JAKARTA, KOMPAS.com - Proses penyelidikan perkara kerangkeng manusia di rumah Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin-angin dipersoalkan oleh kalangan pegiat hak asasi manusia. Sebab, sampai saat ini aparat penegak hukum tak kunjung menetapkan tersangka dalam kasus itu.
Perbuatan keji itu terbongkar sejak Terbit terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terbit ditangkap lembaga antirasuah itu pada 18 Januari 2022.
Akan tetapi, satu bulan berlalu ternyata aparat Polda Sumatera Utara (Sumut) yang menangani perkara itu tak kunjung menetapkan tersangka.
Hasil temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam perkara itu menyebutkan ada 19 terduga pelaku penyiksaan dalam penjara aitu. Di antara para terduga ada anggota organisasi masyarakat sampai anggota TNI-Polri.
Bahkan menurut Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi, seorang anak terbit berinisial DW atau DP diduga turut menyiksa para korban di kerangkeng itu. DW atau DP, kata Edwin, menjabat sebagai yang menjadi Ketua Satuan Pelajar dan Mahasiswa (Sapma) Pemuda Pancasila Kabupaten Langkat.
Edwin mengatakan, jari tangan empat korban putus akibat penyiksaan yang diduga dilakukan DW atau DP. Dalam struktur kepengurusan kerangkeng itu, DW atau DP menjadi wakil ketua. Sedangkan ketuanya adalah sang ayah.
Edwin mengungkapkan para korban dieksploitasi untuk bekerja sebagai buruh pabrik dan penyedia makan ternak milik Terbit.
“Dengan jam kerja dari pukul 08.00 pagi sampai 17.00 dan 20.00 sampai 08.00 pagi. Pekerjaannya station process, perawatan, penyediaan pakan ternak, dan membeli sawit,” sebut dia.
Namun ada perbedaan perlakuan antara penghuni kerangkeng manusia dengan buruh pabrik.
“Buruh pabrik yang digaji menggunakan sepatu, seragam dan helm, sementara korban hanya menggunakan celana pendek, tak beralas kaki, tak menggunakan helm dan kepalanya botak,” imbuh Edwin.
Geram
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar menilai Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri harus mengambil alih perkara itu karena lambatnya penanganan perkara yang dilakukan Polda Sumatera Utara (Sumut).
“Mabes Polri harus bertindak, karena proses (penanganan perkara) sudah berlangsung lama. Sudah 1 bulan, artinya prosesnya lama apalagi kalau ini sudah ditangani Polda,” ucap Rivanlee pada Kompas.com, Rabu (16/3/2022).
Rivanlee menilai Polda Sumut tak serius menangani kasus itu karena tak kunjung menetapkan tersangka. Dia juga meminta Polda Sumut tidak hanya fokus pada satu perkara dalam kasus kerangkeng manusia itu dan melakukan pengembangan penyelidikan atas dugaan tindak pidana lain.
“Karena kami meyakini ada kasus-kasus lain yang terlibat atas satu kasus sebelumnya. Misalnya ada pembunuhan berarti ada dugaan penganiayaan atau praktik penyiksaan pada orang-orang (penghuni penjara) yang masih hidup,” papar Rivanlee.
Rivanlee menyarankan pihak kepolisian terbuka dan memberi tahu progres penanganan perkara secara berkala pada publik. Dalam pandangannya, penanganan perkara perbudakan modern itu dapat menjadi jalan untuk membuka kasus serupa yang mungkin terjadi di tempat lain.
“Seperti kasus kekerasan seksual, ketika polisi mencoba membongkar kasus itu banyak korban yang akhirnya bersuara,” ujar Rivanlee.
“Jadikanlah kasus ini menjadi preseden baik untuk membongkar kasus perbudakan modern lainnya yang dimungkinkan ada,” ujar Rivanlee.
Rivanlee juga meminta penyidik pada Polda Sumut membongkar peran keluarga Terbit dalam kasus kerangkeng itu.
“Karena kasus kerangkeng manusia saja sudah berlangsung lebih dari 5 tahun, itu sudah ada sistem yang bergerak untuk kelanggengan keberadaan kerangkeng tersebut,” ujar Rivanlee.
Selain itu, penyidik diharapkan bisa mengungkap siapa saja pihak-pihak yang selama ini seolah melindungi Terbit melakukan tindakan yang kejam itu.
“Bisa orang-orang terdekat Bupati, siapa saja itu atau dari institusi lain yang punya kewenangan dan relasi padanya. Kalau dilihat keberadaan kerangkeng ini sudah lama, indikasinya kuat ada beking atau support baik dari massa berjumlah besar entah berbentuk ormas atau institusi legal seperti polisi atau TNI,” ucap Rivanlee.
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah juga mendorong agar Bareskrim mengambil alih perkara ini.
“Sampai ada korban meninggal. Jadi sudah jelas, terang benderang, kasat mata apa yang ditunggu kepolisian? Kalau tidak ya (biar ditangani) Bareskrim,” kata Anis.
(Penulis : Tatang Guritno/Editor : Krisiandi, Egidius Patnistik)
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/18/08392121/menyoal-perkara-kerangkeng-manusia-di-langkat-yang-tak-kunjung-ada-tersangka