Bagi Dian, perombakan kabinet pada 15 Juni 2022 hanya sarana tebar harapan bagi lebih banyak partai politik dan elite-nya. Tujuannya, sebut dia, adalah menyiapkan legacy Jokowi. 

"Legacy-nya, tidak diutak-atik setelah lengser oleh partai-partai yang mendapat jatah kursi kabinet. Kue dibagi ke sebanyak-banyaknya orang, untuk feedback juga sesudah selesai menjabat, yang bentuknya bisa macam-macam," urai Dian.

Bentuk umpan balik pada masa depan itu, sebut Dian, bisa menjangkau pula dalam rupa tiket politik bagi anak-anak Jokowi dan keluarganya. 

"Sah-sah saja secara politik. Jangan bicara sisi etik. Namun, yang pasti saturasi demokrasi semakin turun, makin terasa menyesakkan," tegas Dian. 

Meski demikian, Dian berpendapat kondisi ini pun bisa menjadi serangan balik bagi Jokowi dan para pendukungnya. Reshuffle ini bisa berbalik dikapitalisasi oleh kubu di luar koalisi pemerintah.

Masyarakat sipil pun seharusnya bisa menggunakan momentum ini sebagai uji diri. Sepanjang era kekuasaan Jokowi, kata Dian, terlalu banyak personel masyarakat sipil yang terbujuk masuk ke pemerintahan. 

"Bahkan ketika ada wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan Jokowi, tidak banyak civil society yang angkat suara. Sekarang adalah titik nadir civil society," kecam Dian.

Bukan kabar baik bagi demokrasi

Sekjen Transparansi Internasional Indonesia (TII), Danang Widoyoko, spontan menyebut bahwa formasi reshuffle kabinet pada 15 Juni 2022 ini bukanlah kabar baik bagi demokrasi. 

"Bukan berita baik. Jokowi ternyata masih butuh dukungan politik yang besar, tidak cukup yang kemarin-kemarin," ucap Danang, Rabu petang. 

Menurut Danang, Jokowi ternyata masih butuh dukungan untuk mengeksekusi program-program kerjanya dalam masa bakti yang tinggal kurang dari dua tahun.

Namun, formasi baru kabinet praktis mempertontonkan semua eksekusi program itu bakal tanpa pengawasan formal di parlemen dan pemerintahan.

Danang juga melihat bahwa akuntabilitas pemerintahan Jokowi secara horizontal di antara lembaga-lembaga negara sudah jelas merosot. 

"Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) jadi ipar presiden. KPK ada di bawah presiden. Jelas, akuntabilitas horizontal telah diperlemah," tegas Danang.

Setali tiga uang, akuntabilitas vertikal juga susut. Polarisasi sebagai imbas kontestasi politik telah menggerogoti akuntabilitas vertikal antara pemerintah dan warga negaranya ini.

"(Sudah begitu), pendekatannya otoriter. Pengawasan masyarakat tidak bekerja dengan baik. Media massa juga melemah karena tantangan teknologi dan bisnis, belum menemukan model bisnis baru di tengah kemajuan teknologi," tutur Danang.

Dengan akuntabilitas horizontal dan vertikal yang melemah, Danang berpendapat tidak hanya kualitas demokrasi yang terancam makin turun. 

"Korupsi juga patut diduga bakal makin meningkat, makin berani. (Sebaliknya), pemberantasan korupsi juga malah bisa menjadi instrumen pemerintah untuk mengendalikan oposisi dan atau pemerintah daerah yang tidak sejalan dengan pemerintah," ungkap Danang.

Lebih jauh lagi, Danang khawatir peta politik terkini akan semakin memuluskan kolusi di lingkaran elite. 

Alam demokrasi yang sedang tidak cerah ini bagaimanapun menurut Danang harus bisa dilihat juga sebagai momentum baik bagi masyarakat sipil untuk berbenah dan berkontribusi bagi negeri.

Problem klasik masyarakat sipil sampai asat ini masih berputar pada fragmentasi dan keterbatasan ruang lingkup sumber daya. Selain itu, masyarakat sipil yang cenderung punya kekuatan di sisi pengetahuan teknis juga kerap tidak terkoneksi dengan basis massa. 

Namun, tutur Danang, terlepas dari banyak masalah klasik ini, dinamika politik tetaplah peluang untuk bisa digunakan masyarakat sipil mendorong perubahan menuju ke perbaikan.

Garansi candi terakhir Jokowi

Lebih jauh, Danang melihat ada kemungkinan Jokowi berhadapan dengan problem internal yang lalu dicarikan pereda dengan menambah sokongan dari luar. 

"Sampai merangkul PAN bahkan PBB yang tak punya kursi di parlemen, tampaknya ada kekhawatiran (di Jokowi). Koalisi makin sulit dikendalikan," ujar Danang.

Partai Bulan Bintang (PBB) yang tak punya kursi di parlemen mendapat akomodasi politik besar dari Jokowi dengan penempatan Sekjen PBB Afriansyah Noor sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan. 

Menggunakan terminologi ekonomi, perluasan koalisi ini dalam bacaan Danang adalah cara Jokowi untuk mengurangi dominasi pemegang saham lama.

"(Dengan tambahan komponen koalisi) jadi ada delusi (dari pemegang saham lama). Bisa jadi ada problem internal partai penguasa yang lalu melebar juga. Dengan koalisi makin besar, Jokowi makin punya alasan bahwa ada (anggota) koalisi lain yang harus diperhatikan juga (kepentingannya)," papar Danang. 

Senada dengan pendapat-pendapat sebelumnya, Danang pun mengamini reshuffle ini tidak berkaitan dengan upaya perbaikan kinerja kabinet. Sosok-sosok baru di kabinet menurut dia tidak punya kompetensi yang memadai untuk posisinya, bahkan tidak lebih baik dari yang diganti. 

"Semoga memang ada persoalan lain yang belum diungkap Jokowi. Tap sejauh ini, dasar sesusungguhnya dari reshuffle kali ini masih tanda tanya," ujar Danang. 

Bahkan penggeseran Sofyan Djalil pun terlihat semata mengurangi alokasi faksi Jusuf Kalla di Partai Golkar di pemerintahan. Yang itu pun, kata Danang, Jusuf Kalla tak lagi sekuat dulu pengaruhnya di parlemen.

"Menurut saya, ini indikasi koalisi tidak solid, dengan soliditas itu diperlukan untuk penyelesaian program berat termasuk Ibu Kota Nusantara yang (Jokowi) mungkin tidak yakin akan diteruskan juga oleh penerusnya," tutur Danang.

Dengan pemikiran itu, program-program kerja Jokowi akan dikebut dalam waktu kurang dari dua tahun sisa masa jabatannya sekarang. 

"Ekonomi pasti akan terdampak. Program-program ini akan mengorbankan alokasi lain. Untuk candi terakhir Jokowi, ibaratnya," kata Danang.

Pada saat yang sama, kekhawatiran soal tidak akan diteruskannya program-program berat yang telah dicanangkan dan dimulai oleh Jokowi di periode pemerintahan berikutnya tak terlepas dari fakta belum ada juga kandidat kontestan Pemilu 2024 yang menonjol. 

"Semua kandidat yang sudah muncul namanya baru di kisaran (dukungan) 20-an persen. Belum ada yang dominan," sebut Danang. 

Dalam situasi pencalonan yang masih serba cair ini, lanjut Danang, siapa pun butuh isu populis untuk menggaet dukungan. Di sinilah, kata dia, geliat masyarakat sipil harus maksimal, terutama terkait isu hak asasi manusia, korupsi, dan hak rakyat. 

Terlebih lagi, imbuh Danang, calon-calon yang namanya sudah muncul ke permukaan pun pada akhirnya mau tidak mau harus menggandeng masyarakat sipil untuk mendongkrak popularitas yang masih jauh dari sinyal terang menuju optimisme kemenangan.

"Jadi, reshuffle ini sekali lagi hanya bagi-bagi kursi, garansi bagi Jokowi sampai 2024. Tidak ada garansi siapa pun setelah 2024," tegas Danang. 

Reshuffle pada 15 Juni 2022 sama sekali tidak mengubah struktur politik yang mampat, tidak pula mengubah situasi terkait persoalan-persoalan mendasar bangsa dan negara. 

"Bahkan, ini seperti akomodasi lebih besar ke Muhammadiyah (terkait garansi politik praktis). Selepas 2024 tetap tidak pasti," ujar Danang.

Pada hari-hari ini, ajak Danang, masyarakat sipil dan media massa harus bangkit lebih bersemangat lagi untuk mengkritisi persoalan-persoalan penting dan mendasar bangsa dan negara. 

