JAKARTA, KOMPAS.com - Isu penundaan Pemilu 2024 muncul ke permukaan.
Ini kali pertama disampaikan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Dia mengeklaim, banyak akun di media sosial setuju dengan usulan dirinya agar pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda satu hingga dua tahun.
Klaim tersebut, kata Muhaimin, mengacu pada analisis big data perbincangan di media sosial.
Menurut dia, dari 100 juta subjek akun di media sosial, sebanyak 60 persen mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.
"Big data mulai jadi referensi kebijakan dalam mengambil keputusan. Pengambilan sikap bergeser dari sebelumnya mengacu pada survei, beralih pada big data," kata Muhaimin dalam keterangannya, Sabtu (26/2/2022).
Usulan itu lantas didukung Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Adapun lima parpol lain yang memiliki kursi di MPR/DPR, yakni PDI-P, Nasdem, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menyatakan menolak. Sementara itu, Partai Gerindra belum memutuskan sikap.
Lantas, bagaimana sebenarnya dasar hukum pelaksanaan pemilu?
Dasar hukum
Pelaksanaan pemilu lima tahunan diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pasal 22E Ayat (1) UUD berbunyi, "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali".
Adapun yang dimaksud dengan pemilu ialah pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta presiden dan wakil presiden.
Perihal penyelenggaraan pemilu 5 tahun sekali juga diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali," demikian Pasal 167 Ayat (1) UU Pemilu.
Langgar konstitusi
Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra pun menilai, penundaan pemilu tidak memiliki dasar hukum.
Ini karena konstitusi dengan jelas menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
"Jadi, jika pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali," kata Yusril dalam keterangannya, Sabtu (26/2/2022).
Penundaan pemilu itu juga disinyalir akan menyebabkan munculnya pemerintahan yang ilegal. Sebab, dilakukan oleh penyelenggara negara yang tidak memiliki dasar hukum.
Sementara, pakar hukum tata negara Denny Indrayana menyatakan, wacana penundaan Pemilu 2024 merupakan bentuk pelecehan terhadap konstitusi.
"Ini adalah perkembangan yang memalukan, sekaligus membahayakan. Wacana penundaan pemilu, sebenarnya adalah bentuk pelanggaran konstitusi," kata Denny dalam keterangan tertulis, Jumat (25/2/2022).
Dalam teori ketatanegaraan, ia menjelaskan, pelanggaran atas konstitusi hanya dimungkinkan dalam situasi sangat darurat, tetapi alasannya harus jelas untuk penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu menyebutkan, hal itu bisa diukur dari dampak tindakan pelanggaran konstitusi semata-mata demi menyelamatkan negara.
Indikator lainnya adalah tetap adanya pembatasan kekuasaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar utama dari prinsip konstitusionalisme.
"Maka, dengan parameter demikian, menunda Pemilu 2024, menambah masa jabatan presiden, memperpanjang masa jabatan parlemen, dan kepala daerah, nyata-nyata adalah potret pelanggaran konstitusi yang berjamaah," ujar Denny.
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/28/10051071/ramai-isu-penundaan-pemilu-2024-mungkinkah-menurut-uu