JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemasyarakatan yang sempat memicu polemik kemungkinan besar segera disahkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR pada 25 Mei 2022, pemerintah dan Komisi III DPR sepakat tidak ada persoalan yang menjadi hambatan untuk mengesahkan RUU itu menjadi undang-undang.
Yang menjadi persoalan mendasar dalam RUU Pemasyarakatan adalah soal pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, termasuk bagi napi koruptor, yang kembali dilonggarkan.
Hal itu yang membuat upaya pengesahan RUU itu pada 2019 silam mendapat penolakan keras dari kalangan pegiat antikorupsi.
Di dalam RUU Pemasyarakatan tidak lagi mencantumkan pengetatan persyaratan remisi bagi napi kejahatan luar biasa, termasuk koruptor, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Alhasil aturan mengenai pemberian pembebasan bersyarat kembali ke PP Nomor 32 Tahun 1999.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan saat ini tidak ada permasalahan dalam RUU Pemasyarakatan.
"Sama sekali tidak ada masalah. Jadi, tidak ada perubahan apapun bapak ibu yang mulia. Diharapkan itu tinggal disahkan saja," lelaki yang akrab disapa Eddy dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR, Rabu (25/5/2022) lalu.
Terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dicabut oleh Mahkamah Agung (MA), Eddy mengaku pemerintah juga tidak mempersoalkannya.
"Justru dengan putusan Mahkamah Agung terkait PP 99 itu memperkuat RUU yang ada ini," kata Eddy.
Setelah disepakati, Komisi III akan menindaklanjuti hasil rapat dengan membawa kepada pimpinan DPR. Selanjutnya, pimpinan DPR akan menyerahkan surat pemberitahuan terkait hasil rapat Komisi III dan Pemerintah itu kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meminta persetujuan agar RUU Pemasyarakatan disahkan sebagai UU.
Di dalam PP 99/2012 mengatur syarat rekomendasi dari aparat penegak hukum yang selama ini memberatkan pemberian pembebasan bersyarat bagi napi korupsi. Pasal 34A dalam PP 99/2012 mengatur syarat pemberian remisi bagi napi koruptor adalah bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, atau menjadi justice collaborator.
Selain itu, koruptor juga harus membayar lunas pidana denda dan uang pengganti kerugian negara jika ingin mendapat remisi.
Kemudian, dalam Pasal 43B Ayat (3) mensyaratkan adanya rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan pembebasan bersyarat.
Syarat-syarat tersebut tidak tercantum dalam PP Nomor 32 Tahun 1999. Belakangan, pada Oktober 2021 lalu, Mahkamah Agung mencabut PP 99/2012 karena tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakaran yang menjadi induknya.
Di dalam draf RUU Pemasyarakatan memang tidak disebutkan secara rinci soal persyaratan pemberian remisi bagi napi tindak pidana korupsi.
Pada 2021, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyampaikan pandangan mereka soal pembatalan PP 99/2012. Menurut mereka, meski negara wajib melindungi hak asasi manusia napi koruptor, tetapi pemerintah juga harus menerapkan cara-cara luar biasa dalam menangani perkara rasuah yang tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Alasan pembatalan PP 99/2012 menurut MA adalah tidak sejalan dengan model pemidanaan keadilan restoratif (restorative justice), diskriminatif karena membedakan perlakuan kepada para terpidana, dan menyebabkan kondisi lembaga pemasyarakatan penuh (overcrowded).
ICW beralasan, dengan membatalkan PP 99/2012 berarti MA tidak konsisten terhadap keputusan mereka sebelumnya. Dalam putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015 MA menyatakan perbedaan syarat remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana.
Sedangkan soal argumen pengetatan syarat remisi tidak sesuai dengan semangat keadilan restoratif menurut ICW juga keliru. Sebab, pemberian remisi memang menjadi hak narapidana, tetapi syarat pemberiannya harus menitikberatkan pada pemberian efek jera (detterent effect) bagi koruptor.
Maka dari itu, kata ICW, MA seharusnya tidak memandang korupsi sama dengan kejahatan umum lainnya.
Kemudian soal alasan menyebabkan penjara penuh juga dikritik oleh ICW. Sebab sebagian besar napi terlibat kasus narkotika. Sedangkan menurut ICW, jumlah terpidana korupsi per Maret 2020 mencapai 1.906 orang (0,7 persen) dari total warga binaan sebanyak 270.445 orang.
Tidak adil
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai jika RUU Pemasyarakatan disahkan, maka akan berdampak buruk dan justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Jika persyaratan remisi bagi napi tindak pidana korupsi kembali kepada aturan lama, yakni jika dihitung maksimal menjalankan 2/3 masa hukuman, maka akan bertentangan dengan upaya membuat efek jera bagi napi tindak korupsi.
"Dengan dikesampingkannya PP 99 ini jelas ada pengaruhnya terhadap upaya penjeraan napi koruptor dan pada gilirannya juga melemahkan pemberantasan korupsi," ucap Abdul saat dihubungi Kompas.com, Senin (30/5/2022).
Abdul memahami alasan pemerintah untuk menjamin hak remisi bagi napi koruptor. Namun, jika aturan remisi bagi napi koruptor disamakan dengan narapidana kejahatan umum lainnya, maka itu artinya korupsi tidak lagi digolongkan sebagai tindak kejahatan yang bersifat luar biasa.
"Tipikor sudah tidak ada bedanya dengan maling ayam. Di satu sisi ini persamaan, tetapi juga sekaligus ketidakadilan," ucap Abdul.
"Ketidakadilan dalam pengertian perlakuan yang tidak berbeda antara para koruptor yang merugikan rakyat/negara, dengan rakyat sebagai pencuri ayam dengan penghukuman yang sama tanpa pemberatan," sambung Abdul.
Abdul berpendapat prinsip keadilan restoratif tidak cocok diterapkan kepada napi koruptor. Maka dari itu, kata dia, jika pemerintah masih menganggap korupsi adalah kejahatan luar biasa maka seharusnya ada tidak terlalu bersikap lembut kepada para napi koruptor.
"Karena penguasaan sumber daya oleh para koruptor jauh berlebih dibandingkan para pencuri ayam yang memang miskin dan membutuhkan," ucap Abdul.
https://nasional.kompas.com/read/2022/05/31/06160021/ruu-pemasyarakatan-maling-ayam-dan-ironi-remisi-lunak-koruptor