Pada 12 April 2022, dia menyampaikan ada hampir 200 juta data kependudukan rakyat Indonesia yang terancam raib atau musnah. Menurut Luqman, data yang tersimpan di pusat data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) itu bisa hilang karena usia perangkat keras yakni ratusan peladen (server) sebagai tempat penyimpanan data sudah terlalu uzur.
Bahkan, ujar Luqman, beberapa dari peladen itu sudah aus dan kedaluwarsa, serta sebagian suku cadangnya (spare part) sudah tidak diproduksi lagi (discontinue).
"Menurut informasi yang saya terima, bahkan sudah tidak ada pihak yang berani melakukan proses maintenance terhadap ratusan server tersebut akibat dari kemungkinan rusaknya sudah sangat besar," kata Luqman dalam keterangan pers.
Luqman yang merupakan Ketua PP GP Ansor menilai, apabila kondisi itu dibiarkan maka rakyat dan pemerintah akan mengalami kerugian besar. Yakni hilangnya hampir dua ratusan juta data kependudukan yang selama bertahun-tahun dengan susah payah dan diupayakan oleh negara bisa dimasukkan ke dalam penyimpanan data.
Menurut Luqman, dari penjelasan Kementerian Dalam Negeri yang disampaikan setelah rapat kerja RDP pada 5 April belum terlihat langkah komprehensif untuk mengantisipasi ancaman hilangnya dua ratusan juta data kependudukan rakyat Indonesia.
"Saya melihat sampai saat ini belum ada langkah-langkah yang terukur dimana proses peremajaan atau pembaharuan perangkat keras ratusan server milik Dukcapil itu teranggarkan dan menjadi prioritas di Kementerian Dalam Negeri," ungkap Luqman.
"Tentu ini sangat berbahaya, saya sangat khawatir data kependudukan yang menjadi basis banyak pelayanan negara kepada rakyat ini, apabila system-nya mengalami down dan hardware-nya mengalami kerusakan fatal, maka bisa saja kita akan setback, kembali ke jaman batu," tambah Luqman.
Padahal, kata Luqman, manfaat data kependudukan yang dikelola oleh Dukcapil Kementerian Dalam Negeri sangat besar. Sebab menurut catatannya, terdapat sekitar 4.517 instansi yang melakukan kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri dalam pemanfaatan data kependudukan ini.
Dia juga menyayangkan bahwa sampai hari ini tidak ada keputusan pemerintah untuk memungut pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari pemanfaatan data kependudukan oleh pihak ketiga ini.
Padahal, sebagian yang memanfaatkan data ini adalah korporasi, kelompok bisnis, dan usaha-usaha produktif lainnya.
"Tentu dengan banyaknya pihak yang bekerjsama dalam pemanfaatan data kependudukan ini akan menambahi beban kerja ratusan server milik Dukcapil yang secara umur sudah tua dan kondisinya sudah hampir rusak," ucap Luqman.
Luqman mengatakan, data kependudukan yang dikelola oleh Dukcapil juga menjadi basis utama dari data pemilih yang akan dipakai pada event pemilu maupun pilkada serentak 2024 mendatang.
Oleh karena itu apabila terjadi kerusakan dengan sistem data center milik Dukcapil, tentu juga akan mengganggu proses pemilu yang akan datang. Selain itu, banyak pelayanan pemerintah yang juga akan terganggu.
"Terakhir kita mendengar NPWP itu dijadikan satu dengan NIK, artinya Kementerian Keuangan juga menggunakan data center Dukcapil ini sebagai basis pelayanan kepada rakyat sekaligus sebagai instrumen untuk meningkatkan target pendapatan negara dari pajak rakyat Indonesia," kata Luqman.
"Oleh karena itu, saya berharap masalah ini tidak dianggap sepele. Saya mengetuk hati Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, jika perlu Presiden, untuk turun tangan terhadap masalah data kependudukan yang terancam musnah akibat system baik software maupun hardware-nya tidak dilakukan proses maintenance secara layak," jelasnya.
Belum ada anggaran
Menanggapi pernyataan Luqman, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh membenarkan perangkat keras di Dukcapil rata-rata sudah berusia lebih dari 10 tahun.
