JAKARTA, KOMPAS.com - Gagasan untuk menggelar persidangan in absentia (tanpa kehadiran terdakwa) terhadap buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Harun Masiku, dinilai bisa dilakukan, tetapi justru merugikan.
Akan tetapi, hal itu menjadi langkah terakhir jika Harun Masiku memang tak kunjung ditangkap.
"Ya daripada ditangkap enggak, sidang in absentia enggak, hukum seakan-akan tumpul terhadap perkara Harun Masiku, ya sudah saya minta yang minimalis saja, sidang in absentia," kata Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman saat dihubungi Kompas.com, Minggu (29/5/2022).
Boyamin mengatakan, kasus yang membelit Masiku lebih baik segera diadili walaupun secara in absentia. Hal itu, kata dia, adalah pilihan yang paling minimal yang bisa dilakukan penegak hukum.
"Toh berkas semua sudah ada karena Wahyu Setiawan (eks komisioner KPU), terus yang 2 orang lainnya itu kan sudah inkrah semua berkasnya. Putusannya sudah ada dan itu terkait Harun Masiku," ucap Boyamin.
Menurut Boyamin, jika KPK tidak juga bersikap terkait dengan gagasan sidang in absentia terhadap Harun Masiku, justru akan menguatkan kesan lembaga penegak hukum itu tidak tegas dalam menangani perkara ini. Di sisi lain, kata dia, persidangan tanpa kehadiran terdakwa justru membuat banyak sisi dari perkara itu yang sulit terungkap.
Pertama adalah soal dugaan keterlibatan pihak-pihak lain dalam perkara itu yang sulit diungkap.
"Dengan in absentia itu kan menjadi kotak pandora tertutup, tidak bisa dibuka," ucap Boyamin.
Pada 5 Maret 2020, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah menyampaikan opsi menggelar sidang Harun Masiku secara in absentia jika dia belum tertangkap. Dia mengatakan, kasus Masiku tetap bisa dibawa ke pengadilan walaupun sang tersangka masih buron dan tidak dapat dimintai keterangan selama alat bukti dianggap lengkap.
Menurut Ghufron, sejak Masiku masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), KPK selalu berkoordinasi dengan kepolisian untuk melacak jejak sang buronan.
KPK memasukkan Harun Masiku ke dalam daftar buronan pada 29 Januari 2020. Lalu, pada 30 Juli 2021, Harun masuk daftar buronan dunia dan masuk dalam daftar Red Notice Kepolisian Internasional (Interpol).
Perkara yang membuat Harun menjadi tersangka adalah kasus suap yang turut menjerat mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, eks Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan kader PDI-P Saeful Bahri. Wahyu, Agustiani, dan Saeful Bahri sudah divonis bersalah oleh majelis hakim.
Wahyu diganjar 7 tahun penjara dalam proses kasasi oleh Mahkamah Agung (MA). Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan Pengadilan Tinggi Jakarta juga menyatakan Wahyu bersalah dan menjatuhkan vonis 6 tahun penjara.
Sedangkan Saeful Bahri divonis 1 tahun 8 bulan penjara. Kemudian Agustiani divonis 4 tahun penjara.
Ketua KPK Firli Bahuri berjanji akan menangkap Harun Masiku. Dia juga menegaskan komitmen KPK untuk terus memburu sang buronan.
Akan tetapi, Boyamin pesimis KPK di bawah kepemimpinan Firli bisa menangkap Harun Masiku.
"Tampak KPK tidak mau, ogah, atau malas, atau bahasa yang lain masuk kategori itu bahwa KPK tidak mau menangkap Harun Masiku. Dari niat saja enggak ada. Kalau niat ada terus enggak ketemu itu masih mending. Ini niat saja tampaknya tidak ada, jadi ya sudah susah," ucap Boyamin.
https://nasional.kompas.com/read/2022/05/30/07010011/sidang-in-absentia-harun-masiku-bisa-digelar-tetapi-dinilai-merugikan