Per Januari 2022, DPR sudah menyetujui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai RUU inisiatif DPR.
Kini, RUU TPKS telah melalui pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) bersama pemerintah.
Beleid ini sendiri ditargetkan disahkan menjadi produk hukum pada masa persidangan IV tahun sidang 2021-2022.
Cepatnya pembahasan RUU TPKS menjadi kabar baik di tengah kedaruratan kekerasan seksual yang semakin banyak menimbulkan korban di Indonesia.
Namun, proses ini bukan tanpa cela. Kritik muncul karena "pemerkosaan" justru dikeluarkan dari jenis-jenis kekerasan seksual dalam RUU TPKS.
Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya mengaku telah berupaya semaksimal mungkin menampung semua masukan.
"Pemerkosaan" terpaksa dikeluarkan dari daftar kekerasan seksual di RUU TPKS karena dikhawatirkan bakal tumpang tindih dengan ketentuan sejenis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini tengah direvisi.
Kemunduran?
Dihapusnya "pemerkosaan" dari jenis kekerasan seksual dalam RUU TPKS disayangkan Komnas Perempuan yang menilai hal ini sebagai kemunduran.
Sebab, menurutnya, pemerkosaan adalah "benih dan DNA" yang melahirkan gagasan diperlukannya peraturan khusus dalam hal ini RUU TPKS.
"Sejarahnya adalah memperjuangkan bagaimana perempuan korban pemerkosaan, atau disebut korban pencabulan, atau kadang-kadang (disebut) pelecehan seksual, ini bisa dengan lebih baik mendapatkan akses keadilan dan pemulihannya," jelas Andi dalam diskusi virtual, Selasa (5/4/2022).
Catatan Komnas Perempuan juga menunjukkan urgensi tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun dari 129 lembaga layanan, pemerkosaan--termasuk di dalamnya pemerkosaan dalam pernikahan dan dalam hubungan keluarga--mendominasi laporan kekerasan seksual dengan porsi hingga 68 persen.
Pun dalam data kekerasan di ranah publik sepanjang 2021, lembaga-lembaga layanan mencatat pemerkosaan jadi kekerasan terbanyak, yaitu 459 kasus.
"Dengan meninggalkan peraturan tentang pemaksaan hubungan seksual, kita akan kehilangan satu bagian dari roh awal undang-undang ini ada," jelas Andi.
"Munculnya RUU TPKS dari serangkaian historisnya adalah untuk menjawab gap atau kekurangan ketentuan yang selama ini ada di KUHP," sebut Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nur Syamsi, dalam kesempatan yang sama.
Apa dampaknya?
Korban pemerkosaan dinilai akan jadi pihak yang paling terdampak dari dihapusnya "pemerkosaan" dari RUU TPKS.
Apalagi, revisi KUHP bukan perkara mudah dan diprediksi menyita waktu karena produk hukum itu memuat banyak pasal yang harus dibahas.
"Persoalannya sekarang, kalau RUU KUHP-nya belum berhasil direvisi, waktu tunggu sampai RUU KUHP dibetulkan bisa menjadi ruang kerugian khususnya bagi perempuan yang mengalami pemaksaan hubungan seksual," kata Andi.
Ia khawatir akan terjadi kegamangan proses hukum bagi korban pemerkosaan jika "pemerkosaan" tidak diakomodasi dalam UU TPKS kelak.
Pendapat senada dilontarkan Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nur Syamsi.
Ia khawatir, UU TPKS terbit tanpa mengakomodasi "pemerkosaan", sementara KUHP yang direncanakan bakal mengatur soal "pemerkosaan" masih dalam proses revisi yang tak berkesudahan.
Fajri membandingkan RUU TPKS dengan RUU Penyandang Disabilitas 5 tahun lalu.
"Saat itu, ada pasal dalam RUU yang mengatur pertanggungjawaban dan pengurangan pidana berdasarkan penilaian personal, bukan status disabilitas," ungkapnya.
"Pasal itu ditolak masuk UU Penyandang Disabilitas karena dianggap akan diatur dalam RKUHP. Hasilnya, hal itu tidak masuk dalam UU Penyandang Disabilitas, sementara RKUHP tidak kunjung selesai pembahasannya," jelas Fajri.
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/06/05433591/pertaruhan-ruu-tpks-di-senayan-pertaruhkan-nasib-korban-pemerkosaan