Salin Artikel

Kritik untuk Penyelesaian Kasus HAM Berat 1998 Tanpa Pengadilan

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Kantor Staf Presiden RI, Moeldoko, mengatakan bahwa kasus Trisakti 1998 termasuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu yang idealnya diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial.

Hal itu ia ungkapkan usai menerima perwakilan mahasiswa Universitas Trisakti, Rabu (18/5/2022)

"Penyelesaian secara yudisial akan digunakan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat baru (terjadi setelah diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)," ungkap Moeldoko.

"Sedangkan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu (terjadi sebelum November 2000) akan diprioritaskan dengan penyelesaian melalui pendekatan non-yudisial. Seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," jelasnya.

Menurutnya, UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memang memungkinkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pengadilan.

Tetapi, hal itu harus menunggu putusan politik oleh DPR.

"DPR yang bisa menentukan apakah sebuah UU bisa diterapkan secara retroaktif, atau diberlakukan secara surut. Jadi pemerintah menunggu sikap politik DPR," katanya.

Kepada perwakilan mahasiswa Trisakti, Moeldoko juga menyatakan, meskipun pengadilan belum bisa digelar, pemerintah tetap mengupayakan agar para korban tetap mendapatkan bantuan dan pemulihan dari negara.

Dalam kesempatan itu, Moeldoko juga menuturkan, pemerintah melalui Kemenko Polhukam sedang memfinalisasi draf kebijakan yang non-yudisial (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) dan memastikan Pengadilan HAM Paniai berjalan.

"Dengan pendekatan ini, kami berharap kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Kasus Mei 98 dan lain-lain bisa turut terselesaikan," tambahnya.

Kritik untuk Moeldoko

Atas usulnya ini, Moeldoko pun dianggap "belum paham" substansi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

"Pak Moeldoko ini rupanya belum paham tentang UU Pengadilan HAM," kata Sumarsih, ibunda Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan)--mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tutup usia ditembak aparat pada kasus Semanggi I--ketika diwawancarai Kompas.com pada Kamis (19/5/2022).

"Kalau Pak Moeldoko paham mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM beratnya yang diatur UU Pengadilan HAM, mestinya Pak Moeldoko mendorong agar jaksa agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan (pelanggaran HAM berat 1998 dari Komnas HAM)," jelasnya.

UU Pengadilan HAM memang mengamanatkan agar kasus pelanggaran HAM berat sebelum tahun 2000 diselesaikan lewat pengadilan HAM ad hoc, sebagaimana tercantum dengan jelas dalam Bab VIII.

Pengadilan HAM ad hoc ini ditetapkan presiden atas usul DPR.

Rekomendasi DPR itu berdasarkan penyidikan Kejaksaan Agung, yang menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM sebagai lembaga yang berwenang menentukan ada atau tidaknya pelanggaran HAM berat.

Komnas HAM sendiri sudah merampungkan berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat tahun 1998/1999, yakni kasus Trisakti-Semanggi I-Semanggi II (TSS), namun hingga saat ini tak kunjung ditindaklanjuti Kejaksaan Agung ke penyidikan.

Komisioner Komnas HAM Bidang Pemantauan dan Penyelidikan, Choirul Anam, pun mengkritik usul penyelesaian pelanggaran HAM berat tahun 1998 secara non-yudisial seperti yang dikemukakan Moeldoko.

“Kalau ada yang ngomong mekanisme non-yudisial, apa mekanismenya? Enggak ada. Sampai saat ini, penyelesaian pelanggaran HAM berat, mau yang di bawah tahun 2000 maupun tidak, mekanismenya satu-satunya hanya Undang-undang Nomor 26 (Tahun 2000, tentang Pengadilan HAM). Tidak ada mekanisme lain,” ujar Anam ketika ditemui di kawasan Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (19/5/2022) malam.

Dianggap melanggengkan impunitas pelaku

Sumarsih tegas menolak usul Moeldoko. Baginya, penyelesaian kasus HAM berat tanpa jerat hukum sama saja dengan menabalkan kekebalan hukum bagi para penjahat hak asasi manusia.

"Kenapa kami menolak, karena itu melanggengkan impunitas, karena tidak melalui proses pengadilan," kata Sumarsih.

"Dan itu yang kami perjuangkan melalui berbagai cara, termasuk dengan mengadakan Aksi Kamisan. Hampir setiap surat Aksi Kamisan yang kami kirim kepada presiden, selalu ada butir yang meminta agar presiden segera mendesak jaksa agung menindaklanjuti berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat masa lalu," jelas Sumarsih.

Tanpa jerat hukum, para pelaku pelanggaran HAM berat maka kasus-kasus serupa bakal terus terjadi di masa depan.

Negara juga tidak boleh seakan lari dari tanggung jawab hanya karena telah memberikan sejumlah bantuan kepada keluarga korban pelanggaran HAM berat, ujar Sumarsih.

Misalnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tempo hari memberi bantuan uang dan rumah senilai Rp 750 juta kepada keluarga korban Tragedi Trisakti.

Menurutnya, hal ini adalah bentuk lain dari pemberian impunitas kepada para pelaku yang juga bagian dari elite kekuasaan.

"Bagi saya, ketika hukum ini lemah, ya rakyat akan susah. Karena apa, kekerasan aparat akan terus terjadi, tidak ada upaya memutus mata rantai kekerasan, seperti sekarang banyak di Jakarta, Papua, dan sebelumnya Aceh," ungkapnya.

Senada dengan Sumarsih, Anam menyebutkan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat bukan hanya penting untuk memenuhi keadilan bagi korban dan keluarga korban, melainkan juga bagi warga negara secara keseluruhan yang berhak atas masa depan yang baik.

“Ada kepentingan publik dan negeri ini sangat mendasar (dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat), yakni tata kelola negara ini, baik aparatur sipil maupun keamanan, tidak semena-mena lagi pada manusia,” kata Anam.

“Kita menghormati keresahan korban, tapi di sisi lain ada kebutuhan publik, masa depan itu baik. Polisinya baik, tentaranya baik, aparat pemerintahnya juga baik. Pentingnya penyelesaian pelanggaran HAM berat ya itu,” tambahnya.

https://nasional.kompas.com/read/2022/05/20/06425831/kritik-untuk-penyelesaian-kasus-ham-berat-1998-tanpa-pengadilan

Terkini Lainnya

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

Nasional
Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke