JAKARTA, KOMPAS.com - Pesona Nahdlatul Ulama (NU) selalu memikat para elite politik setiap menjelang perhelatan pemilihan umum atau suksesi kepemimpinan daerah sampai nasional.
Meski NU menyatakan tidak akan terlibat dalam kegiatan politik praktis dan fokus sebagai organisasi masyarakat, sesuai dengan hasil Muktamar 1984, tidak bisa dipungkiri mereka tetap mempunyai pengaruh yang kuat.
Setiap menjelang pemilu dan pemilihan presiden, semua elite politik rajin sowan kepada pimpinan Pengurus Besar NU hingga para kyai-kyai mereka di daerah.
Menurut pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar, NU memang memiliki peran besar dalam mewarnai perpolitikan Tanah Air.
Di masa lalu, tepatnya pada pemilihan umum 1955 di masa pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Presiden Sukarno, NU pernah berjaya sebagai partai politik. Saat itu Partai NU menduduki posisi ketiga dalam perolehan suara dan mendapatkan 91 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat.
Partai NU berdiri setelah memutuskan berpisah dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1952.
Lantas pada Pemilu 1971 di masa Orde Baru, Partai NU mendapatkan 10,213,650 suara dan 58 kursi di DPR.
Setelah itu, Partai NU dilebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akibat kebijakan Presiden Suharto untuk menyederhanakan partai politik. Yakni dengan membentuk poros demokrasi pembangunan yang memberikan wadah politik bagi kelompok Islam melalui PPP, dan poros demokrasi nasional melalui Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Sedangkan Golongan Karya (Golkar) pada saat Orde Baru tidak disebut sebagai partai politik, tetapi hanya sebagai organisasi berdasarkan kekaryaan atau kalangan profesional. Golkar pun menjadi mesin politik untuk mendukung kekuasaan Orde Baru dan Suharto.
"Kita harus akui bahwa NU memang ormas Islam terbesar di Indonesia. Memiliki banyak kader-kader militan yang disebut dengan warga Nahdliyin itu yang kemudian tentu saja cukup memiliki pengaruh besar di dalam kancah politik dan sosial di Indonesia," kata Idil saat dihubungi Kompas.com, Selasa (24/5/2022).
Karena kekuatan suara itu, kata Idil, maka akhirnya NU menjadi incaran banyak elite politik demi memuluskan kepentingan politik mereka dengan merapat ke Pengurus Besar NU, para kyai, dan juga kalangan pesantren.
"Karena pada dasarnya memang mereka ingin mendapatkan potensi suara besar dari warga-warga Nahdliyin," ujar Idil.
Di samping itu, menurut Idil yang membuat NU dan para pendukungnya menjadi rebutan para elite politik adalah karena militansi. Selain itu, para kyai NU yang mempunyai basis massa dari kalangan pesantren juga cukup memberikan pengaruh yang kuat buat menentukan ke mana dukungan politik warga Nahdliyin akan diberikan.
Sebab para santri dan pengikut sang kyai lazimnya akan sangat patuh dan taat terhadap segala ucapan dan tindakannya.
"Jadi kesan sami'na wa atho'na terhadap para kyai itu menjadi sangat penting ketika mereka dihadapkan pada satu pilihan," ucap Idil.
Menurut Idil, NU juga mempunyai 2 karakter yang membuat mereka menjadi sebuah ormas yang mempunyai kekuatan politik yang kuat. Karakter itu adalah NU secara struktural dan kultural.
NU secara struktural diwakili Pengurus Besar NU sebagai organisasi. Sedangkan secara kultural atau budaya adalah pengaruh NU dalam membentuk peradaban bangsa dan mewarnai khazanah Islam di dalam masyarakat.
"Maka dari itu banyak sekali masyarakat yang kemudian mengacu pada bagaimana tradisi-tradisi NU itu dikembangkan, dan tentu saja ini juga memiliki pengaruh besar sehingga mampu memberikan pundi suara bagi elite politik yang bisa mampu mendekati para kyai NU maupun juga warga Nahdliyin secara keseluruhan," ucap Idil.
Akan tetapi, kata Idil, meski NU menjadi salah satu kelompok yang sangat penting dalam perpolitikan Indonesia, tetap saja para elite politik juga harus mendekat kelompok ormas Islam lain yang ada. Contohnya seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), atau yang lainnya.
"Sekali lagi itu memberikan pengaruh yang cukup besar kepada keterpilihan para elite," kata Idil.
https://nasional.kompas.com/read/2022/05/24/14385331/di-balik-pesona-nu-yang-jadi-rebutan-elite-menjelang-tahun-politik