JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia bersiap menyambut gelaran pemilihan umum (Pemilu) 2024. Meski hari pemungutan suara baru akan digelar 14 Februari 2024, namun, tahapan pemilu dimulai pertengahan Juni tahun ini.
Selain pemilu presiden, pada hari yang sama akan digelar pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Partai-partai politik pun mulai berancang menyiapkan gelaran pesta demokrasi. Belakangan, para elite parpol rajin menjajaki partai-partai lain, menimbang peluang dan keuntungan berkoalisi.
Beberapa elite yang terlihat gencar menggelar pertemuan dengan tokoh politik lain misalnya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, hingga Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Tak hanya itu, beberapa partai lainnya malah sudah menyatakan membentuk koalisi untuk Pilpres 2024.
Mereka yakni Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketiganya membangun kongsi yang dinamakan Koalisi Indonesia Bersatu.
Lantas, apa yang sebenarnya dimaksud dengan koalisi? Mengapa partai harus berkoalisi di pilpres?
Mengenal koalisi dalam politik
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), koalisi adalah kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara dalam parlemen.
Sementara, menurut peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti, koalisi merupakan partai atau gabungan partai yang dibentuk dalam periode tertentu untuk tujuan politik bersama.
Di pemilu presiden, partai-partai politik berkoalisi untuk mencalonkan dan mendukung kandidat tertentu.
Sementara, di pemerintahan, koalisi merujuk pada partai-partai yang mendukung kerja-kerja pemerintah yang presiden dan wakil presidennya terpilih melalui pilpres. Partai koalisi pemerintah bekerja dalam satu periode pemerintahan.
Mengapa partai berkoalisi?
Ada alasan tersendiri mengapa partai-partai politik berkoalisi menjelang gelaran pilpres. Ini tak lepas dari aturan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden di sistem pilpres tanah air.
Artinya, seseorang yang hendak mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden harus memenuhi besaran ambang batas tersebut.
Ketentuan tentang ambang batas itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal 222 UU Pemilu menyebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dengan ketentuan tersebut, seseorang harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik jika hendak mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden.
Ketentuan mengenai presidential threshold menghilangkan kemugkinan munculnya calon presiden atau calon wakil presiden perseorangan.
Pada Pilpres 2019, perolehan suara partai yang digunakan untuk memenuhi ambang batas adalah perolehan jumlah kursi DPR atau suara sah nasional partai dari pemilu legislatif periode sebelumnya atau Pileg 2014.
Ini karena pelaksaan pilpres dan pileg dilaksanakan serentak pada April 2019.
Oleh karena hari pemungutan suara Pilpres 2024 lagi-lagi akan digelar serentak dengan pileg pada 14 Februari 2024, maka, perolehan suara partai yang akan digunakan untuk memenuhi syarat presidential threshold adalah perolehan jumlah kursi DPR atau suara sah nasional partai pada Pileg 2019.
Dengan jumlah total kursi di DPR saat ini yang berjumlah 575, maka, untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden, partai politik atau gabungan partai politik sedikitnya harus memiliki 20 persen dari jumlah total kursi di DPR.
Jika dikalkulasi, 20 persen dari 575 kursi akan menghasilkan 115 kursi. Artinya, partai politik atau gabungan partai politik paling tidak harus memiliki 115 kursi di DPR RI untuk dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Cara kedua untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden di Pilpres 2024 ialah mendapat perolehan suara di Pileg 2019 minimal 25 persen.
Mengacu hasil Pileg 2019, tidak ada satu pun partai politik peserta pemilu yang mendapat perolehan suara 25 persen.
Namun, dari 9 partai politik yang lolos ke Parlemen melalui Pemilu 2019, PDI-P menjadi partai yang mendapat suara tertinggi. Dengan demikian, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu juga meraih kursi terbanyak di DPR.
PDI-P mengantongi 27.503.961 atau 19,33 persen suara di Pileg 2019. Angka itu dikonversikan menjadi 128 kursi DPR RI.
Dengan perolehan kursi tersebut, maka PDI-P memenuhi ambang batas pencalonan presiden yang mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik memiliki sedikitnya 20 persen kursi dari jumlah total kursi di DPR.
Merujuk perhitungan Pileg 2019, PDI-P menjadi satu-satunya partai politik yang bisa mengusung calon presiden dan wakil presidennya sendiri di Pilpres 2024 tanpa perlu bergabung atau berkoalisi dengan partai politik lainnya.
Sementara, partai politik lain perlu berkoalisi untuk dapat memenuhi ambang batas pencalonan presiden.
Hasil Pileg 2019
Untuk lebih jelasnya, berikut hasil perolehan suara 9 partai politik yang lolos ke Parlemen pada Pemilu 2019 beserta perolehan kursinya di DPR RI:
1. PDI-P: 128 kursi
Jumlah suara: 27.503.961 (19,33 persen)
2. Golkar: 85 kursi
Jumlah suara: 17.229.789 (12,31 persen)
3. Gerindra: 78 kursi
Jumlah suara: 17.596.839 (12,57 persen)
4. Nasdem: 59 kursi
Jumlah suara: 12.661.792 (9,05 persen)
5. PKB: 58 kursi
Jumlah suara: 13.570.970 (9,69 persen)
6. Demokrat: 54 kursi
Jumlah suara: 10.876.057 (7,77 persen)
7. PKS: 50 kursi
Jumlah suara: 11.493.663 (8,21 persen)
8. PAN: 44 kursi
Jumlah suara: 9.572.623 (6,84 persen)
9. PPP: 19 kursi
Jumlah suara: 6.323.147 (4,52 persen)
https://nasional.kompas.com/read/2022/06/09/13263181/mengapa-partai-politik-ramai-ramai-membentuk-koalisi-jelang-pemilu-presiden