Menurut Danang, siapa pun kontestan politik untuk Pemilu 2024 juga tak bisa mengabaikan masyarakat sipil dan media massa. Mereka tak akan mampu menuju kemenangan semata mengandalkan basis tradisional. Bahkan, media sosial pun tak akan cukup karena sudah terlalu hiruk pikuk. 

"Di dalam situasi seperti ini, gagasan segar dari masyarakat sipil dan media massa benar-benar dibutuhkan," tegas Danang. 

Dari reshuffle yang patut diduga adalah strategi yang menjadi garansi Jokowi menuju purna bhakti, selalu ada pekerjaan rumah bangsa yang lebih besar dan mendasar bagi kita semua. Memastikan demokrasi tak mati sesak napas karena drop saturasi, barulah salah satunya.

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/16/11561881/reshuffle-kabinet-15-juni-2022-saturasi-demokrasi-indonesia-makin-turun

Terkini Lainnya

Pendukung Prabowo-Gibran Bakal Gelar Aksi di Depan MK, Hasto: Percayakan Hakim, Jangan Ditekan-tekan

Pendukung Prabowo-Gibran Bakal Gelar Aksi di Depan MK, Hasto: Percayakan Hakim, Jangan Ditekan-tekan

Nasional
Pemerintah Akan Bentuk Satgas untuk Atasi Pornografi Anak 'Online'

Pemerintah Akan Bentuk Satgas untuk Atasi Pornografi Anak "Online"

Nasional
Ketum Projo Nilai 'Amicus Curiae' Tak Akan Pengaruhi Putusan Sengketa Pilpres di MK

Ketum Projo Nilai "Amicus Curiae" Tak Akan Pengaruhi Putusan Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Pakar Hukum Tata Negara Sebut Amicus Curiae Bukan Alat Bukti, tapi Bisa jadi Pertimbangan Hakim

Pakar Hukum Tata Negara Sebut Amicus Curiae Bukan Alat Bukti, tapi Bisa jadi Pertimbangan Hakim

Nasional
Operasi Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh, Tersangka Terima Upah Rp 10 Juta per Kilogram

Operasi Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh, Tersangka Terima Upah Rp 10 Juta per Kilogram

Nasional
Ramai Unjuk Rasa jelang Putusan MK, Menko Polhukam: Hak Demokrasi

Ramai Unjuk Rasa jelang Putusan MK, Menko Polhukam: Hak Demokrasi

Nasional
Dampingi Jokowi Temui Tony Blair, Menpan-RB: Transformasi Digital RI Diapresiasi Global

Dampingi Jokowi Temui Tony Blair, Menpan-RB: Transformasi Digital RI Diapresiasi Global

Nasional
Sekjen Gerindra Ungkap Syarat Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Sekjen Gerindra Ungkap Syarat Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Pelaku Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh Sudah Beraksi Lebih dari Satu Kali

Pelaku Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh Sudah Beraksi Lebih dari Satu Kali

Nasional
Menkominfo Ungkap Perputaran Uang Judi 'Online' di Indonesia Capai Rp 327 Triliun

Menkominfo Ungkap Perputaran Uang Judi "Online" di Indonesia Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Bareskrim Usut Dugaan Kekerasan oleh Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal

Bareskrim Usut Dugaan Kekerasan oleh Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal

Nasional
Pengacara Korban Kaji Opsi Laporkan Ketua KPU ke Polisi Imbas Diduga Goda Anggota PPLN

Pengacara Korban Kaji Opsi Laporkan Ketua KPU ke Polisi Imbas Diduga Goda Anggota PPLN

Nasional
Sindir Kubu Prabowo, Pakar: Amicus Curiae Bukan Kuat-Kuatan Massa

Sindir Kubu Prabowo, Pakar: Amicus Curiae Bukan Kuat-Kuatan Massa

Nasional
OJK Sudah Perintahkan Bank Blokir 5.000 Rekening Terkait Judi 'Online'

OJK Sudah Perintahkan Bank Blokir 5.000 Rekening Terkait Judi "Online"

Nasional
Bareskrim Ungkap Peran 7 Tersangka Penyelundupan Narkoba di Kabin Pesawat

Bareskrim Ungkap Peran 7 Tersangka Penyelundupan Narkoba di Kabin Pesawat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke