Salin Artikel

Deja Vu Dwifungsi ABRI dan Droping Pejabat dari Jakarta

Sayangnya hal itu bukan menandakan kita telah selesai dengan dua hal yang digemakan para demonstran di seantero negeri menjelang kejatuhan rezim Orde Baru dan awal dimulainya era reformasi.

Karut-marut penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah mengingatkan pada frasa “reformasi telah mati” yang ramai diseru mahasiswa dalam beberapa bulan terakhir.

Pengisian Pj kepala daerah, terutama bupati dan wali kota, dengan sempurna mengembalikan ingatan kita pada istilah dwifungsi ABRI dan droping pejabat dari pusat.

Jenderal Besar (Purn) Soeharto sangat senang mengisi jabatan-jabatan sipil di daerah dengan anggota ABRI (kini TNI minus Polri) aktif.

Di samping untuk mengamankan kekuasaannya, pola ini juga mencerminkan ketidakpercayaan Soeharto kepada pejabat di daerah, terutama sipil.

Diawali dengan semangat untuk menyerentakan pemilihan kepala daerah agar setiap tahun tidak disibukan dengan kontestasi politik, lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara serentak dalam satu kurun waktu.

Putusan ini kemudian dimasukan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada).

Konsekuensi dari penyerentakan pilkada tahun 2024, terjadi kevakuman kekuasaan di daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir tahun 2022 dan 2023.

Tercatat ada 271 daerah yang akan dipimpin oleh Pj kepala daerah. Untuk tahun 2022 saja terdapat 7 provinsi dan 94 kabupaten/kota yang akan diisi oleh Pj kepala daerah.

Jika merujuk pada aturan yang ada, mekanisme pengisian Pj kepala daerah sebenarnya jelas dan gamblang.

Namun karena ditengarai masuk kepentingan-kepentingan terselubung dengan tujuan di luar semangat penyerentakan pemilu, pengangkatan Pj kepala daerah akhirnya menimbulkan friksi seperti penolakan dari gubernur untuk melantik Pj bupati karena usulan calonnya diabaikan oleh Mendagri.

Lebih berbahaya lagi jika tujuan terselubung itu didorong keinginan untuk mengadopsi pola Orde Baru dalam mengamankan kekuasaan.

Sebab sejatinya syarat menjadi Pj kepala daerah sudah tertuang di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada di mana Pj gubernur berasal dari pimpinan tingkat madya.

Sedangkan untuk Pj bupati dan wali kota diisi dari pimpinan tingkat pratama.

Idealnya Pj kepala daerah diangkat dari pejabat sipil di daerah tersebut yang telah memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan semangat otonomi daerah.

Namun fakta berkata lain. Dengan berbagai dalih dan tafsir undang-undang, pengisian beberapa Pj kepala daerah mencederai dua semangat reformasi sekaligus.

Pertama, “diperbolehkannya” anggota TNI dan Polri mengisi jabatan Pj kepala daerah. Persoalan ini mengemuka setelah Komjen Pol Paulus Waterpauw diangkat menjadi Pj Gubernur Papua Barat dan Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin menjadi Pj Bupati Seram Bagian Barat, Maluku.

Bukan hanya di masa sekarang, jauh sebelumnya, tepatnya tahun 2018, persoalan ini juga menjadi polemik ketika Irjen M Iriawan diangkat menjadi Pj Gubernur Jawa Barat.

Sementara penunjukan Irjen Martuani Sormin menjadi Pj Gubernur Sumatera Utara dibatalkan karena yang bersangkutan masih berdinas di struktural Mabes Polri, yakni sebagai Kadiv Propam.

Iriawan tetap dilantik dengan alasan sudah tidak berdinas di lingkungan lingkungan Mabes. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Sestama Lemhanas.

Hal ini juga yang kemudian dijadikan patokan Mendagri Tito Karnavian dan Menko Polhukam Mahfud Md terkait pengangkatan Paulus Waterpauw dan Andi Candra.