Dengan demikian, banyak perangkat berupa server yang berfungsi untuk perekaman KTP elektronik (KTP-el) dan penunggalan data perekaman yang masa garansinya sudah habis.
Di sisi lain, suku cadang dari perangkat itu juga sudah tidak diproduksi lagi. Namun demikian, Dukcapil belum melakukan peremajaan dan penambahan perangkat lantaran anggaran belum tersedia.
"Ada ratusan server yang berfungsi untuk perekaman KTP-el, dan penunggalan data perekaman yang harus diremajakan. Sedangkan untuk storage yang ada saat ini memiliki kapasitas untuk back up data yang mencukupi dan berjalan dengan baik, aman datanya," kata Zudan seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Minggu (17/4/2022).
Demi keamanan dan ketersediaan data kependudukan, Zudan menjelaskan, Ditjen Dukcapil melakukan back up data secara rutin di pusat data cadangan Batam.
Menurut Zudan, proses back up data juga dilakukan pada tape back up sehingga data dipastikan terjaga ketersediaannya. Untuk menjaga keamanan data, telah dipasang firewall jaringan, web application firewall, menggunakan https untuk web security aplikasi, menggunakan jaringan tertutup.
Selain itu, Dukcapil bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan menerbitkan Permendagri No. 57 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Keamanan Informasi Administrasi Kependudukan.
Ia mengatakan, jumlah penduduk saat ini sudah mencapai 273,8 juta, dan semua sudah terdata lengkap dalam database.
Terkait lembaga yang bekerja sama untuk pemanfaatan data Dukcapil, Zudan mengungkapkan, saat ini jumlahnya mencapai 5.010 lembaga dari tahun 2015 yang hanya 30 lembaga.
"Ini semua menyebabkan beban pelayanan adminduk (administrasi kependudukan) dan pemanfaatan data semakin bertambah," ucap Zudan.
Zudan menjelaskan, pengelolaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), pengolahan data dan pemanfaatan database kependudukan memerlukan dukungan perangkat keras.
Perangkat keras tersebut terdiri dari server, storage, perangkat jaringan dan perangkat pendukung yang memadai agar pelayanan dapat berjalan dengan optimal.
Adapun output yang dihasilkan dari SIAK atau yang saat ini memasuki era SIAK Terpusat berupa 24 jenis dokumen kependudukan dan database kependudukan.
"Server berfungsi menjalankan sistem dan aplikasi SIAK, sedangkan storage adalah media penyimpanan data. Selain itu, juga dibutuhkan Pusat Data dan Pusat Data Cadangan yang sesuai dengan standar ISO 27001," kata Zudan.
Biaya akses NIK
Di sisi lain, Zudan mengatakan, mereka kini menerapkan akses berbayar terhadap nomor induk kependudukan (NIK) sebesar Rp 1.000 bagi sektor usaha berorientasi laba. Contohnya seperti perbankan, asuransi, pasar modal, sampai sekuritas.
Sedangkan untuk kementerian/lembaga pemerintah, pemda, dan lembaga pelayanan publik seperti BPJS Kesehatan dan RSUD tetap gratis.
Zudan menjelaskan, penetapan biaya jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan tersebut untuk menjaga agar sistem tetap hidup. Pasalnya, beban pelayanan Dukcapil kian bertambah, sementara APBN terus turun.
"Selain itu, juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan akurasi data. Sebab, beban pelayanan makin bertambah. Jumlah penduduk dan jumlah lembaga pengguna yang dulu hanya 30 sekarang 5.010 lembaga yang sudah kerja sama, namun anggaran APBN terus turun," kata Zudan.
Menurut Zudan, dana yang didapatkan dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atas penarikan biaya NIK tersebut hanya untuk menambah penerimaan agar sistem Dukcapil tetap terjaga, bukan sumber utama pendapatan.
Untuk itu, pihaknya tak memasang target pendapatan dari penarikan biaya Rp 1.000 atas jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan tersebut.
"PNBP akan dimanfaatkan untuk perawatan dan peremajaan infrastruktur server dan storage Ditjen Dukcapil dalam melayani masyarakat dan lembaga pengguna," ujar Zudan.
(Penulis : Mutia Fauzia | Editor : Bagus Santosa, Kristian Erdianto)
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/18/15281861/duduk-perkara-200-juta-data-kependudukan-yang-terancam-akibat-server-tua