JAKARTA, KOMPAS.com - Sikap Presiden Joko Widodo atas isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi sorotan.
Di tengah banjir kritik terhadap wacana yang digulirkan tiga ketua umum partai politik tersebut, sikap presiden dinilai tidak tegas.
Setelah sepekan gaduh, Jokowi muncul dan menyatakan bakal patuh pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, dia mengatakan, wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang lantaran itu bagian dari demokrasi.
"Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi," kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/3/2022), dilansir dari Kompas.id edisi Sabtu (5/3/2022).
"Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," tuturnya.
Pada 2019 lalu, Jokowi merespons dengan keras wacana perpanjangan jabatan presiden. Ia menyebut bahwa isu tersebut seakan menampar mukanya.
"Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, 2 Desember 2019.
Jokowi juga bersuara lantang ketika merespons isu perpanjangan masa jabatan presiden yang kembali muncul pada Maret 2021. Ia menegaskan tidak berniat dan tak punya minat untuk menjabat selama tiga periode.
Sikap ini, kata dia, tidak akan pernah berubah. Sebagaimana bunyi konstitusi, masa jabatan presiden dibatasi sebanyak dua periode.
"Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/3/2021).
Aih-alih mengakhiri kegaduhan, pernyataan Jokowi atas wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang terbaru justru menimbulkan beragam spekulasi.
Testing the water
Pengamat politik dari Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menilai, lambat dan tidak tegasnya respons Jokowi terkait wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden memunculkan kesan permisif terhadap pergerakan operasi politik ini.
Masyarakat pun dibuat bertanya-tanya, apakah ketidaktegasan presiden mengindikasikan adanya restu politik terkait wacana tersebut.
"Apakah presiden melakukan strategi testing the water? Di mana stop atau lanjut dari operasi ini dilihat dari reaksi publik dan konsolidasi dukungan politik," kata Khoirul kepada Kompas.com, Senin (7/3/2022).
Menurut Khoirul, sikap presiden saat ini cenderung "bersayap".
Pernyataan bahwa usul penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden bagian dari demokrasi bisa dimaknai sebagai keengganan presiden untuk bersikap tegas menindak pihak-pihak yang bermain api dalam wacana ini.
Padahal, rakyat sangat menantikan ketegasan kepala negara untuk mengakhiri polemik ini.
"Wacana penundaan pemilu ini mengindikasikan kuat semakin percaya dirinya kelompok kepentingan di lingkaran presiden yang mencoba memaksakan kondisi itu. Sayang, presiden tidak tegas menindak mereka dengan bersembunyi di balik logika awab demokrasi," ujar Khoirul.
Lingkar Istana
Sementara, Peneliti Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro berpandangan, ketidaktegasan Jokowi seolah menguatkan dugaan sejumlah pihak bahwa isu penundaan pemilu datang dari lingkar Istana Presiden.
Pernyataan Jokowi yang menyebutkan bakal tunduk dan patuh pada konstitusi, kata dia, juga tak bisa diartikan bahwa mantan gubernur DKI Jakarta itu menolak wacana penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden.
Sebab, pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur penyelenggaraan pemilu dan masa jabatan presiden bisa saja diubah melalui amendemen.
"Taat dan tunduk, patuh pada konsititusi sebagaimana dikatakan oleh presiden kemarin juga dapat dibaca tidak berarti Presiden Jokowi menolak penambahan periode masa jabatan presiden," ujar Bawono, Sabtu (5/3/2022).
"Apabila wacana itu nanti bergulir terus hingga proses amendemen konstitusi terjadi, lalu berubah periode masa jabatan di konsitusi, maka Presiden Jokowi tunduk taat juga. Jadi sikap itu multitafsir sekali," tuturnya.
Menurut Bawono, seharusnya Jokowi bisa dengan tegas menyatakan tidak berminat menjabat hingga 3 periode, sekaligus menolak penundaan Pemilu 2024 atas dalih apa pun.
Sebab, jika tidak, bukan mustahil ke depan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden kembali bergulir bersamaan dengan isu amendemen UUD 1945.
Oleh karenanya, alih-alih membuat pemakluman bahwa kemunculan isu ini bagian dari demokrasi, menurut dia, presiden seharusnya bersikap tegas pada elite partai jika memang menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
"Sikap presiden terhadap partai-partai koalisi pendukung wacana penundaan Pemilu 2024 juga akan jadi indikator penilaian publik atas ketegasan sikap presiden," katanya.
Evaluasi total
Selain ketegasan presiden, menurut Khoirul, yang perlu diungkap selanjutnya adalah siapa saja pihak-pihak di lingkaran Istana Presiden yang berani mengorkestrasikan suara menteri, ketua umum partai, hingga ormas untuk kembali menggulirkan isu ini.
Melihat sistematisnya operasi politik ini, penundaan pemilu dikhawatirkan tak hanya sekadar wacana.
Jika dukungan politik terkonsolidasi, Khoirul yakin langkah para elite politik akan difinalisasi dengan cepat lewat mobilisasi kekuatan di DPR/MPR, sebagaimana langkah cepat legislatif merevisi sejumlah undang-undang.
Namun, di sisi lain, PDI-Perjuangan sebagai pemilik saham politik utama pemerintahan sejak awal telah menolak usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
"Artinya, ada komunikasi yang terputus antara PDI-P dengan internal kelompok kepentingan Istana Presiden. Kelompok itu mulai berjalan sendiri di luar kendali partai penguasa," kata Khoirul.
Oleh karenanya, Khoirul berpandangan, PDI-P harus mengevaluasi total pihak-pihak yang membajak otoritas presiden, yang berdampak pada soliditas koalisi partai politik di lingkungan pemerintahan.
Jika opsi peringatan tidak mempan, opsi pemberhentian bisa dipertimbangkan di fase akhir pemerintahan saat ini.
"Sebab, dampak politiknya riil, suara partai-partai politik sudah tidak solid dan terpecah sesuai dengan kepentingan masing-masing," kata Khoirul.
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/07/11013171/testing-the-water-ala-jokowi-soal-wacana-penundaan-pemilu