Diketahui, jabatan terakhir Waterpauw sebelum ke Papua Barat adalah Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan BNPP sejak 21 Oktober 2021.

Sedang Candra sebelumnya menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tenggara.

Menurut Mahfud, putusan MK memperbolehkan anggota TNI/Polri aktif yang tidak sedang menjabat pada jabatan fungsional di institusi induk untuk menduduki jabatan sipil.

BNPP dan BIN, juga BNPT, Kemenko Polhukam, Lemhanas, Kemenkumham, dan Sekretariat Militer, menurut Mahfud, termasuk lembaga di luar struktur TNI/Polri.

Isu paling mendasar dari masalah ini adalah apakah anggota TNI/Polri termasuk dalam kategori pimpinan tingkat madya/pratama sebagaimana dimaksud oleh UU Nomor 10 Tahun 2016?

Jika asumsinya “setara” hal itu tidak serta merta dapat dipakai untuk melegitimasi karena tetap menyalahi aturan yang ada.

Dalih bahwa Lemhanas, BNPT dan lain-lain yang disebutkan Mahfud bukan lembaga fungsional TNI/Polri dapat dibenarkan sepanjang tidak dimaknai sebagai lembaga sipil.

Sebab faktanya ada beberapa posisi di lembaga-lembaga tersebut yang “wajib” diisi oleh anggota TNI/Polri. Bukankah dalam sejarahnya kepala BNPT belum pernah dijabat sipil?

Kedua, fenomena droping. Salah satu alasan yang disampaikan Mendagri Tito Karnavian melakukan droping Pj kepala daerah di Sulawesi Tanggara dari Kemendagri adalah untuk menghindari konflik kepentingan menjelang tahun politik.

Alasan ini sangat sumir karena menafikan fakta bahwa pimpinan tingkat madya/pratama adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dilarang oleh undang-undang terlibat dalam politik praktis, termasuk dukung-mendukung calon kepala daerah.

Apakah seluruh pejabat di daerah tersebut yang memenuhi kriteria terafiliasi dengan kepentingan kelompok tertentu? Tentu harus ada parameter dan bukti terukur untuk sampai pada kesimpulan demikian.

Sebab ada hal yang lebih mengkhawatirkan di balik droping pejabat dari Jakarta, yakni mencederai semangat otonomi daerah.

Bahkan dengan bahasa hiperbolis, sebagai bagian dari upaya mengembalikan ke sistem sentralistik.

Benar, Pj kepala daerah memiliki masa tugas sementara, yakni sampai adanya kepala daerah definitif hasil pilkada serentak 2024.

Namun jangan dinafikan, dengan merengkuh jabatan kepala daerah selama satu tahun dan dapat diperpanjang lagi untuk periode yang sama, banyak hal yang bisa dilakukan.

Terlebih, meski ada batasan sesuai ketentuan Pasal 65 Ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, harus ingat, ada pengecualian di dalam praktiknya.

Misal soal mutasi pejabat. Ternyata Pj kepala daerah boleh melakukan mutasi pejabat atas izin Mendagri.

Jika Pj tersebut merupakan “orang Kemendagri” maka izin untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat di lingkup kerjanya jauh lebih mudah.

Ini tentu berbahaya. Jika kekhawatiran adanya konflik kepentingan manakala Pj kepala daerah dari daerah bersangkutan, maka hal yang sama dapat kita sodorkan bahwa kita pun khawatir Pj droping membawa membawa kepentingan pusat.

Kita berharap tidak ada pihak-pihak yang memanfaatkan kevakuman kekuasaan di daerah.

Semua pihak hendaknya tetap dalam semangat yang sama untuk menciptakan sistem demokrasi yang jujur, adil dan efisien.

Semangat pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak tidak boleh dicederai dengan misi lain, oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun.

https://nasional.kompas.com/read/2022/05/27/06150001/deja-vu-dwifungsi-abri-dan-droping-pejabat-dari-jakarta

Terkini Lainnya

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke