JAKARTA, KOMPAS.com - Purnawirawan TNI tersangka kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua pada 2014, belum ditahan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, mengatakan, tersangka berinisial IS tidak ditahan karena bersikap kooperatif.
"Belum (ditahan), yang bersangkutan masih kooperatif setiap pemeriksaan," kata Ketut saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (2/4/2022).
Secara terpisah, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mengatakan, penyidik memiliki pertimbangan untuk tidak menahan IS.
Menurutnya, penyidik menilai IS tidak akan melarikan diri.
"Kepentingannya tidak ada, dia (IS) tidak melarikan diri, ya ini ya mungkin enggak (ditahan) lah," kata Febrie, di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta, Jumat (1/4/2022) malam.
Febrie belum menjelaskan lebih lanjut soal peran dan keterlibatan IS dalam perkara Paniai.
Ia hanya mengatakan, pada 2014, IS menjabat sebagai perwira penghubung di Komando Distrik Militer (Kodim) wilayah Paniai.
"(Tahun 2014 IS sebagai) Perwira penghubung di Kodim di Paniai," imbuhnya.
Adapun penetapan tersangka dilakukan berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-01/A/Fh.1/04/2022 tanggal 01 April 2022 yang ditetapkan oleh Jaksa Agung RI selaku Penyidik
Sebelumnya, Ketut mengatakan, IS disangka Pasal 42 ayat (1) subsider Pasal 40, juncto Pasal 9 huruf a, juncto Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Menurut Ketut, hingga saat ini saksi yang sudah diperiksa sebanyak 50 orang yang terdiri dari unsur masyarakat sipil sebanyak tujuh orang, unsur Polri sebanyak 18 orang, dan TNI sebanyak 25 orang, serta ahli enam orang.
Ketut menjelaskan, penyidik telah berhasil mengumpulkan alat bukti sesuai Pasal 183 jucto184 KUHAP sehingga membuat terang adanya peristiwa pelanggaran HAM berat di Paniai pada 2014, berupa pembunuhan dan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dan h jucto Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Ia mengungkapkan, peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de yure dan/atau de facto berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya.
Kemudian, komandan militer tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya dan juga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
"Akibat kejadian tersebut, mengakibatkan jatuhnya korban yakni empat orang meninggal dunia dan 21 orang mengalami luka-luka," kata Ketut.
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/02/08384581/purnawirawan-tni-tersangka-kasus-paniai-belum-ditahan-kejagung-masih