JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang sopir mikrolet jurusan Pasar Minggu-Depok mengajukan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konsitusi.
Insinyur Mulak Sihotang, begitu ia menyebut dirinya di dalam permohonan pengajuan tuntutannya kepada hakim konstitusi. Ia pun nekat mengajukan permohonan uji formil UU IKN tanpa didampingi kuasa hukum lantaran merasa undang-undang tersebut telah merugikan hak konstitusinya.
Di awal pembacaan berkas permohonannya, Mulak terdengar terbata-bata dan terlihat menahan isak tangis.
"Kepada, yang terhormat Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia...," ucap Mulak terbata sembari menahan isak tangisnya, seperti dikutip dalam tayangan Sidang Perkara Nomor 47, 48, 49/PUU-XX/2022 di Youtube resmi MK, Selasa (19/4/2022).
Melihat Mulak yang membaca permohonannya sembari terbata, Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang memimpin sidang uji formil UU IKN pun menanyakan kondisinya.
"Lho kenapa itu Pak Mulak? Ada apa?," ucap Arief.
Ia pun sempat berbisik kepada Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta Daniel Yusmic P Foekh yang berada di sebelah kanan dan kirinya.
Ia justru terlihat berupaya untuk menahan tangisnya dan fokus membaca berkas permohonan yang ia pegang, alih-alih menanggapi pertanyaan Arief.
Mulak juga terlihat beberapa kali menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya melanjutkan membacakan berkas permohonan.
"Saya yang bertanda tangan di bawah ini, nama Insinyur Mulak Sihotang," ucapnya.
Mulak kembali terisak ketika membacakan identitas dirinya secara lebih detil.
Tangisnya pecah ketika membacakan pekerjannya sebagai supir angkot.
"Lho, kenapa Pak? Pak Mulak kenapa?," hakim konstitusi Arief Hidayat kembali bertanya.
Setelah berhasil menguasai emosinya, pria yang tahun ini berusia 67 tahun tersebut membacakan berkas permohonan uji formilnya.
Ia mengaku merasa dirugikan bila ibu kota negara dipindahkan dari DKI Jakarta. Alasannya, ia tidak bisa lagi melihat Istana Kepresidenan hingga kantor-kantor kabinet kementerian.
"Jadi hak saya sebagai masyarakat, sebagai pemohon, sudah dibasmi, sudah dibatasi dengan dipindahnya ibu kota. Tadinya saya melihat Istana Kepresidenan secara dekat, tetapi setelah pindah ke Kalimantan, saya tidak bisa lagi melihat. Itu kerugian yang saya alami," ujar Mulak.
Kerugian berikutnya, menurut Mulak, ia tak lagi bisa melakkan konsultasi terkait perencanaan kota dan kasus-kasus tata ruang di daerah dengan Kementerian ATR/BPN.
"Saya tidak bisa lagi konsultasi karena Kementerian ATR pindah. Dalam hal ini hak saya dipreteli, dibatasi, tidak bisa lagi melihat kantor kementerian," ujar Mulak.
Namun demikian, ia tidak menguraikan secara lebih lanjut mengenai alasan-alasan permohonan uji materi tersebut.
Setelah memaparkan berkas permohonan tersebut, Mulak pun mendapatkan berbagai nasihat dan masukan terkait berkas permohonan dari Hakim Konsitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh.
Mulak yang mengaku mendapatkan gelar insinyur dari salah satu universitas di Bandung tersebut diminta untuk merevisi secara keseluruhan berkas permohonannya.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, Mulak harus mempelajari Pasal 22 A UUD 1945 yang menjelaskan mengenai uji formil, UU Nomor 12 Tahun 2011 juncto UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta Peraturan Mahkamah Konsitusi (PMK) Nomor 2 tahun 2021.
Arief pun mengatakan, Mulak sekiranya perlu didampingi oleh kuasa hukum yang benar-benar memahami persyaratan formil permohonan serta syarat materil permohonan dari sisi narasi.
"Karena saya melihat permohonan Perkara 47 ini sangat-sangat sederhana, dan tidak memenuhi syarat formal suatu permohonan pengujian, dari sisi materil juga belum menguraikan hal-hal yang mestinya harus diuraikan sehingga hakim bisa berpendapat permohonan ini tidak perlu dipertimbangkan, oleh karena itu betul-betul harus dilakukan revisi," jelas Arief.
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/21/05503341/merasa-haknya-dipreteli-sopir-angkot-terisak-bacakan-berkas-perkara-uji